41. Malaikat Kecilku

4 0 0
                                    

Saat anak panah itu menghujani kami, aku bisa melihat ratusan orang jatuh terbakar. Astaga. Itu ribuan anak panah yang menancap di tanah-tanah. Aku menelan ludah. Jumlah pasukan yang datang pastilah tidak sedikit. Sedangkan kami tidak memiliki prajurit cadangan.

Dennis mundur menghindari panah. Aku masih sulit mengerti sikap orang Bangsawan, mereka lebih hina dari binatang. Mereka rela membunuh kaumnya sendiri demi melenyapkan kaumku.

Aku melihat sekitar. Malam yang dingin sekarang menjadi panas. Gemuruh hantaman tanah bergema di langit. Aku melihat sekitar. Para Bangsawan menarik pasukannya yang masih hidup untuk mundur beberapa jarak. Kaumku menatap ke segala arah.

Puluhan ribu Bangsawan menyerbu kami dari segala arah. Mereka berdandan cantik memakai baju zirah, perisai besi, dan pedang tajam. Mataku masih sibuk menghitung peluang kemenangan. Sekali dalam hidup, sepertinya aku harus mengakui kekalahan.

Wajah-wajah pasukanku kini berubah menjadi putus asa. Kami merapatkan barisan di tengah tanah yang berkubang darah. Aku lalai melihat sekitar sampai lupa kalau Dennis adalah orang licik.

"Jagat, awas di belakangmu!" Itu suara Goldey.

Aku melihat ke belakang, Dennis telah melempar sebuah tombak. Aku terlambat sedetik. Kakiku tidak bergeser karena kematian sangat menginginkanku. Aku menutup mata. Lalu suara tancapan benda tajam menembus kulit dan daging. Namun aku tidak merasakan sakit.

Seseorang telah memberikan tubuhnya ke dewa kematian. Menggantikan jasadku. Mataku masih tertutup. Hatiku hancur. Aku tidak berani membuka mata. Aku tahu siapa orang yang telah mengorbankan nyawanya untukku.

Buncahan air menerobos keluar dari mataku yang tertutup rapat. Aku harus membuka mata. Menyaksikan tubuh kotor dan kurus Goldey berdiri di depanku. Tombak tertancap di dada kirinya.

Perang memang memakan korban. Tapi mengapa dari semua orang Bawah yang kukenal, harus Goldey yang terkena tombak. Dia orang pertama yang menyeretku ke Darxon. Membawaku ke rumahnya. Apa yang dia makan, itulah yang kumakan. Kami tidur di bawah atap yang sama. Meskipun kami tidak pernah berbicara tentang perasaan, aku telah menganggapnya seperti seorang ayah. Jika aku mengemukakan ide aneh di depan orang Bawah, dia orang pertama yang mendukungku. Dengan caranya sendiri, Goldey telah memberiku kasih sayang seorang ayah yang tidak pernah kudapat.

Tubuh Goldey akhirnya melemah. Kakinya tidak seimbang. Dia sempoyongan. Dia berdansa di lantai darah tanpa sepatu dansanya. Aku menyambut tubuh kurusnya dengan lengan terbuka. Berlutut memeluk wajahnya yang masih tersenyum ke arahku.

"Jagat," Goldey tersedu-sedu.

"Astaga, Goldey, jangan mati. Mengapa kau melakukannya?" kataku sambil menahan air mata.

"Jagat," ulang Goldey. "Jiwaku terasa kosong saat aku kehilangan anak-anakku di Julister dulu."

Aku mendengarkan. Dia tidak pernah menceritakan kisahnya.

"Sekarang," Mulut Goldey mengeluarkan darah. "Kau dan Darrel telah mengisi kekosongan itu."

Dia terbatuk-batuk. Mulutnya mengeluarkan semburan darah. Suara para Bangsawan semakin mendekat. Aku memeluk Goldey, mataku melihat sekitar.

"Pergilah," katanya. "Kaum Bawah membutuhkanmu. Jika memang kita akan kalah, mereka akan bangga karena kaulah yang memimpin kejatuhan terhormat ini."

"Aku akan kembali," kataku, "bertahanlah, Goldey!"

Aku terpaksa harus meletakkan kepala Goldey di tanah. Ketakutan membuat kaumku gelisah. Aku berlari ke arah mereka. Miller mengangguk ke arahku. Aku tidak mengerti apa yang diisyaratkannya. Lalu dia menyentikkan jarinya. Semua raksasa yang masih bisa bernapas berdiri membentuk lingkaran. Menjadi benteng pertahanan kami untuk kedua kalinya.

"Jika kita akan ke neraka, aku dan para raksasa lain akan menunjukkan jalannya," kata Miller.

Para raksasa terkekeh. Ketakutan pelan-pelan telah hilang. Semua orang kini siap menyambut kematian. Kami dikepung dari segala arah. Para Bangsawan telah memegang pedang dan tombak. Mereka bahkan tidak menawarkan kami untuk menjadi budak tahanan perang. Mereka akan membasmi kami semua tanpa rasa kasihan.

Aku mengutuk diri sendiri. Walaupun kaumku telah merelakan nyawa, aku adalah alasan mereka berada di sini. Aku membuka jalan menuju pembantaian.

"Aku membawa kalian semua ke sini, menuju pemakaman," kataku berjalan melewati Miller dan tembok para raksasa. "Pegang pedang kalian, jika kita memang benar-benar ke neraka, pastikan jangan melepas genggaman pedang."

Puluhan ribu kaum Bangsawan meneriakkan sesuatu ke langit. Mereka menyerbu serentak. Seperti butiran salju yang terbang dibawa angin. Aku menggenggam pedang siap menyambut kedatangan para iblis. Hatiku menghitung mundur dari sepuluh. Mereka akan tiba.

Saat hitungan kelima. Mataku menangkap cahaya besar di langit. Diikuti suara aneh yang tidak asing. Cahayanya begitu besar sampai aku mengira matahari telah terbit mencuat ke langit dengan warna hijau. Dedaunan yang menempel di pohon-pohon besar, tercopot dan terbang kemana-mana. Debu-debu terangkat, terbang ke setiap penjuru.

Para Bangsawan berhenti serentak. Melihat ke arah cahaya. Aku merasakan ketakutan menembus zirah besi mereka. Sebagian kaumku bahkan menjatuhkan pedang tanpa sadar karena ketakutan. Di balik awan besar yang menutup langit malam. Sesuatu muncul.

"Jagat!"

Suara itu menumpahkan seluruh air mata yang kutahan. Seorang malaikat telah tiba. Malaikat yang hatinya ditusuk-tusuk dengan banyak kenyataan pahit dalam beberapa tahun ini. Matanya terbuka lebar. Memancarkan harapan untuk seluruh kaum Bawah. Dia membawa dua makhluk neraka.

Dadaku hampir pecah karena rasa senang dan harapan.

Darrel turun dari langit menunggangi makhluk mengerikan. Terbang di atas lingkaran benteng kaumku. Mengitari kami dengan napas api menyembur ke langit. Aku yang menyelamatkannya. Aku mengenal naga yang ditunggangi Darrel. Itu Eldragar. Lalu naga yang paling besar, pastilah induknya.

"Maafkan aku," teriak Darrel, "Aku telah kembali dari neraka, membawa dua teman yang akan memenangkan kaum kita!"


Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang