32. Calleb

2 0 0
                                    

Empat letnanku tidak mengaduh kesakitan. Tubuh mereka bahkan sulit merespon rasa sakit. Mereka hanya anak kecil. Satu tinju lemah dari raksasa pun akan menumbangkan mereka. Aku berlutut memegangi wajah para letnanku satu persatu. Mengecek luka-luka lebam. Tidak ada satu pun yang mengatakan sesuatu.

Mata mereka berkaca menahan rasa sakit. Menatapku dengan rasa takut.

Suasana ini membuat dadaku sesak. Amarahku naik dari perut ke kepala. Empat anak ini bukan kaum bawah biasa. Mereka adalah para letnanku. Para raksasa ini harus membayar seluruh perbuatan mereka.

"Kau," aku berdiri menunjuk Dante. "Kau melakukan kesalahan. Kau mengkhianatiku. Mengirim kaummu untuk memburu kami. Apa pun yang terjadi selanjutnya, akan kupastikan Kau membayar semua luka."

Dante tidak tersenyum. Wajahnya pucat. Mulutnya gemetaran ingin menjawabku.

"Santai, Jagat." Raksasa yang melempar letnanku tadi menjawab. "Dante hanya melapor ke bosnya. Bahkan istrinya sekarang sedang membawa salah satu anak gadis kalian ke Marvil untuk diobati."

Aku baru mengingat Hannah. Nova telah berjanji akan merawatnya. Namun rasa percayaku sudah runtuh. Mereka orang licik.

Aku menahan emosi sebisa mungkin. Jika sekarang aku maju, kaumku bisa saja binasa karena mereka belum aman. Aku masih menunggu waktu yang tepat. Tidak ada yang akan kukatakan saat ini kepada bos para raksasa ini.

Elijah maju ke depanku. Wajahnya merah sekali. Emosinya menumpuk di muka. Lalu dia membantu salah satu letnanku yang terluka, membantunya berdiri dan memapahnya.

Elijah berhenti di sampingku, "Kami akan menjaga mereka. Kau uruslah raksasa brengsek itu."

Para letnanku yang lain mengikuti apa yang dilakukan Elijah. Mereka menjaga satu sama lain. Berlindung di belakang tubuhku.

Enam belas raksasa tadi berpencar. Membentuk lingkaran mengepung kami agar tidak bisa lari. Masing-masing raksasa itu tersenyum melihat tontonan ini. Aku memegang pedangku mengambil aba-aba.

"Aku Miller, bos para raksasa, Jagat," kata raksasa bertubuh kecil itu. "Aku tidak akan melawan makhluk kecil sepertimu."

"Kau tak punya pilihan. Kau menyiksa kaumku."

"Setidaknya mereka masih hidup," jawab Miller singkat.

Aku adalah seorang petarung, dan aku bisa mengenali petarung lain hanya dengan melihatnya.

Miller orang paling kuat di antara para raksasa. Aku tidak bisa asal maju seperti kemarin saat hanya melawan bayi raksasa. Dia ada benarnya. Tidak ada kaumku yang dibunuh. Itu berarti Miller ingin bernegosiasi atau setidaknya ingin mendengar rencanaku. Dante pasti sudah memberitahu segalanya.

"Apa yang Kau inginkan?" Tanyaku.

"Sebuah alasan."

"Alasan untuk apa, Brengsek?"

"Ceritakan hal spesial darimu, alasan mengapa kau mendapat kehormatan untuk bertarung denganku." Miller melihatku dengan tajam.

Aku menghela napas. Ini hanya buang-buang waktu. Aku tipe orang yang ingin membalas apa yang telah dilakukan kepada kaumku. Tapi sekarang situasinya berbeda, aku harus menanam rasa marahku.

"Kau pasti sudah mendengar rencanaku," kataku.

Miller mengangguk. "Iya, Dante menceritakannya. Kaum Bawah seperti kalian ingin melakukan perang konyol, bunuh diri ke Berlian." Dia tertawa, lalu melanjutkan, "Marvil tidak akan menerima keluarga kaum Bawah yang bodoh. Kami juga tidak bisa membiarkan kalian pulang. Kalian semua akan menjadi stok makanan kami."

Miller menunjuk tumpukan kaumku saat mengatakannya. Para raksasa lain tertawa. Mereka benar-benar meremehkanku.

"Baiklah," kataku, "Kau memilih takdir yang salah, Miller. Aku orang pertama yang berhasil sampai ke Pulau Kemarau melewati Laut Hijau. Itu alasan kenapa Kau harus berhenti memuntahkan bualanmu dan menghadapiku!"

Saat aku mengatakannya, semua raksasa tertawa. Mereka bahkan terpingkal-pingkal. Namun Miller tidak tersenyum sedikit pun. Sekarang dia menyadari siapa sebenarnya aku ini.

Miller memberi isyarat agar raksasa yang lain tidak ikut campur. Dia berlari ke arahku dengan tangan kosong. Serangan itu tiba-tiba sekali. Tendangan pertamanya berhasil kuhindari. Aku meloncat ke kiri. Membuat tendangan keduanya hanya mengipas debu-debu ke arah para letnanku.

Aku membuang pedangku. Miller petarung cepat, aku tidak bisa melukainya dengan pedang yang berat. Sekarang saatnya aku mengeluarkan belati yang diberikan Raja Josuan. Sarung emasnya menerangi malam.

"Itu belati leluhur para raja," kata Miller mengenali apa yang sedang kugenggam.

"Raja mengira kita akan berdamai hanya dengan belati emas, tapi Kau memilih jalan curam, Miller!"

Bos raksasa itu terkekeh kecil. Lalu mulai menyerangku lagi. Kali ini dia tidak berhenti memukul meskipun kuhindari berkali-kali. Tenaganya tidak berkurang. Aku hanya bisa bertahan, mataku sibuk melihat celah. Saat Miller mengangkat kaki kanannya, tumpuan kaki kirinya bergetar. Itu kaki lemahnya. Aku meluncur di atas tanah. Membungkukkan badan menghindari tendangannya. Lalu menyayat betis kiri Miller.

Darah mengucur. Para raksasa lain terdiam melihat kelincahanku. Itu luka besar, tapi bagi Miller, itu cuma goresan. Dia bahkan tidak melihat kakinya. Tubuhnya maju lagi, dia mulai menendang gila-gilaan. Aku meloncat ke belakang, kiri, kanan, demi menghindar. Namun tendangan ke sepuluh tidak ditargetkan untukku, dia menendang batu besar. Mengenaiku telak.

Tubuhku terhempas ke belakang. Batu tadi hampir seukuranku. Dahiku mengeluarkan darah. Bahuku terasa patah. Aku roboh ke tanah seperti lilin meleleh. Mataku berkedip sekali. Lalu Miller muncul tiba-tiba. Menendangku dengan kuat. Menghujamku hingga terlempar jauh.

Aku menggigit lidahku.

Sensasi hangat memenuhi dadaku.

Aku berusaha berdiri. Meraba-raba tanah kering. Itu benda paling lembut yang kurasakan saat ini.

Miller melangkah. Tanah berdebum, kakinya mendekat. Aku masih mencoba berdiri. Memopang tubuhku dengan dua tangan. Mataku memudar. Aku meludah. Lidahku terdesak rasa asin. Meskipun begitu, telingaku masih mendengarkan.

Saat Miller ingin mengangkat tubuhku dengan tangan besarnya. Aku memutar ke belakang tubuhnya. Butuh waktu bagi raksasa untuk berdiri tegak dan melihatku di bawah. Di titik butanya, aku mengayunkan belati sekuat tenaga. Pergelangan kaki Miller terluka. Garis besar menganga. Lebih dalam dari sayatan pertama. Darah mengucur lagi.

Aku mundur beberapa langkah. Mencoba untuk mengatur napas. Kini Miller kesakitan. Kaki kanannya terluka. Begitu juga dengan bahuku yang remuk.

Aku gemetaran. Miller tidak bisa membunuhku, aku pun tidak bisa membunuhnya. Tidak di sini. Tidak saat ini. Kami tahu bagaimana semua akan berakhir. Tetapi kami tetap bersiap melanjutkan.

"Bang Jagat!" Army meneriakiku.

"Calleb tidak bernapas!"

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang