26. Kain Merah

3 0 0
                                    

Itu pagi yang mengharukan. Semua kesedihan bertumpuk di dermaga. Ribuan butir air mata menetes di tanah kering Darxon. Hari kebangkitan kaum Bawah tidak begitu menyenangkan, kami akan memperjuangkan takdir dengan hati hampa karena banyak perpisahan.

Aku tidak begitu haru. Hanya Darrel satu-satunya keluargaku.

Saat semua kata perpisahan telah diucap. Seribu prajurit kaum Bawah menaiki kapal perang.  Goldey benar-benar bagus dalam pekerjaannya. Di setiap kapal, berdiri sebuah tiang tegak ke langit, di sanalah simbol kebangkitan berkibar. Sebuah bendera dengan gambar kepala rubah seperti di lengan kami.

Aku dan Darrel menyalami Goldey. Dia akan ikut perang bersama raja. Matanya sangat baik menahan tangis karena akan berpisah denganku dan Darrel. Dia menganggap kami keluarganya.

"Simpan ini," Goldey menyerahkan sebuah benda aneh. Dua belati tajam yang genggamannya masing-masing diikat satu tali panjang.

Aku mengernyitkan dahi.

"Jika mereka tidak mau menerimamu, bunuh raksasa sialan itu!" Goldey menepuk bahuku.

"Aku membawa belati emas yang raja berikan, mungkin itu akan berguna untuk meyakinkan mereka kalau kami datang dalam damai," kataku kepada Goldey.

"Untuk jaga-jaga," jawabnya lalu melangkah menaiiki perahu.

Setelah melambai ke para prajurit, kaum Bawah yang tinggal harus cepat-cepat mengangkat barang bawaan. Aku sudah memperingatkan mereka untuk membawa barang penting saja. Perjalanan ini akan melelahkan. Menyeret tubuh sendiri saja sudah sangat merepotkan.

Aku berjalan paling depan, Darrel mengikuti kami di barisan paling belakang untuk jaga-jaga. Hanya kami berdua yang bisa bertarung dengan baik. Kira-kira begitulah yang kupikirkan. Selebihnya adalah ibu-ibu dan anak-anak kecil. Mereka yang berusia 15 tahun ke atas harus siap mengucap sumpah sebagai prajurit yang di bawa ke Berlian. 

Matahari berada tepat di kepala kami. Sudah setengah hari aku berjalan di atas tanah yang kering . Kami harus terus jalan lurus sampai tiba di Zigala. Tidak ada seorang pun yang pernah berkeliaran di bagian utara pulau ini. Aku akan tahu kalau kami di rute yang bener jika menemukan Zigala. Lalu melanjutkan perjalanan dari sana.

Butuh seminggu lebih bagi raja dan pasukannya untuk sampai ke bagian barat Laut Sentosa. Dari sana mereka akan memata-matai Nar-nar. Jika keadaan memungkinkan, raja akan memerintahkan penyerbuan dalam waktu dua minggu meskipun aku belum sampai menyusul ke Berlian. Kaum Bawah bergerak dengan insting, begitulah kata raja.

Aku dan kaumku juga membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu untuk sampai ke Marvil. Itu hanya perkiraan kasar. Semoga lebih cepat supaya aku bisa membawa para raksasa untuk membantu peperangan.

Aku bisa melihat kelelahan di wajah kaumku saat senja mulai memerah. Kami hanya beristirahat di beberapa tempat dengan waktu terbatas. Aku terus mengingatkan mereka kalau kami tidak boleh membuang-buang waktu. Ini perjalanan yang lumayan mulus, mungkin karena masih berada di wilayah Darxon. Jika kami sampai di Zigala, dari situlah perjalanan yang berat dimulai. 

Ketika langit benar-benar sudah gelap. Aku memutuskan untuk istirahat dan membiarkan kaumku minum dan tidur. Mereka membentuk lingkaran. Duduk ramai-ramai saling berdekatan. Rumput menjadi kasur yang menyenangkan di alam liar seperti ini. 

Kami telah menghabiskan waktu selama lima hari di perjalanan. Bekal makanan dan minuman menipis. Aku hanya tidur beberapa menit karena selalu bersikap wasapada. Darrel pun begitu. Kami bergantian supaya salah satu tetap terjaga memantau sekitar.

Saat malam tiba. Kaumku mengambil tempat tidur di tanah luas. Aku mengambil tempat duduk di luar perkumpulan mereka supaya bisa memantau semuanya. Aku merasa iba melihat ibu-ibu harus berjuang untuk menyelamatkan anak-anaknya ke Marvil. Ke tempat yang sebenarnya tidak jauh berbahaya daripada Berlian.

Aku harus membawa mereka ke sana, karena inilah masa depan kaum Bawah. Jika kami kalah perang dan seluruh pasukan tewas. Para ibu dan anak-anak mereka satu-satunya jaminan agar kaumku tidak punah.

"Tuan, butuh sesuatu?"

Aku melirik ke arah suara. Itu Army.

"Santai saja, jangan terlalu formal, kau bisa memanggil namaku aja, Army."

Dia tersenyum. Mengambil tempat duduk di sampingku. "Kamu ingat namaku, Bang, terharu loh, ah bisa aja."

Rupanya dia menyebalkan.

"Berapa umur kau?" Tanyaku.

"Tiga belas, Bang," jawabnya, "Aku mengidolakanmu dari dulu, ajarin aku cara bertarung biar bisa membantu."

"Kau bawa pedang?"

"Hanya pisau kecil, Bang."

Dia mengeluarkan pisau dapur.

Aku terkekeh kecil, "Pastikan kau menusuk ujungnya ke tubuh musuh, bukan tubuhmu," kataku.

Kami hanya ngobrol sebentar. Aku menyuruhnya untuk istirahat supaya besok sanggup melanjutkan perjalanan. Darrel ternyata tidak tidur juga. Dia menghampiriku.

"Dari mana saja kau?"

"Periksa  sekitar, semua aman."

Kami menghabiskan malam duduk berdua. Berbincang-bincang sambil melihat kaumku tidur di atas rumput. Darrel kadang merasa kasihan saat ada anak bayi yang terbangun menangis tengah malam karena digigit nyamuk. Kami tidak bisa berbuat banyak.

"Dulu saat kau selalu ngoceh tentang kaum Bawah juga pewaris sah Berlian, aku hanya tertawa, kini kita benar-benar akan berperang melawan Bangsawan brengsek itu," kata Darrel.

Aku tersenyum, "Kaulah yang paling semangat untuk melakukan pemberontakan, di sinilah kita sekarang."

"Jalan ke Marvil sejauh ini baik-baik saja, mungkin aku lebih berguna kalau ikut raja menyerang Narnar. Aku tidak sabar membunuh mereka!"

Darrel benar. Aku pun sebenarnya setuju kalau dia akan lebih pantas berada di kapal perang. Namun raja sudah mengeluarkan perintah. Dia ingin memastikan keluarganya dan kaum Bawah sampai ke Marvil, tidak mau mengambil resiko jika hanya aku yang menemani mereka.

"Jagat," Darrel menatapku. "Apa masa depan benar-benar bisa diubah jadi lebih baik?"

Pertanyaan itu melukai hatiku. Membuka luka lama saat aku melihat Rahul mati. Itulah yang dikatakan Rahul kepadaku, bahwa takdir tidak didikte orang lain, bahwa kaum Bawah bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik, bahwa Berlian bisa menjadi bumi yang damai.

"Iya," hanya itu yang sanggup kukatakan, kepalaku penuh dengan bayangan Rahul.

"Kaum Bawah sudah hidup menjadi orang terbuang selama ratusan tahun, tidak ada yang bisa mengubahnya, mungkin Bangsawan benar, kita memang ditakdirkan menjadi rendahan."

Aku menggeleng. Darrel masih ragu, aku akan meyakinkannya.

"Di dunia ini, memang ada hal-hal yang tidak bisa diubah. Tuhan menciptakan kita, menaruh kita di dalam keluarga orang Bawah. Kita tidak bisa mengubah terlahir sebagai siapa, tapi bisa berjuang untuk menjadi siapa."

Darrel hanya mendengarkan. 

"Tuhan mengalirkan darah di nadimu dan mendetakkan jantung agar Kau bisa hidup, hal tersebut tidak bisa kita ubah, Tuhan bisa menghentikannya kapan saja. Namun Tuhan menciptakan tangan, kaki, pikiran, dan memberi kita kuasa untuk menentukan apa yang akan kita lakukan dengan semua itu."

"Kita telah menentukan pilihan untuk mengubah takdir," kataku sambil merogoh saku celana dan mengeluarkan kain merah.

"Pastilah Tuhan akan senang kalau kita menggunakan kekuatan yang dianugerahkannya untuk membunuh Bangsawan sialan, dan merebut takdir baik kaum Bawah."

Aku mengatakannya sambil melihat kain merah yang kugenggam pelan. Menggenggamnya pelan. Kukira Darrel akan bertanya lagi, namun tidak ada suara apa-apa. Saat aku menoleh, matanya merah, tangannya gemetar, air mata bertumpuk di kepalanya dan bergulir dari nola mata.

Dia mengambil belati di pinggangnya dengan sangat cepat, melompat ke arahku, lalu menempelkan ujung belatinya ke leherku.

"Apa yang Kau lakukan kepada Rahul, sialan!"

Rupanya Darrel mengenal kain tersebut. Aku tidak pernah membicarakan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rahul. Darrel tidak pernah ingin mendengar nasib kakaknya. Inilah kali pertama Darrel membahas tentang Rahul denganku.

Wajahnya memerah. Oh Tuhan, dia akan membunuhku.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang