14. Duel Kedua

8 2 0
                                    

Goldey menggeleng ke arahku. Dia tampak peduli. Ingin aku memohon dengan cara lain. Tidak perlu bertarung begini karena Erwin adalah orang yang sangat kuat dan aku tidak akan bertahan. Tetapi raja mengangguk setuju.

Seseorang memberiku pedang. Lalu melempar sebuah perisai yang cukup berat, terbuat dari kayu dan bagian luarnya diperkuat dengan kulit hewan mati. Ada sabuk sempit di balik perisai itu, memastikan agar prajurit tidak kehilangan perisai selama pertempuran. Tetapi jika perisai rusak atau ingin diganti dengan senjata lain, perisai dapat dengan mudah dilempar ke belakang.

Tidak semua orang dapat dengan mudah memakai perisai, tapi aku cukup mahir dalam hal itu karena sering mencuri waktu untuk berlatih dengan senjata Bangsawan. Di sana mereka malah memakai perisai besi, yang dua kali lipat lebih berat dan sepuluh kali lebih tahan.

"Ini tidak perlu, Tuan, biarkan mereka tinggal di rumahku." Goldey membelaku. Cukup mengejutkan karena dialah yang menyulitkan posisiku saat ini.

Raja tidak menggubris. Dia tidak akan rugi kalau aku membunuh Erwin. Jika aku lebih kuat dari tukang pukulnya saat ini. Mudah saja mengganti posisinya dan susunan kepemerintahan kerajaan tidak akan cedera.

Gemuruh tepuk tangan hadirin memenuhi Aula Dewa. Miris sekali melihat kenyataan kalau Kaum Bawah tidak jauh berbeda dengan Bangsawan. Mereka mengadakan duel satu lawan satu antara kaum Bawah. Terdengar sangat familiar. Namun aku bisa menerima suasana saat ini karena bagi mereka aku hanya anak Bawah pembohong, yang datang mencari perlindungan karena takut kepada Bangsawan.

Aku tidak bisa membuktikan kalau diriku adalah pemenang di Hari Pertarungan, jadi di sinilah aku sekarang. Duel kali ini jauh sekali perbedaannya ketimbang melawan Rahul yang lemah secara fisik. Jika Erwin adalah tukang pukul andalan raja, maka dia sangatlah kuat meskipun usianya cukup muda untuk berdiri sejajar dengan para dewan.

Erwin maju menggunakan pedang dan perisainya. Aku mengambil kuda-kuda. Bersabar dan tidak akan menyerang duluan. Pemuda itu tersenyum meremehkan. Dia melempar perisai itu dan kini hanya bersenjata pedang. Jelas sekali dia meremehkanku. Perisai diciptakan untuk bertahan, menangkis hantaman pedang musuh. Saat ini Erwin tidak bermaksud bertahan karena baginya aku hanya penakut yang sombong.

Aku melempar perisaiku juga. Bukan untuk meremehkan, tetapi agar pertarungan ini seimbang. Pedang lawan pedang. Orang-orang bersiul menghinaku.

"Kau membutuhkan perisai itu," seru Erwin.

"Jangan banyak omong, apa Kau takut?"

Aku memancing amarahnya keluar. Mengangkat lenganku ke udara, siku sejajar mata, supaya aku selalu siap siaga memberikan pukulan dan menahan serangan ke arah tubuh bawah.

Erwin mengayunkan pedangnya. Mengarah ke wajahku yang mengesalkan. Aku menangkisnya dengan baik. Pukulan itu cukup kuat hingga membuatku terpental ke belakang beberapa meter. Belum sempat aku mengambil napas dan menenangkan diri, Erwin menyerbu lagi ke bagian bawah.

Aku tidak sempat menangkisnya dengan pedang, tapi aku memiliki kecepatan untuk mundur ke belakang. Wah, aku terlihat seperti pengecut.

Erwin memukul lagi, menyerbu tanpa ampun. Aku mulai terbiasa dengan gerak-geriknya dan berhasil menangkis, menghindar, dan belum melakukan serangan apa pun. Saat Erwin menusukkan pedangnya mengarah ke dada, aku menepis dengan kuat hingga pegangan pedangnya hampir terlepas.

Aku berhasil menciptakan momen lambat, ia tidak menyerang lagi. Di antara sorak sorai aula, aku mendengar napas Darrel. Tubuhnya kejang. Napasnya tersengal. Dia akan mati sebentar lagi dan aku masih kesulitan memenangkan pertarungan ini.

Aku marah. Dan aku jauh lebih kuat saat sedang marah.

Tadi aku menganggap Erwin sebagai saudara, satu kaum. Meskipun dia dan semua orang di sini melihatku seperti seorang musuh, maka aku harus beranggapan sama seperti itu.

Aku tidak terlalu mahir menggunakan pedang, tidak untuk disebut pendekar pedang. Karena di Julister, kami hanya diperkenankan menggunakan pedang kayu. Tetapi aku belajar cara mematahkan tangan dan kaki. Menyayat tenggorokan dengan belati. Aku belajar cara bertarung dengan tangan kosong. Karena bagiku, akan tiba waktunya senjata tidak tersedia atau diperlukan. Aku petarung yang cukup cepat dan disiplin. Bukan karena aku membaca banyak buku dan mendengarkan dongeng-dongeng. Tetapi karena aku sering bertemu dengan binatang buas.

Aku tidak menyerang Erwin sekali pun sehingga dia tidak tahu teknikku. Aku telah mempelajari gerakan menyerang yang dia tunjukkan, dan aku tahu persis bagaimana serangan berikutnya.

Dia mengayunkan lengannya, saat itulah aku melepaskan pedangku yang cukup berat. Saat pedang Erwin masih di udara, tubuhku terasa ringan dan cepat. Itu serangan ke arah atas, aku menunduk. Seperti belut yang licin, aku maju cukup cepat dan menendang lutut Erwin. Dia tidak pernah menyangka serangan itu karena baginya senjataku hanya pedang.

Dia mengaduh. Aku berpindah ke belakang tubuhnya dengan cepat. Menendang lutut bagian belakangnya satu persatu. Ia jatuh, lututnya berdebum dengan lantai. Posisinya seperti orang yang sedang memohon ampun. Aula Dewa lengang. Tangan kiriku menjambak rambutnya, sementara tangan dominanku mengambil belati yang daritadi tersarung di pinggang.

Aku menaruh belati itu di tenggorokan. Aku akan menyobek dan memuntahkan semua omong kosong yang ada di mulutnya. Aku telah menjadi orang yang berbeda. Tidak kenal ampun dengan musuhku. Namun, suara lemah Darrel mencegahku.

"Jangan...."

Aku mendengarnya dengan baik meskipun suaranya kecil, karena saat itu mulut orang-orang diam ternganga, terpukau melihat caraku bertarung. Aku mengampuni Erwin. Melepaskannya dan dia langsung berdiri memasang kuda-kuda lagi. Aku tidak ingin jadi pembunuh kaum Bawah. Tetapi jika ini untuk Darrel, aku akan membunuh seisi dunia deminya.

Aku duduk memeluk kepala Darrel. Dia lemah dan menderita. Aku melihat wajah Rahul di sana, persis ketika aku akan kehilangannya. Aku tidak mau Darrel pergi dan mati setelah apa yang kami lalui. Mataku menatap Goldey memohon dan pria itu langsung berlari ke arah kami. Raja tidak menegurnya. Goldey menggendong Darrel dan membawanya lari keluar dari Aula Dewa. Tubuhnya yang kecil cukup kuat membopong bocah itu. Aku dibiarkan tetap di sini dan menyelesaikan semua masalah. Goldey berjanji akan menyembuhkan Darrel.

"Kau curang! Pengecut! Harusnya kau memakai pedang dan tidak menggunakan kaki atau belati murahanmu!" Erwin meraung sambil menunjuk-nunjuk wajahku dengan pedangnya.

"Di Pertarungan kaum Bawah, Kau bisa menggunakan bagian tubuh mana saja," kataku yang sekarang berdiri dengan tangan kosong.

"Ini bukan tanah majikan Berlianmu, Kau harus bertarung dengan aturan yang ada di sini!"

"Jika itu yang Kau inginkan, harusnya aku membunuhmu tadi karena di sana hanya ada satu orang yang boleh hidup, sementara yang lemah seperti Kau harus mati," kataku membuatnya makin marah.

Wajah Erwin menunjukkan rasa malu dan terkejut. Tidak ada yang membentak dan mengancamnya seperti yang kulakukan.

"Astaga, kau tidak pernah ikut duel kaum Bawah di Berlian, Erwin? Apa ayahmu menyelamatkan bokong manjamu itu?" Aku mengejeknya, cukup memalukan karena orang-orang tertawa keras.

Dia mengayunkan pedangnya ke wajahku lagi. Raja Josuan bangkit dari duduknya dengan sangat cepat, ia mengambil pedang dewan yang ada di sampingnya dan memukul balik pedang Erwin hingga terjatuh. Itu kekuatan yang cukup besar, pastilah raja adalah petarung yang handal.

Dia menatapku dengan senyum tipis dan berkata, "Selamat menikmati kehidupan di Darxon, Jagat."

"Terima kasih, Tuan."

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang