29. Sembilan Letnan

5 0 0
                                    

Keringat bercucuran di wajah para ibu. Anak-anak kecil sesekali mengeluh dan mengaduh kepada orang tuanya. Semua diabaikan. Misi kami hari ini hanya satu, berjalan sampai tenaga terkuras dan tubuh menyerah.

Aku harus was-was. Saat sedang memimpin jalan di depan kaumku, mataku awas melirik ke belakang sesekali karena khawatir jika ada musuh atau binatang buas apa pun yang bisa menyakiti orang Bawah. Kehilangan Darrel adalah sesuatu yang menyakitkan, melukai perasaan pribadi karena hubungan kami yang dulu seperti saudara kandung, atau kehilangan wakil kapten yang bisa memnjamin keselamatan kaum Bawah.

Beruntung karena Ratu Elsa kini sepenuhnya sadar bahwa dia harus mengambil bagian untuk melindungi rakyatnya. Dia memintaku untuk berjalan di belakang, mengamati sekitar. Sementara dia maju paling depan. Kalau dia melihat bahaya atau keanehan di depan, aku menyuruhnya untuk memanggilku segera. 

Kami berteduh di bawah pohon besar saat matahari pelan-pelan terbenam. Hanya duduk beberapa menit untuk makan dan minum sehemat mungkin. Aku tidak tahu berapa hari lagi perjalanan kami, jika memang masih jauh, setidaknya aku telah menyuruh kaumku untuk menyimpan makanan sebaik mungkin. Makan saat lapar. Minum saat mulut kering.

Kami melanjutkan perjalanan saat senja telah hilang. Malam yang sejuk di dalam hutan. Bulan dan bintang menggantung di langit. Aku harus memaksa kaumku untuk terus berjalan sampai tengah malam. Mereka tidak mengeluh. Aku mengingatkan kalau semua orang yang kini bersamaku adalah petarung. Mereka telah mengantar suami, ayah, dan kakak ke dermaga Darxon menuju laut kematian untuk mempertaruhkan nyawa demi nasib baik, maka kami pun yang di sini harus mempertaruhkan apa saja untuk sampai ke Marvil.

Saat suasana telah menjadi semakin sepi. Tengah malam. Kami sampai di sebuah tanah lapang tanpa pohon. Hanya rumput dan kerikil-kerikil kecil. Di sanalah kami akan istirahat. Aku ingin menghindari ancaman apa pun yang biasanya muncul dari belakang pohon besar. Solusinya adalah tanah luas yang memungkinkanku memantau siapa saja.

Seperti biasa, aku duduk sendirian. Mengambil jarak pantau yang cukup memadai. Kesepian itu menyesakkan. Bukan hanya karena kesendirian, tapi saat sepi, seluruh pikiran buruk menerobos masuk ke otak. Aku baru menyadari kalau kain merah milik Rahul tidak lagi ada padaku. Darrel pasti mengambilnya. Aku memikirkannya selalu. Apa yang akan terjadi pada hatinya. Sangat menyakitkan saat dia mengetahui kakak dan ibunya mati dibunuh. Sekarang lebih sakit lagi karena dia tahu akulah yang membunuh kakaknya.

Aku pun memikirkan ulang perasaanku saat Darrel menghimpit tubuh dan mencekik leherku. Terpintas walaupun sejenak, aku ingin hidup dan menyingkirkan Darrel saat terdesak . Aku tahu itu hal salah, namun sebagian diriku ingin menyakini kalau itu sesuatu yang benar. Aku ingin hidup karena kaum Bawah membutuhkanku. Hanya aku yang bisa membawa kejayaan dan kemenangan kepada mereka. Karena itu, aku tidak boleh mati dibunuh oleh siapapun.

"Bang Jagat," panggil Army membuat semua pikiran burukku pergi.

Aku melihat ke arahnya. Dia memberi hormat dengan tangan kanannya di dahi seperti bawahan yang melapor ke atasan. Aku menghela napas. Bocah ini semakin menyebalkan. Kemudian aku menyadari, dia tidak sendiri. Kuhitung ada 9 anak laki-laki sepantarannya berdiri rapi di depanku. Semua memberi hormat. Aku tidak tahu apa rencana mereka. Apalagi ketika kusadari kalau di tangan kiri masing-masing, mereka memegang sebuah pisau.

Ini tengah malam. Mereka harusnya tidur beristirahat.

"Apa apaan ini, Army?" Aku lebih mengenalnya daripada anak-anak lain.

Army menurunkan tangan hormatnya, lalu memegang pisau di tangan kanan. "Ajarin kami cara memakai benda ini, Bang, cara untuk membunuh."

Aku menelan ludah. "Membunuh itu dosa besar, kalian tidak boleh membunuh."

Anak-anak lain protes. Suara mereka mengusik telingaku. Bayangkan kau harus mengahadapi bocah-bocah ini. Mereka mengeluh seperti bayi.

Army menjelaskan, "Aku mengumpulkan anak laki-laki seumuranku, Bang, untuk berlatih supaya bisa sepertimu, kalau nanti raksasa-raksasa itu kembali, aku bisa mengurus yang paling kecil, Kau yang paling besar, satu lagi serahkan pada mereka berdelapan."

Anak-anak yang lain nyengir, lalu mengangguk.

"Kalian tidak boleh membunuh. Titik." Tegasku.

"Kalau begitu, ajarkan aku cara melindungi ibu dan adikku," kata salah seorang dari merreka.

Aku melihatnya. Dia maju ke arahku. Caranya berjalan membuatku kagum. Anak ini lebih dewasa daripada umurnya. Dia anak pintar, bukan seperti Army.

"Ayolah, Bang," lanjutnya. "Saat Kau menyerang Jasper, ibunya datang ke arah kami. Aku tidak bisa melakukan apa-apa saat raksasa itu meremas tubuh adikku. Jika saja aku lebih giat berlatih bertarung daripada belajar dan baca buku, mungkin adikku tidak akan mengalami trauma seumur hidupnya."

"Kau hanya anak kecil, memangnya jika Kau berlatih, Kau bisa menghadapinya?" Aku menatap matanya mengintimidasi. "Kau akan mati jika melawan."

"Itu lebih masuk akal daripada melawannya tanpa tahu trik-trik bertarung. Aku tidak peduli dengan mereka," Anak itu menunjuk Army dan semua temannya. 

"Siapa namamu?" Tanyaku.

"Aku Elijah, jadikan aku prajurit hebat." Elijah menatapku penuh hormat. "Aku sudah memahami bahayanya dan rela gugur demi satu tujuan."

"Tujuan apa?"

"Melindungi kaumku," katanya. "Kau memang kuat, Bang, tapi Kau tidak bisa melindungi semua orang sendirian."

Anak-anak lain menyorakinya. "Woi, kami juga ingin melindungi kaum Bawah."

Yang lain berteriak, "Ajarin kami melempar pisau ini, Bang."

"Iya, Bang, cepat!"

Aku melirik mereka satu persatu. Lalu melihat ke perkemahan tempat kaumku tidur. Di sana hanya ada ibu-ibu dan anak kecil. Jika ada orang yang harus bertarung menerobos segala bahaya demi kaum Bawah, itu sembilan anak ini.

Aku berdiri.

"Army," gumamku. "Kau letnan pertamaku. Elijah, Kau letnan kedua."

Aku menunjuk satu-satu. Memberi mereka sebuah pangkat, dari letnan 1 sampai letnan 9, supaya mereka mengingat bahwa hari ini, saat mereka masih kecil, mereka telah mengambil sumpah untuk melindungi orang-orang lemah, terutama wanita dan anak-anak. Aku belum hafal nama mereka satu-satu, tapi sematan panggilan letnan lebih mudah untuk menandai mereka.

Entah aku harus senang atau sedih, mereka seperti martir di cerita perang. Berusaha melindungi, padahal seharusnya merekalah yang dilindungi

"Mulai hari ini, kalian bersembilan akan menuruti semua perintahku, mendengarkan nasihatku, belajar trik-trik bertarung kepadaku, dan menjadi letnanku. Kalian telah mengambil sumpah ini, sumpah untuk melindungi kaum Bawah, maka seperti seorang letnan pada umumnya, kalian bukan lagi anak kecil, melainkan tentara terbaik Pulau Kemarau."

"Satu hal lagi," kataku. "Ingat baik-baik, mulai sekarang, kalian para letnanku telah menjadi saudara. Apa yang Kau makan, itulah yang akan saudaramu makan. Kalian haru saling menjaga satu sama lain."

"Sebagai permulaan, malam ini kalian tidak akan tidur, kita akan melakukan sesuatu. Kau, Letnan 5, 6, 7, 8, dan 9, buatlah parimeter. Kalian akan berdiri melingkari orang-orang Bawah yang sedang tidur, memantau pergerakan aneh apa pun di sekitar. Jika kalian melihat sesuatu, berteriaklah, lalu lari, aku akan menghampiri kalian."

Mereka mengangguk. Tersenyum. Dada mereka dipenuhi bunga-bunga kebahagiaan. Anak-anak ini berpikir mereka sedang main-main.

"Aku harus ngapain?" Army yang bertanya.

"Kalian," kataku tersenyum. "Letnan 1, 2, 3, dan 4, kita akan memeriksa jalan di depan sana dan kalau beruntung, kita akan berburu rusa di dalam hutan. Lalu besok pagi-pagi sekali, kita akan melanjutkan perjalanan."

Army mengepal tangannya dan meninju langit. Dia sangat antusias.


Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang