Kaum Bangsawan memang menginginkanku berkubang dalam kesedihan, meratap, dan menyesal. Itulah yang aku lakukan saat ini, aku tidak bisa berpura-pura baik saja karena baru tiga hari yang lalu aku membunuh Rahul.
Aku belum bertemu dengan Darrel. Dia pasti sudah mendengar kalau kakaknya telah gugur di pertarungan. Setiap keluarga yang kalah akan dieksekusi massal. Disaksikan oleh para Raja dan rakyat suci mereka. Aku tersesak setiap kali wajah Rahul terlintas di depan mata. Namun entah bagaimana, sebagian hatiku berharap dia telah dieksekusi bersama orang-orang yang kalah, agar aku tidak perlu menjelaskan kepadanya bagaimana Rahul mati, atau membanggakan diri karena masih hidup dan memenangi Pertarungan Kaum Bawah.
Aku mengurung diri di hutan. Minum dari sungai dan hanya makan buah-buahan yang kudapat di dekat sana. Dua hari lalu aku mendengar beberapa kapal sudah diturunkan ke pinggir Laut Sentosa. Bangsawan akan mengirim kaum Bawah yang menang dan keluarganya ke seberang laut, sebuah pulau bernama Kemarau.
Dari yang kudengar, pulau itu tidak jauh berbeda dengan kematian. Hanya beberapa orang yang pernah diasingkan ke sana, para kriminal kaum Bawah yang mengerikan. Tanahnya kering. Tidak banyak makanan. Hanya ada pohon-pohon besar yang tidak berbuah. Hutan lebat yang dihuni binatang buas. Perak pun cuma sedikit saja karena tidak ada pasar di sana.
Rute yang dilewati menuju ke Pulau Kemarau pun sangat aneh. Orang-orang bisa saja sampai lebih cepat jika kapal berangkat dari Kerajaan Arum atau Xenia. Tetapi kami justru dibawa ke kota kecil bernama Durham di Kerajaan Julister, menaiki kapal dan memutar kerajaan untuk sampai ke Pulau Kemarau. Alasannya karena laut yang terletak antara Kerajaan Berlian dan Pulau Kemarau adalah tempat maut menunggu.
Aku pernah mendengar cerita bahwa ratusan tahun lalu, 7 kapal Kerajaan karam di sana. Tidak ada yang tau kronologinya. Tak seorang pun hidup untuk bisa menceritakan. Kami mengenalnya dengan nama Laut Hijau, karena air laut di sana memang berwarna hijau. Berbeda dengan Laut Sentosa yang memiliki air biru bersih. Dua laut ini ibarat air dan minyak, terpisah meski di benua yang sama.
Ke sanalah Bangsawan akan mengirimku dan keluarga kaum Bawah yang menang untuk meratapi nasib. Mereka menyuguhkan daging kaumku untuk makanan hewan buas dan hutan kejam.
Hari ini, kami semua akan berangkat. Hanya ada beberapa keluarga yang menetap di Julister. Mereka menjadi pembantu, tukang, pengrajin, petarung dan segala pekerjaan yang intinya tunduk ke para penguasa.
Dan hari ini juga, yang kalah akan dieksekusi. Mereka digiring ke kota Cuala. Kota tersebut sering dijuluki Kota Eksekusi karena pelaku kejahatan akan dipenggal kepalanya di sana. Tempatnya tidak terlalu jauh dari Durham. Bahkan aku dapat mendengar banyak jeritan, suara itu datang dari sebuah lapangan lama yang dilindungi tembok raksasa seperti bangunan-bangunan Romawi.
Aku menyeret kakiku untuk naik ke kapal. Tapi hatiku ingin sekali melihat Darrel untuk terakhir kali, meskipun saat dieksekusi.
Aku berlari ke sana sebelum terlambat. Kaum Bawah dilarang masuk untuk menyaksikan. Hanya orang-orang yang akan dibunuh. Tapi aku cukup pandai menyelinap. Menyamar menjadi Bangsawan dengan berjalan tegak tanpa rasa gentar. Dengan was-was, aku melewati para penjaga gerbang itu dengan menyembunyikan belati kecil di pinggang, siap melawan balik kalau ditangkap. Penjagaannya tidak ketat. Mereka berpikir tidak mungkin ada kaum Bawah yang mau ke sini cari mati.
Kaum Bawah bisa dibedakan dengan Bangsawan. Kaumku memiliki cap stempel besi berbentuk rubah di bahu kanan. Setiap anak orang Bawah yang menginjak umur lima tahun akan ditempeli besi panas berukir itu. Aku diajarkan rasa sakit yang harusnya tidak ditanggung anak kecil.
Sementara Bangsawan, kulitnya bersih suci. Tidak ada luka kecuali hanya beberapa prajurit lama. Tidak banyak pertempuran yang mereka mainkan. Kerajaan selalu mengutus orang Bawah untuk melakukan perang kecil dengan orang asing yang terdampar di Berlian.
Namun bagi orang yang cukup pandai. Dia bisa membedakan kaum Bangsawan dan Bawah hanya dengan melihatnya.
Aku menembus kerumunan Bangsawan yang menyaksikan pembantaian itu. Mataku menyapu seluruh lapangan untuk menemukan Darrel.
Anak itu tidak ada di sana.
Aku naik lebih tinggi ke bangku penonton untuk mendapat sudut pandang yang lebih luas. Nihil. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun dari bocah itu. Aku berbaur dengan Bangsawan, menyisir seluruh bangku. Aku mondar mandir. Semua orang sibuk melihat hiburan keji di bawah. Tidak ada yang memperhatikanku, kecuali satu orang.
"Hei anak muda, apa aku mengenalmu?"
Aku berbalik dan melihat orang yang bertanya. Astaga, dia tidak mengenalku.
Tapi aku mengenalnya.
Dia seorang Bangsawan. Dia pewaris sah kerajaan Julister. Kabar burung yang aku dengar, saat mendiang ayahnya mati, dia tidak diangkat menjadi raja karena ayahnya sangat membenci kelakuannya. Itulah mengapa adik ayahnya dilantik menjadi Raja Julister.
Padahal secara hukum dan budaya, anak kandunglah yang akan menjadi pengganti kerajaan. Namun mendiang Raja Julister itu membenci anaknya yang nakal. Anaknya bernama Serge, dia muda, berusia sekitar 22 tahun.
Serge itu pemabuk, suka berbuat onar, tidur berantakan, berbuat kasar kepada beberapa Bangsawan rendahan, dan hampir menampar setiap kaum Bawah yang ditemuinya.
"Tidak, Tuan." Aku membungkuk menunjukkan rasa hormat. "Aku hanya orang biasa, tetapi tentu saja aku mengenalmu, Tuan Serge."
Serge tersenyum tipis. Wajahnya terasa letih. Tangan kanannya menggenggam sebotol bir. Berdirinya terhoyong-hoyong karena mabuk.
"Orang biasa?" tanyanya.
"Iya, Tuan."
"Tidak ada Bangsawan yang mengaku dirinya orang biasa. Kau orang Bawah, ya?" Serge meneguk minumannya.
Sial. Aku tidak boleh ketahuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
AksiyonBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...