27. Mereka Nyata

2 0 0
                                    

Darrel terlalu kuat sehingga keseimbanganku rapuh. Tubuhku terdorong ke belakang hingga berdebum menyentuh tanah. Darrel memanjat tubuhku. Tangan kirinya kiri mencekik leherku, sementara tangan kanannya masih mengarahkan belati.

Aku melihat wajah Darrel seperti lima tahun lalu saat dia menyaksikan ibunya dipenggal. Amarah ini adalah pertanda kalau setan sudah memasuki jiwanya, dia tidak akan segan membunuh. Lingkaran genggaman tangan Darrel di leherku semakin kuat. Aku bisa merasakan mukaku panas dan memerah. Urat-urat leherku menegang. Napasku tersumbat. Tangan kananku menepuk-nepuk lengan Darrel dengan lemas, memberi isyarat kalau dia harus melepaskan cekikannya.

"Kau selalu berlagak jadi seorang kakak bagiku karena merasa bersalah telah membunuh Rahul, kan, Kau lebih hina dari Bangsawan!"

Darrel meneriakiku dengan geram. Mulutnya mengeluarkan air ludah seperti seekor hewan. Giginya saling bergesekan menahan emosi. Hatiku terluka. Dia tidak salah. Meskipun aku selalu menganggapnya sebagai seorang adik, jauh di lubuk hati, kadang aku melakukannya karena rasa bersalah, bukan karena ikhlas. Aku tidak bisa membedakan kejujuran di dalam diriku sendiri karena seluruh hidupku dipenuhi dengan kematian, kesalahan, dan kehilangan.

Aku tidak ingin mati. Sekali di dalam hatiku, terbisik untuk melawan dan memukul Darrel demi menyelamatkan nyawaku sendiri. Namun aku tidak sanggup melawannya sekarang, posisiku kalah jauh. Darrel tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya hanya mencekikku. Wajahnya memerah. Bola matanya memancarkan cahaya dari air mata yang bergulir pelan di atas pipi.

"Bang Jagat..."

Aku mendengarkan seseorang memanggilku. Suara hentakan kaki kecil di atas tanah. Seseorang sedang berlari ke arahku. Darrel menoleh ke kerumunan tempat kaumku tidur. Dia menyadari sesuatu.

"Jangan pernah datang ke hidupku lagi. Enyahlah, Pembunuh!"

Aku masih mencerna perkataan Darrel saat dia melepaskan tangannya. Lalu berdiri cepat dan berlari ke barat. Aku tidak bisa mengejarnya untuk meminta maaf. Napasku masih belum teratur. Mukaku yang merah mulai padam perlahan. Aku berdiri merapikan penampilanku. Tidak ada yang boleh tahu apa yang terjadi di sini.

"Bang!"

Aku melihat Army berlari seperti orang gila. Dia hampir menabrak tubuhku karena tidak bisa menghentikan kakinya.

"Hannah," kata Army yang masih terengah-engah. "Tubuhnya sangat panas. Ratu Elsa menangis seperti sedang kehilangan anaknya."

Army menunjuk ke perkemahan kami. Orang-orang mulai bangun. Kepanikan terjadi. Aku langsung berlari ke sana tanpa menjawab Army sedikit pun. Dia mengikutiku di belakang.

Aku berlari sekuat tenaga. Tidak ada kaum Bawah yang boleh mati di bawah perlindunganku. Apalagi jika itu adalah putri Raja Josuan. Aku memegang leherku karena masih bisa merasakan genggaman kuat Darrel. Hatiku hancur, namun aku harus kuat. Hannah membutuhkanku.

"Apa yang terjadi, Ratu? Tanyaku begitu sampai.

Ratu terisak memeluk kepala Hannah di pangkuannya. "Dia menjerit, aku terbangun, dan melihat tubuhnya memanas, wajahnya pucat," jawab ratu terisak.

Aku mengecek keadaan Hannah. Astaga. Tubuhnya membakar tanganku. Ini bukan demam. Matanya menatap ke langit, bibirnya membiru, wajahnya memutih.

Ini bukan sakit biasa. Hannah mungkin menginjak duri berbahaya. Aku mengecek telapak kakinya. Nihil. Kemudian aku menyibak celana panjangnya sampai ke lutut. Kakinya putih bersih tidak ada goresan apa-apa.

"Apa dia sudah mati, Jagat?

Aku berhenti sebentar. Menatap wajah ratu yang mengajukan pertanyaan putus asa. Dia terisak kencang sekali. Orang-orang Bawah lainnya mengerumuni kami. Kepanikan terjadi. Bisikan-bisikan tentang kehilangan mulai terdengar. Aku tidak menjawab. Tanganku masih sibuk mencari-cari penyebab ini semua.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang