Tubuh kami lebih ringan dibandingkan dua penjaga yang memakai banyak perhiasan prajurit di tubuh merka. Kami unggul di segi itu dan berhasil kabur secepat mungkin. Tapi aku masih yakin kalau mereka berdua tepat berada di belakang kami. Hanya masalah waktu, aku dan Darrel akan tertangkap.
Aku pun memikirkan solusi. Kami masuk ke hutan yang gelap. Hanya hijau tua di mana-mana. Pohon besar, suara binatang kecil, burung-burung, dan suasana menyeramkan. Kami terus berlari, masuk lebih dalam. Hutan ini akan membawa kami sampai ke dermaga Laut Hijau di Baruh, salah satu kota yang berada di bawah kuasa kerajaan Xenia. Iya. Aku merubah rencana. Kami tidak akan sampai ke Durham, Bangsawan lain akan mengejarku, mudah saja menebak kami akan ke mana untuk melarikan diri. Aku ingin bertaruh dan menuju ke Baruh, itu kota paling dekat, tidak dalam kuasa Julister. Dari sana kami akan naik kapal dan melintasi Laut Hijau yang melegenda itu agar sampai ke Pulau Kemarau.
Mencapai pohon besar dan lebat, aku menyuruh Darrel berhenti. Dia bingung, harusnya kami tetap berlari karena sedang dikejar. Tapi karena yakin aku memiliki rencana, jadi dia nurut saja. Aku menyuruhnya bersembunyi di balik pohon besar. Apa pun yang terjadi, dia harus tetap bersembunyi. Sementara aku maju ke pohon lain yang baru saja kulewati, beberapa meter dari tempat Darrel menggenggam tangannya sendiri untuk menguatkan diri.
Aku mulai mencium udara busuk. Diikuti suara ranting-ranting kecil yang dipijak. Suara langkah kaki. Tidak banyak. Itu dua penjaga. Mereka prajurit yang punya firasat baik. Bisa mengendus kalau kami tidak lagi berlari, melainkan bersembunyi. Keduanya berjalan lurus. Mengikuti bekas kaki kami. Aku menahan napas dengan baik. Penjaga semakin dekat. Jika sekarang aku bernapas normal, mereka bisa menangkapku. Dekat sekali. Pelan-pelan aku menggengam belati tajam milikku.
Mereka maju. Dua langkah lagi dan kami akan bertemu. Aku bisa mendengar suara dentingan baju besi. Tepat saat kakinya melewati pohon tempatku bersembunyi, kutebas betis salah seorang penjaga. Dia terhuyung, tapi tidak jatuh. Temannya sigap maju untuk menghajarku. Tapi perhitungannya salah. Dia terlambat. Aku maju selangkah lebih cepat, mataku mencari bagian tubuh yang tidak dilindungi zirah, dan menusuk leher prajurit yang terluka tadi.
Satu tumbang, satu lagi masih utuh.
Kami berhadapan satu lawan satu. Ini momen yang berbeda dibandingkan saat Pertarungan Kaum Bawah. Aku ingin menang. Aku akan menghajarnya habis-habisan.
"Kau kaum Bawah rendahan, dimana kau belajar bertarung?" Prajurit itu bertanya sambil memasang kuda-kuda.
"Belajar? Ini bakat alamiku, Bodoh!" Aku menyombongkan diri.
Saat kami belum memutuskan siapa yang maju menyerang duluan. Sebuah belati kecil membelah angin malam, terbang lurus dengan tajam.
Ting!!!
Belati tadi menghantam punggung Bangsawan yang dilindungi zirah besi. Dia berpindah posisi. Kini aku berada di sebelah bahu kanannya, dan Darrel ada di seberang sana.
"Astaga, gak tembus," kata Darrel.
"Diam di sana, Darrel!"
Akulah yang maju menyerang lebih dulu sebelum si Bangsawan melukai Darrel. Penjaga itu mengayunkan pedangnya, aku terpaksa mundur tiga langkah. Aku akan kalah, jangkauan pedang jauh lebih luas dibandingkan belatiku.
Penjaga itu tersenyum. Meremehkan. Dan momentum itu membuatku unggul. Aku melempar belati seperti sedang berburu seekor rusa. Sangat cepat, minimal untuk membunuh prajurit rendahan. Belati itu menancap di pergelangan tangan kanannya, tangan dominan, tangan yang memegang pedang.
Senjatanya jatuh berdebum di tanah hutan. Dengan tangan kosong aku meraung maju. Menjatuhkannya ke tanah sementara darah terus mengalir. Aku murka. Entah siapa aku saat itu. Yang kupikirkan hanya Rahul dan ibunya. Semua amarahku meledak di sana. Penjaga itu tidak bersenjata lagi. Aku bisa membiarkannya mati di hutan ini kehabisan darah. Tapi itu tidak akan memuaskan nafsuku. Aku memukulnya dengan ganas. Tinjuku mengenai wajahnya berkali-kali. Aku bisa merasakan dagingnya melembek. Tidak ada lagi wajah tampan yang menempel di kepalanya. Darah dan tanah mengotori tubuh lemas di sana.
Aku masih terus memukul. Lagi dan lagi. Tidak bisa berhenti. Barulah setelah semenit aku sadar kalau penjaga itu telah lama mati. Aku memukul mayatnya. Membunuhnya berkali-kali.
Aku berhenti dan berdiri. Napasku tidak karuan. Kemudian melihat ke bawah, ada dua tubuh Bangsawan yang terjatuh tidak lagi bergerak. Tanganku berlumuran darah. Aku bisa mencium aroma kematian, baunya dekat sekali, dan ternyata darah mereka memenuhi wajahku. Saat itu, aku tidak lagi gemetar. Malah tersenyum dan bangga.
Aku menoleh ke belakang, teringat dengan Darrel.
Bocah itu berdiri di sana. Dia gemetar sekali. Menatapku dengan takut. Darrel sedang memandang seorang pembunuh.
***
Kelanjutan perjalanan sangatlah lancar setelah menumbangkan dua orang penjaga yang mengejarku dan Darrel. Kami menyusuri hutan hingga larut dan beristirahat untuk melanjutkan perjalanan menuju dermaga kecil di ujung Baruh. Tidak ada kuda. Kami berjalan dengan kaki sendiri. Sempoyongan dan haus kalau tidak beruntung mendapatkan sumber air. Tidak ada bekal yang disiapkan untuk misi ini. Bukan hal-hal remeh seperti itu yang menyulitkan langkah kakiku. Tapi Darrel, anak itu tidak mau berbicara denganku kecuali sangat perlu. Lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Apa yang dilihat Darrel di hutan saat aku menumbangkan dua penjaga Bangsawan bukan hal biasa. Yang terbiasa dilihat Darrel adalah Bangsawan membunuh kaum Bawah. Namun sekarang, akulah, orang yang mungkin sudah dianggap kakaknya, telah melakukan kejahatan yang sangat keji.
Lihatlah bocah itu. Darrel tidak bisa menerima orang Bawah membunuh siapa pun. Karena bagi anak yang hatinya masih bersih, membunuh itu sangat mengerikan. Meskipun kita semua sepakat kalau aku adalah orang baik di sini dan dua penjaga itu orang jahatnya. Tetap saja, Darrel memandangku dengan ngeri. Kadang dia was-was. Sengaja membiarkanku jalan di depan supaya tidak kuserang tiba-tiba dari belakang.
Sebaik apa pun Darrel mengenalku yang dulu, dia tidak memahamiku lagi. Aku merasakan sesak di hati. Rasanya menyakitkan melihat kepercayaan seseorang kepada kita pudar, apalagi ia adalah keluarga. Aku tidak akan mengajak Darrel berbicara atau menjelaskan pembenaran tentang kejahatan yang kulakukan. Dia memang sempat marah dan ingin membunuh seluruh Bangsawan, itu hal yang berbeda. Memikirkan pembunuhan dan melakukannya adalah dua hal yang jauh dari kata sama.
Butuh 5 hari aku dan Darrel mencapai dermaga. Kami cukup kecewa saat menemukan tempat itu sunyi sekali. Memang tidak banyak kapal yang berani melintasi Laut Hijau. Alasannya adalah cerita-cerita orang lama. Konon pernah dikisahkan, para Bangsawan pergi berlayar ke Pulau Kemarau dengan niat jahat, mereka memilih melintasi Laut Hijau. Ditunggu selama sebulan lebih, para Bangsawan itu tidak kunjung sampai ke Kemarau dan tidak pula pulang ke Berlian. Mereka dinyatakan hilang. Bangsawan berkabung, sementara orang Bawah tertawa sambil nyeletuk, "Laut ini suci, mereka mengambil nyawa setiap Bangsawan yang berlayar."
Maka berlayarlah orang Bawah ke Laut Hijau untuk mencari kapal Bangsawan yang karam. Terutama perak dan harta lainnya. Tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Tidak juga pulang. Tidak sampai ke Berlian atau pulang ke Kemarau. Orang bawah juga karam dan hilang.
Semenjak hari itu. Laut hijau, yang warnanya hijau cantik dan berombak tenang di pesisirnya, ditakuti semua orang. Pelayan-pelayan hanya berani melintas setengah jalan untuk mencari ikan. Tidak ada yang melakukan perjalanan melintasi Berlian ke Pulau Kemarau melalui jalurnya.
Aku terduduk di dermaga itu sendirian. Darrel sibuk melempar kerikil ke laut, mengambil jarak yang cukup jauh dariku. Setengah hari kami menunggu. Tidak ada yang datang hingga fajar pertama hari esok tiba.
Setelah menunggu beberapa lama, aku melihat sebuah perahu merapat ke daratan. Kami bangun bersamaan. Darrel mengambil belatinya.
Aku mengamati dengan teliti. Berusaha mengenali apakah mereka kaum Bawah atau Bangsawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
ActionBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...