Dante terkapar kesakitan di tanah. Dia bangun tertatih-tatih berjalan ke tubuh Jasper yang tidak bernyawa. Lalu memeluk kepalanya di dalam pangkuan.
Kesedihan menyelimuti langit Pulau Kemarau saat aku mengangkat tubuh Calleb. Menggendongnya ke tempat kaumku duduk bersedih. Para letnanku berjalan di sampingku mengawal jasad Calleb. Aku meletakkan tubuh kecilnya di atas tanah. Seorang ibu maju berlutut. Wajahnya penuh air. Matanya merah seperti terbakar api. Dia mengecup dahi anaknya. Aku mencoba menahan air mataku agar tidak jatuh. Kematian ini adalah tanggung jawabku.
Aku berlutut di depan ibu Calleb. Disaksikan oleh seluruh kaum Bawah. "Maafkan aku karena tidak bisa menjaganya"
Ibu Calleb berdiri pelan. Menyeret kakinya melangkah ke arahku. Dia berdiri persis di depanku. Seluruh tubuhku bergetar hanya karena menatap kaki seorang ibu yang baru kehilangan anaknya. Andai aku tidak menjadikan Calleb letnanku. Andai aku tidak membuat Darrel meninggalkan kaumku. Andai aku tidak pernah meminta para letnanku untuk menjaga orang Bawah. Pastilah ini semua tidak akan terjadi.
Tangan lembut ibu Calleb menyentuh bahuku. "Jagat, Calleb hanya anak polos. Dia tidak pernah membunuh seekor nyamuk pun. Dibentak anak gadis saja hatinya ciut. Kupikir Calleb adalah anak lemah."
Aku masih menatap ke bawah. Melihat beberapa butir air mata seorang ibu membasuh tanah Kemarau.
"Jagat," lanjutnya. "Saat Calleb berdiri di depan kami, mengaku menjadi salah satu letnan penjaga kaum Bawah di depan para raksasa." Ibunya terisak lagi. "Aku tidak pernah sebangga ini. Dia adalah anak kuat berhati lembut. Aku bangga karena anakku mati saat sedang berusaha mengubah takdir kaum Bawah.
Mataku memanas. Wajahku semakin merah menahan rasa sedih dan penyesalan.
"Bangunlah, Jagat." Dia membantuku berdiri. Dengan rasa takut aku menatap wajah sedih seorang ibu. Dia tersenyum. Manis sekali sehingga sulit mengatakan kalau itu hanya senyum biasa. Lalu dia merangkulku. Memelukku. Mengelus-ulus punggungku.
Aku memeluknya juga. Tatapanku kosong. Aku merasakan pelukan paling lembut. Kami hanya diam membiarkan angin menyapu kesedihan.
"Jangan merasa bersalah, Calleb sedang berdansa di surga."
Air mataku tidak mengalir, membuat kesedihan ini memakan jiawaku dari dalam. Aku hancur, tapi tidak boleh ada yang tahu.
Para raksasa juga sedang berkabung karena kematian Jasper. Dante masih terisak di atas tanah. Kami tidak melanjutkan pertarungan. Mengambil waktu untuk berduka. Ibu Calleb meminta kami menggali kubur anaknya di atas tanah Zigala. Menjadi kenangan dan bukti sejarah kalau kelak takdir kami berubah, itu berkat pengorbanan Calleb.
Para letnanku menggali tanah dengan pisaunya, bahkan kadang menggunakan tangan dan kuku. Tubuh letnan ketujuhku dimasukkan ke dalam perut bumi. Lalu kami menabur beberapa bunga seadanya. Aku mengukir sebuah batu.
Berdansalah di surga, Calleb (Letnan ketujuh).
Puluhan api unggun berjejar. Kaum bawah duduk menatap kuburan Calleb. Bertebaran seperti hamparan kain sutra. Aku tidak mengatakan apa-apa sejak kejadian tadi. Mulutku kering seperti diperas kepedihan. Aku masih melamun saat Elijah datang menyapaku, menunjuk Miller yang sedang berjalan ke arah kaumku.
"Jagat," sapanya.
Aku maju. Tubuh kami saling berhadapan. Aku seperti kucing di depan seekor singa.
"Jika kau masih menginginkan duel, aku akan membunuhmu dengan lambat. Calleb mati karenamu," kataku menatapnya dengan serius.
"Maafkan aku," kata Miller. "Daripada mati sia-sia di sini, lebih baik beri aku satu alasan kenapa para raksasa harus berperang ke Berlian membantumu?"
Aku agak terkejut karena Miller meminta maaf. Dia benar, kami hanya akan mati sia-sia di sini. Bertarung sesama kaum Bawah.
"Karena kalian butuh makanan dan perak," jawabku.
Miller tersenyum. "Kukira kau akan menjawab karena kita sama-sama kaum Bawah, harus saling bantu."
Aku tidak tersenyum sama sekali. "Kau membunuh salah satu dari kami, satu-satunya alasan kau hidup karena kepentingan kita sama, yaitu merebut Berlian. Setelah itu, silahkan membuat kesepakatan apa pun dengan Raja Josuan." Aku maju selangkah lalu berkata lagi, "karena jika semua tergantung padaku, seluruh kaummu akan binasa."
"Simpan dendammu, Anak muda," kata Miller. "Jelaskan rencana penyerangan Berlian lebih detail di kapal. Jika kau bisa menyakinkanku, para raksasa akan ikut membantu. Sekarang, kita akan ke Marvil untuk mengantar kaummu dan mejemput pasukan terbaikku."
Miller menjulurkan tangannya. Aku mengangguk setuju, lalu menyalaminya. Kami telah sepakat. Semua dendam harus dipendam. Setiap permusuhan harus dikesampingkan. Kini misi kami sama. Jika nanti para raksasa mencari masalah dan ingin bertarung denganku lagi, itu akan jadi hari terbahagia yang akan kunikmati.
Kami berjalan menyusuri hutan. Melewati berbagai pohon dan penggunungan. Para raksasa menawarkan diri untuk menggendong kaum Bawah. Aku mengangguk menyakinkan kaumku kalau mereka tidak akan macam-macam.
Setelah berjalan beberapa jam, kami sampai di pinggir pulau. Laut hijau tampak memukau. Di sana terapung 4 kapal raksasa. Dibuat dari kayu terbaik. Hanya butuh satu kapal untuk menampung kaumku. Miller dan dua raksasa lainnya naik di kapal kami. Para raksasa lain mengikuti dari belakang.
Aku mengambil tempat duduk di pojok. Merenungkan semua kejadian. Para ibu menanyaiku tentang Darrel. Aku harus berbohong dengan mengatakan kalau Darrel sedang menyusul Raja Josuan ke Narnar. Mereka bingung, tapi tetap percaya.
Seandainya Darrel masih bersamaku, mungkin kami berdua sanggup menumbangkan beberapa raksasa sebelum mereka semua menyerah. Aku pemimpin yang payah. Bahkan menjadi seorang kakak pun aku tidak bisa.
Empat hari kami berlayar di garis aman Laut Hijau. Aku lebih banyak duduk melamun daripada tidur. Bicara pun hanya sedikit. Kaum Bawah juga begitu. Banyak keheningan. Kami membayangkan kalau para raksasa ini akan menolong dan menerima kami dengan lapang dada karena kami sesama kaum Bawah. Namun kenyataan berkata lain, mereka membunuh seorang anak muda. Hubungan kaumku dengan para raksasa jadi aneh sekali, kami saling curiga dan saling butuh di waktu yang sama.
Benteng tinggi menjulang ke langit tampak di depanku. Kami menepi. Marvil terlihat cukup aman. Rumah-rumah besar dan tinggi dibuat dari kayu. Di dermaga ada puluhan kapal perang. Agaknya seluruh hutan telah ditumbangkan demi menciptakan Marvil yang megah. Aku dan kaumku turun dari kapal, disambut para raksasa. Beberapa mata melihatku, mengenali pemimpin kaum Bawah.
Kabar tentang kejadian kami di Zigala sampai lebih dulu. Kemarahan membakar jiwa para raksasa, namun mereka menahan emosinya karena Miller tidak akan mengampuni rakyat yang membangkang. Saat memasuki gerbang depan, aku melihat alat-alat perang berukuran besar, pisau, pedang, tombak, rantai, semua disusun rapi di tanah. Lalu di sebelahnya, berjejer rapi puluhan pasukan raksasa. Mereka tidak menggunakan perisai atau baju zirah.
Aku memastikan kaumku sampai di tempat singgah mereka di Marvil. Mengecek makanan, minuman, dan hal-hal kecil lainnya. Miller berjanji kalau rakyatnya akan melindungi kaumku. Aku tidak punya pilihan selain percaya. Mengatakan kepada para Bawah kalau mereka aman berada di Marvil.
Jika ada yang macam-macam dengan mereka, aku akan menghapus kehidupan di Marvil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
AcciónBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...