Aku berdiri dalam balutan jubah darah di depan para kaumku. Melihat para Bangsawan menyeret kakinya pelan-pelan karena rasa takut. Para prajurit menunggu perintah raja. Jika peluit tanda mundur berbunyi, para Bangsawan akan berlari terkencing-kencing bersama kuda-kuda mereka.
Ini hari baru bagiku. Bagi seluruh kaumku. Kami berperang dalam kegelapan. Membantai satu sama lain menuju masa kekelaman. Matahari mulai mengintip dari balik gunung. Langit pelan-pelan berubah menjadi biru. Kini aku memiliki segalanya untuk memenangkan perang.
Darrel masih mengitari kami dengan naga berwarna hijau dominan. Dia tidak menyerang siapa pun. Menunggu perintahku seperti biasanya. Meskipun aku terlihat senang dengan kehadirannya bersama makhluk besar itu, aku tetap memikirkan kejadian yang memisahkan kami.
Eldragar turun perlahan. Lalu diikuti oleh naga yang lebih besar. Kepakan sayap pelan yang dikibaskan membuat udara pagi menjadi panas. Saat Darrel akan mencapai tanah, aku bisa melihat kain merah milik Rahul membalut kepalanya. Dia turun dari tubuh naga, berhambur memelukku di tengah perang mengerikan.
Orang-orang hanya menatap. Tidak ada yang bergerak melakukan hal-hal aneh. Terlalu takut jika membuat para naga marah. Baik para Bawah atau Bangsawan, mulut mereka tertutup rapat menyaksikan kami.
"Apa kau telah memaafkanku, Darrel?" Itu pertanyaan paling penting.
"Aku memaafkanmu," jawabnya masih memelukku.
Aku memegang bahunya, "Kenapa?"
Darrel tersenyum. "Kita akan membutuhkan banyak waktu untuk membicarakan kisahku dan para naga, aku memaafkanmu karena Eldragar menunjukkan kejadian sebenarnya lima tahun lalu."
Darrel mengeluarkan pedangnya. Berbalik menatap para Bangsawan. "Akhirnya hari ini tiba, para Bangsawan brengsek itu akan merasakan kemarahan orang Bawah."
Bumi terasa sepi. Beberapa detik kemudian, badai api akan datang. Darrel berlari lincah menaiki Eldragar, lalu menunjuk naga besar di sampingnya. "Jagat, naiklah ke atas tubuh Krakatau, itu ibu Eldragar."
Aku mengangguk. Aku menyelamatkan anaknya, Krakatau pasti akan menerimaku. Aku berlari ke arahnya, lalu memanjat tubuh besar dan tua itu seperti yang dilakukan Darrel. Lalu duduk di atas tubuhnya, menunggangi makhluk terhebat dalam sejarah kehidupan manusia.
Eldragar mengibaskan sayapnya, naik ke langit. Begitu pun dengan Krakatau. Aku belum mahir menungganginya, tubuhku hampir jatuh karena guncangan. Sementara Darrel terbang dengan cukup menakjubkan. Aku meneriakinya, "Gimana mengendalikannya?"
Darrel membalas dengan suara keras, "Dia akan mengikuti suara hatimu, Jagat, asal kau tidak menutup diri!"
Aku memikirkan baik-baik ucapan Darrel. Mustahil. Aku tidak bisa membuka diri kepada siapa pun. Banyak hal yang tidak kuceritakan kepada orang lain. Bagaimana ayah dan ibuku mati. Bagaimana aku menjadi seorang petarung seperti Bangsawan. Kejadian pilu saat memukul mati Rahul dengan satu pukulan keras. Banyak hal yang harus tetap kurahasiakan, bahkan kepada seekor naga pun aku tidak ingin mengaku dosa-dosa besar itu.
Krakatau masih terbang tidak stabil, tubuhnya terguncang, membuat keseimbanganku rapuh. Tubuhku terlompat-lompat. Pikiranku masih kacau. Sementara mataku melihat ribuan pasukan Bangsawan mulai memecut kudanya untuk kabur.
Aku akan mengalah. Biarlah Krakatau mengetahui seluruh kisah hidupku. Dosa-dosaku.
Jiwaku seperti pergi separuh. Dadaku terasa sakit. Mata Krakatau yang hitam berubah jadi hijau menyala seperti Eldragar. Aku merasakan koneksi. Separuh jiwaku tadi, telah menjadi jiwanya. Lalu separuh jiwanya telah menjadi bagian dari diriku.
"Kejar dan bunuh mereka semua!" Teriakku dengan suara lantang. Memberi perintah kepada para kaumku.
Para raksasa dan orang Bawah mengambil pedang-pedang jatuh. Beberapa orang menunggangi kuda Bangsawan yang tidak punya pemilik lagi. Lalu mengejar orang-orang yang telah lama ingin mereka bunuh. Para raksasa mengambil tombak, perisai, pedang, batu, bahkan mayat Bangsawan, lalu melemparnya ke arah mereka yang kabur.
Darrel dan Eldragar melaju lurus ke timur, membakar seluruh hutan, api hijau menyala di langit biru. Ratusan manusia dan kuda terbakar hangus. Menyisakan daging hitam atau tulang-tulang. Aku dan Krakatau terbang ke arah barat, nagaku mengeluarkan api merah kehitaman. Membakar hampir seluruh Himala.
Puluhan tahun hidup di antara Bangsawan membuat dendamku kepada mereka cukup besar. Aku bisa membunuh seluruh orang yang berada di sini. Namun, aku bukan Jagat yang egois. Luka-luka, kematian, dan darah telah menjadikanku orang manusia sempurna. Aku tidak hanya kuat, tetapi juga cerdas. Jika aku membakar seluruh manusia Bangsawan Nersia di sini, maka kehidupan kaumku berada di ujung kematian. Aku bisa melenyapkan populasi Nersia, tetapi puluhan atau ratusan tahun yang akan datang, Bangsawan akan datang membalas.
Aku tidak menanyai pendapat siapa-siapa. Mengambil keputusan untuk menjadikan para Bangsawan sebagai tahanan.
Hari ini kami menang karena memiliki kekuatan besar para naga. Meskipun darahku mendidih, nadiku meronta-ronta, aku tetap memikirkan kaum Bawah. Aku menyuruh Krakatau menghembuskan napas apinya di perbatasan Himala. Melingkari wilayah kota Nersia. Darrel mengikuti apa yang kulakukan. Kami berhasil mengepung para Bangsawan yang masih hidup dengan benteng api. Mereka tidak bisa lari lagi.
Melihat Krakatau mendarat di antara mereka, para Bangsawan menjatuhkan senjata-senjata. Mereka menuruni kuda. Lalu berlutut menyerah seperti memohon ampunan. Mereka tidak takut kematian. Namun, mati karena disembur naga adalah hal yang tidak pernah ingin dirasakan oleh siapa saja. Naga telah menjadi dewa di antara kaum Berlian.
Aku menyuruh para raksasa untuk mengumpulkan tahanan perang. Lebih dari empat ratus pasukanku masih bernapas. Puluhan ribu Bangsawan menjadi sandera kami di atas tanah Himala.
Aku melihat sekitar. Kota yang ingin kami rebut telah hangus. Istana dan rumah-rumah cantiknya telah musnah. Kadang kita harus menghancurkan sesuatu hanya demi membangunnya kembali.
Aku menuruni Krakatau, melangkah menuju Raja Nersia, Dennis.
"Kau kalah, Dennis!" Kataku di wajahnya.
"Jangan sok keras, seluruh prajurit Berlian sedang menuju kemari, Brengsek." Dennis meludahiku. "Mereka akan membunuhmu dan makhluk neraka itu!"
Aku menertawainya. Memegang dagunya, "Akuilah, Raja Nersia, saat Para Julister, Arum, Xenia, bahkan seluruh Berlian sampai ke sini, mereka hanya akan menjadi daging bakar."
Dennis menelan ludah. Dia tahu kalau mereka telah kalah.
"Kau menang, tapi apakah ini layak?" tanya Dennis.
"Tentu."
"Kau membawa dua iblis yang tidak pernah kau duga, kau hanya beruntung, Sialan!"
Dennis meneriakiku dengan wajah marah. Dia ingin memukulku, tetapi tangannya terikat.
"Sekarang, bunuh aku," ucap Dennis.
"Tidak."
"Apa yang kau inginkan?" Tanyanya lagi tidak sabar.
"Aku akan menunggu Raja-Raja Berlian, lalu memberi penawaran," kataku, lalu berlalu meninggalkan Dennis dan menuju ke arah kaumku.
Para prajurit yang masih bisa menggerakkan kakinya, bersusah payah membopong mayat-mayat kaum Bawah. Mengumpulkan mereka di suatu tempat. Para raksasa menggali tanah sebagai kuburan massal bagi para Bawah yang gugur di perang bersejarah ini.
"Kukira kau sudah mati," kataku pada Goldey.
"Anak sialan ini menyuruh peliharaannya untuk membakar tubuhku," kata Goldey memukul lengan Darrel yang sedang membalut lukanya.
"Itu hanya api kecil, Goldey, jangan cengeng." Darrel menertawainya.
Kami tertawa. Di antara semua kesedihan, kami ingin sedikit menghadirkan kesenangan agar hati tidak tenggelam dalam kekelaman dan kegelapan. Hari berat telah berlalu, kini tinggal menjalani hari baru dengan menanggung semua luka dan kematian. Tidak ada yang benar-benar menyenangkan dari perang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perang Berlian [END]
AcciónBerlian adalah bagian bumi yang terasingkan, di sana berdiri beberapa kerajaan, mereka percaya bahwa umat manusia ini dibedakan dengan ras dan golongan. Jagat seorang kaum Bawah, ras yang mengabdikan diri menjadi petani, kuli, tukang, suruhan dan pe...