19. Tukang Bangunan

6 1 0
                                    

Kedatangan Bangsawan memberi kesan yang berbeda di antara beberapa orang Bawah. Beberapa merasa takut karena bagi mereka kaum Berlian adalah orang kejam yang datang dengan niat membantai para Bawah. Beberapa yang lain merasa marah dan ingin melumpuhkan Bangsawan yang datang. Api semangat yang kutancapkan di dada mereka membesar dan ingin menghabisi Bangsawan di kesempatan yang berharga ini.

Sementara sepuluh Bangsawan turun dari kapalnya dengan seragam prajurit yang lengkap, kaum Bawah terkuat berkumpul di dalam banteng pertahanan Darxon untuk berjaga-jaga. Raja mengambil keputusan bijak. Kami akan berdiskusi. Menanyakan tujuan Bangsawan datang kemari, karena bagi mereka Pulau Kemarau adalah najis yang tidak seharusnya dipijak.

"Tidak perlu takut, orang Bawah, kali ini kami datang dengan damai." Pemimpin Bangsawan berteriak di depan gerbang Darxon.

Astaga, aku mengenalnya. Itu Serge, keturunan murni Julister. Aku membisiki raja, meberitahu semua yang kutahu tentang Serge.

Raja mengambil keputusan berat untuk membuka gerbang itu dengan resiko dibunuh. Tetapi Bangsawan tidak bodoh, sekuat apa pun kekuatan sepuluh orang itu, jumlah kami menang mutlak.

Serge dan anak buahnya tampak tergesa-gesa. Ingin melakukan tawaran sekarang juga. Tidak mau menunggu besok ketika sudah terang. Dia merasa jijik menginap di Darxon, apalagi di antara kaum Bawah. Aku tidak memalingkan wajahku menatapnya. Dia licik dan gila. Tidak ada yang tahu kemampuannya bertarung, atau mungkin dia memang tidak bisa menggunakan pedangnya dengan hebat seperti Bangsawan pada umumnya.

Serge diapit oleh seembilan Bangsawan yang siap siaga. Kami mengepung mereka. Membuat lingkaran seperti medan perang. Raja dan aku maju ke tengah. Bermaksud mendengar hal mendesak apa yang mereka bawa hingga rela datang kemari.

"Wah," seru Serge saat melihatku, "kau berhasil lolos, Anak muda. Kurasa aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Anak muda ini," Serge menunjukku, "pernah minum-minum dan menyaksikan kaum Bawah dibantai. Kami bisa jadi teman yang akrab."

Ibarat batu yang saling dipukul, Serge memercikkan sedikit api untuk menyulut kebakaran dalam diriku. Kaum Bawah langsung menatapku, merasa aneh dan bingung dengan maksud perkataan Serge. Aku tidak akan bicara sepatah kata pun, itulah yang Raja perintahkan. Hanya dia yang berhak berbicara.

"Raja yang dikucilkan," jawab Raja Josuan, "kami mengenalmu cukup baik, Nak!"

Serge tampak marah dan maju mendekat. Reaksi kaum Bawah cukup was-was dan langsung mengeluarkan pedang dari sarungan. Serge berhenti dan tersenyum.

"Ada yang aneh di sini," kata Serge sambil melirik anak buahnya. Mereka mengangguk dan setuju.

"Kalian melakukan persiapan perang? Oh, tentu saja mau menjarah kota kecil agar dapat secuil perak," gerutu Serge. Dia pandai mengamati dan aku takut kalau orang ini mencium bau pemberontakan.

"Katakan apa maumu, Nak!" Raja Josuan muak. Ingin pembicaraan ini langsung masuk ke initinya.

"Raja yang tidak sabaran," ejek Serge sambil tersenyum. Raja Josuan menarik pedang dan meletakkanya di leher Serge. Bocah itu terkejut. Dia cukup menyebalkan hingga membuat raja murka dan ingin membunuhnya.

Para tukang pukul yang dibawa Serge ingin bergerak menolong tuannya. Namun aku maju lebih dulu dan menghadang mereka.

"Maju selangkah lagi, kalian akan mati!" Kataku tegas, membuat para prajurit itu mundur selangkah.

Sebagian besar kaum Bawah yang menyaksikan berteriak agar raja membunuh Serge dan semua Bangsawan yang ada di sini. Toh sebulan lagi kami akan berlayar untuk perang dengan Berlian. Setidaknya bunuh mereka dan musuh kami berkurang. Tapi itu bukan pilihan bijak.

Perang Berlian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang