19. Prohibition

1.4K 76 10
                                    

Mendapat kabar buruk dari Keyyara, tanpa berpikir Gempi mengutarakan janji untuk pergi mengunjungi Abraham. Selain ingin melihat kondisi lelaki itu, ia juga ingin tahu kronologi kejadiannya. Rasa-rasanya Abraham pemotor handal, bagaimana bisa kecelakaan sampai di bawa ke rumah sakit?

"Berani keluar, kaki kamu aku ikat." Gempi terdiam kaku. Gempa sudah memberi ultimatum yang buatnya teringat pada kejadian kemarin malam. Namun, hanya berselang empat detik saja, setelahnya Gempi mengabaikan ancaman Gempa.

"Mau main-main rupanya." Udara dingin malam hari, terkalahkan dinginnya oktaf suara Gempa. Pun Gempi rasakan tusukan dari alunan suara itu.

Abraham kecelakaan, akan terkesan jahat apabila ia mengabaikan kondisi lelaki itu. Lagipula Gempa bukanlah orang penting di hidupnya, jadi untuk apa ia gubris larangan itu?

Keberadaan pintu tepat di depannya, Gempi raih tuas pintu. Sebentar lagi ia akan terbebas dari jeratan manusia gila ini, yang sayangnya hanya ada dalam angan. Gempa segera menarik kerah kaos belakang, lantas melempar tubuh Gempi ke ranjang. Tubuh berisi milik Gempi memantul di atas ranjang, riak terkejut terlukis jelas di wajahnya.

"Belum puas mainnya?" Selayaknya laser, mata Gempa menembus seluruh tubuh Gempi. Tungkainya melangkah teratur dengan iringan intimidatif. Begitu lutut menyentuh sisi ranjang, ia jatuhkan diri di hadapan Gempi, lantas mencengkram dengan tenaga, dagu perempuan yang bisa-bisanya menampilkan riak kesal walau ia sudah menekan jiwanya. "Tangan udah, bibir udah. Sekarang kaki?" Maksud dari ucapan itu adalah tangan yang sudah Gempa ikat semasa menghukum Gempi. "Mau aku ikat? Atau potong sekalian?"

"Mau lo apa, sih?" Terlampau kesal selalu dilarang-larang, Gempi lontarkan pertanyan yang selalu berputar di kepala.

"You," jawab Gempa lugas. "I want you." Jarak wajah mereka teramat dekat, sampai Gempi rasakan terpaan napas panas Gempa. Mata hijau pekat lelaki berengsek ini menusuk tepat di maniknya yang ia balas sama tajamnya. Masing-masing tangan Gempa membingkai wajah be-riak marah itu. "Hukuman semalam terlalu enak, ya, buat kamu?"

Cuih!

Mata Gempa terpejam sejenak, agak terkejut kala Gempi meludahi wajahnya. Perempuan ini benar-benar ....

Wajah gambarkan seringai sarkastik, Gempa daratkan bibirnya pada bibir yang sudah lukai egonya. Tubuh Gempi semula duduk terbaring paksa, di bawah kuasa Gempa serta cumbuan maut penuh tuntut. Bibir berikut lidahnya mengoyak ribut mulut dan bibir Gempi. Tak lupa kepala dimiringkan buat cumbuan paksa dari sebelah pihak kian dalam dan menuntut, Gempi sendiri tidak bisa melawan walau tangannya tak kalah ribut dalam memukul punggung lelaki gila ini.

Deretan gigi depannya lukai bibir juga ujung lidah Gempi, sesekali pula ia belit lidah yang selalu beri berontak itu. Karena balutan emosi, Gempa benar-benat melahap semua isi mulut Gempi, biarkan tangan Gempi beri pukulan pada punggung kokohnya.

"Bangsat! Emang anak setan lo!" Gempi segera berujar marah kala Gempa memberi jarak antara bibir mereka. Belum lama, Gempa kembali melahap bibir Gempi.

Hidung ber-kontur bak perosotan milik Gempa menempel tepat di pipi Gempi, cumbuan berdasar paksaan itu menyiksa bibir Gempi yang berkali-kali lelaki gila itu gigit, dia sendiri pun dapat merasakan tetesan darah melalui lidahnya.

Gempi rasa Gempa Satya Nagara bukanlah manusia biasa, melainkan manusia vampir. Mencumbunya hanyalah kedok guna menyesap darah. Bahkan Gempa mengabaikan gerakan berontak darinya, padahal Gempi sangat yakin pukulannya terasa sangat sakit. Selain pukulan, Gempi juga menarik helaian rambut tebal Gempa. Memang dasarnya Gempa ini bebal, begitu rambutnya ditarik ia malah membawa Gempi ke dekapannya dengan posisi Gempa di bawahnya. Tangan lelaki itu pun melingkari tubuhnya, juga kaki mengungkung pinggul Gempi, sementara ciuman tergesa dari Gempa tak jua henti, buat Gempi kesulitan menghidu oksigen.

"Bibir kamu berdarah." Ibu jari Gempa menekan bibir Gempi usai cumbuan mereka terlepas, hadirkan sakit teramat sangat bagi sang dara.

"Sakit, tai!" Tangan berengsek Gempa, ia tepis. Mata Gempi kilaukan kaca bening, ingin gadis itu keluarkan tangisan saat bibirnya terasa sangat perih. "Bego lo! Sakit banget bibir gue." Mati-matian Gempi cegah bibirnya agar tidak mencebik.

"Ini belum seberapa." Gempa membisik penuh kemisteruisan. Lantas ia berlalu dari kamar Gempi begitu saja.

"Sakit banget ... gimana nanti gue kalo makan kali sariawan gini." Bahkan bicara pun terasa sulit kalau lidah terluka begini. Sebab eksistensi Gempa tidak ada di sekitarnya, tangisan yang Gempi tahan pun akhirnya menguar bebas.

Agaknya dugaan ia benar adanya, bahwa Gempa memang lah vampir bukan manusia. Walau Gempi tidak memberikan balasan atas ciuman penuh tuntutan, lelaki itu teramat lihai memainkan bibir berikut lidahnya.

"Harusnya gue juga gigit lidah sama bibir dia." Kini air mata telah menganak sungai di pipinya. Bibir ia sentuh, di sana terdapat darah segar yang enggan berhenti menetes.

Benar-benar ... dia harus segera melaporkan tindakan pemerkosaan sekaligus pelecehan yang Gempa lakukan terhadapnya pada mamanya nanti kalau sudah pulang.

**

Gempa buka pintu kamar Gempi. Dirinya masuk tak hanya membawa diri, melainkan juga kotak p3k dan— tali? Untuk apa tali panjang itu? Sudah gila 'kah lelaki berdarah Itali-Indo-Spanyol ini?

"Mau ngapain gue lagi lo?" Gempi melirih masygul, otaknya merangkai segala rencana Gempa berlatar hukuman. Padahal Gempi sama-sekali tak merasa membuat salah.

"Bisu ya lo?" Beri hardikan pada laki-laki yang sibuk mengoles obat merah di bibirnya. Setiap kali obat itu menyentuh lukanya, Gempi akan meringis menahan sakit yang menyiksa.

"Tel—"

Bibir Gempa lebih dulu membungkam bibir Gempi yang ingin kembali melontarkan kalimat. Hanya menempel, agar perempuan ini diam selama ia obati.

"Sekarang tidur." Hendak membaringkan tubuh Gempi. Namun, Gempi segera menepis masing-masing tangan Gempa yang akan menuntunnya tidur.

"Gue baru bangun! Dan gue mau jenguk Abraham sekarang juga. Jadi lo— stop larang-larang gue." Telunjuk Gempi menusuk tepat di dada Gempa.

Sebagai respons, Gempa sorotkan mata bermakna ganda. Mulutnya terkatup rapat, enggan beri jawaban. Biarkan sang dara menukik alis heran sekaligus kesal.

"Silakan." Akhirnya ia mengeluarkan jawaban. "Tapi besok kamu akan mendengar kabar tentang kematiannya."

***

Muak adalah kata gambarkan perasaan Gempi saat ini. Menyesal dulu tidak langsung melapor pada Nara mengenai pola tingkah Gempa Satya Nagara. Kalau dipikir-pikir, di sini ia lah yang telah mengutarakan omong kosong.

Dan hari ini Nara pulang dari tugasnya. Ingin segera memberitahu Nara begitu beliau tiba di rumah. Namun, riak lelah di wajah Nara urungkan Gempi.

"Ma." Gempi dekati ibunya yang tengah menikmati lemon tea di balkon kamarnya.

"Tadi katanya kamu mau ngomong. Ngomong apa?" Ini alasan anak gadisnya menghampiri disertai raut rumit.

"Aku pengen Gempa keluar dari rumah ini." Gempi berujar tanpa keraguan. Buat Nara kerutkan kening bingung.

"Alasannya? Buk—"

"Gempa itu jahat, Ma! Dia lecehin aku! Bahkan— bahkan dia juga perkosa aku."

Di kalimat terakhir Gempi berujar diiringi lirihan. Sejujurnya ia enggan mengutarakan hal ini, tapi jika ia terus memendamnya lelaki gila itu tidak akan berhenti mengekang hidupnya.

Riak muka Nara sesuai dengan ekspektasi Gempi. Perempuan di akhir tiga puluhan tersebut nyaris pingsan di tempatnya, bahkan ujung mata Nara telah keluarkan setetes air mata. "Ja-jadi?"

"Iya, Ma. Dia harus pergi dari rumah ini. Tapi sebelum itu dia harus kota laporin ke polisi."

***

Lucy sama Nara itu blasteran Indo-Itali, kalo bapaknya Gempa pure orang Spanyol yang udah jadi WNI. Fyi aja sih biar kalian gak bingung.

Terus, latar story ini bakal aku ganti jadi perkuliahan, bukan SMA lagi mengingat genre cerita ini ada adultnya. Kesalahanku gak berpikir dulu sebelum publish, jadi sorry banget kepada seng-sengku semua🙏💅

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang