31. His Presence

693 52 10
                                    

Punggung yang selalu menggambarkan ketegaran itu bergetar diiringi isak tangis pilu penuhi ruangannya. Mata yang tengah mematri pada sebuah layar yang menampilkan bagaimana dan dengan siapa sang putri pergi di tengah malam itu telah banjir akan air mata.

Abi ... lihat putri yang selalu kamu banggakan itu ... aku gak tau apa alasan dia mau kabur di tengah malam berakhir kecelakaan. Benak merintih menyebut nama sang suami. Mengingat betapa besarnya kasih sayang sang suami terhadap putri mereka, Nara mengasihani hidupnya sendiri.

Apa yang dia ucapkan itu benar? Kalau Gempa memperkosanya? Itu makanya Gempi mau kabur? Di sela pilu mendera, Nara masih menyempatkan diri untuk mencari jawaban atas alasan Gempi rela pergi di tengah malam.

"Itu bisa aja terjadi. Keluarga Gempa, kan, gak bener. Bisa-bisanya aku mempercayakan Gempi pada anak itu." Wajah telah basah itu diremat sebagai pelampiasan.

"Tapi gak mungkin. Kalau Gempa perkosa Gempi, perlakuannya gak mungkin sebaik itu. Lagipula, sampai saat ini aku gak dapet kabar kalo Gempi hamil. Jadi gak mungkin." Berusaha berpikir positif kendati hatinya terus membenarkan persepsi pertama.

"Keluarga Gempa emang gak ada yang benar, tapi aku yakin Gempa satu-satunya orang yang benar." Nara melirik dua tangannya yang bergetar kini telah dibasahi keringat.

"Nara?" Sosok Nara yang tengah menunduk; meratapi nasib, pun mendongak kala suara sangat familier di rungunya menyapa.

"Oh?" Lantas wajah berantakannya segera ia rapikan. "Mama?"

"Jadi ini hasil dari didikanmu?" Sontak dua alis Nara saling menyatu ciptakan kerutan di kening begitu sambutan bernada sarkas ia dapat. "Lihat kelakuan anak bungsumu. Dia hampir aja bunuh anak asisten suami saya! Bodoh kamu Nara! Menyesal saya membiarkan Abigail menikahi kamu! Ibu macam apa kamu! Mendidik anak aja gak becus!"

Tenggorokan yang ingin Nara gerakan untuk menelan saliva terasa sulit Nara lakukan seakan ada suatu benda halangi. Seluruh tubuh mulai dibelai oleh kepiluan yang hadirkan getaran serta mengundang bulu kuduk untuk berdiri.

"Tau apa Mama soal kehidupanku? Bahkan Mama sendiri gak tau apa-apa soal kehidupan Mas Abi. Yang Mama tau cuma asisten suami Mama sama anak bungsu Mama. Sementara Mas Abi? Bahkan Mama gak tau kalo dia kerja serabutan selama kuliah. Sekarang Mama hardik aku seolah-olah Mama tau semua yang aku lakukan terhadap anakku?" Nara membalas tak ingin kalah.

Selama ia menikah dengan Abi, kehidupan tenangnya terus diporakporandakan oleh perempuan tua yang sialnya menjadi mertuanya. Perempuan ini terus memberi penilaian negatif terhadapnya dengan harapan putra sulungnya tidak menikahi Nara. Sementara perempuan ini sendiri tidak mengetahui hidup Abi sebagai anaknya sendiri.

"Buah jatuh gak jauh sari pohonnya. Pantas anakmu gak bener semua, toh Mamanya aja gak punya sopan santun." Nara berdecih terang-terangan begitu cemoohan mertuanya ia dapat. "Kalo aja Abi gak nikah sama kamu, pasti sekarang dia masih hidup."

Nara lampiaskan amarahnya pada gigi geraham yang ia satukan dengan tenaga. "Mas Abi meninggal itu sudah takdir. Gak ada sangkut pautnya sama pernikahan kita."

"Selalu saja takdir yang kamu salahkan. Dan ... apa kebodohan kamu dan anak-anak kamu juga dapat dikatakan sebagai takdir? Harusnya iya! Lihat sekarang! Gara-gara kebodohan anakmu Abraham lumpuh! Lumpuh total Nara! Dan semua ini gara-gara anakmu yang meminta Abraham menjemputnya untuk kabur! Anakmu memang tidak ada yang ben—"

Tangan awalnya mengepal kini melayang di udara yang lantas Nara daratkan tepat di pipi perempuan tua di hadapannya. Tidak peduli sekalipun perempuan inilah yang menghadirkan sang suami, amarahnya tidak bisa lagi ia bendung tatkala anaknya dinilai negatif oleh perempuan ini.

Regina— nama perempuan itu, ia terhuyung beberapa langkah ke samping begitu tangan Nara menampar kuat pipinya. Perih menjalar di sekitar pipinya, hadirkan merah dan air mata halangi kornea matanya.

"Perempuan gila!" Regina menggeram yang kemudian bergerak hendak membalas perlakuan Nara sebelum Nara menjauh dan meraih rambut bersanggul milik Regina.

"Perempuan gila ini yang telah berhasil membahagiakan anak anda, setelah anda buat dia menderita." Nara mendesis menyimpan amarah sekaligus pilu dalam rongga dada yang kini tidak lagi hadirkan ketenangan.

"Lepaskan rambut saya! Dasar perempuan tidak beradab! Perempuan bodoh!" Regina bergerak tak beraturan. Dia berusaha meraih tangan Nara yang mencengkram kuat rambutnya, buat rambut yang susah payah ia rawat terlepas beberapa helai.

Tanpa perasaan, Nara melempar tubuh Regina begitu saja. Sementara Regina menatap nanar beberapa helai rambutnya yang berserakan di lantai.

"Sialan!" Dia berseru dengan amarah memuncak. "Anak kriminal memang tidak punya adab!"

"Saya bukan anak kriminal!"

"Ayahmu kriminal!"

Mendengar kata itu, amarah Nara kian memuncak sampai melebur. "Jaga ucapan anda!" Dia melayangkan seruan sembari telunjuk mengarah pada Regina.

"Abigail meninggal pasti karena kelakuan ayahmu! Saya yakin itu!"

Dua wanita dengan generasi berbeda tersebut terus melayangkan seruan bermakna penghinaan satu sama lain hingga salah-satu rekan Nara memasuki ruangan Nara dan memisahkan mereka. Namun, belum Regina sepenuhnya keluar dari ruangan Nara, muncul seorang perempuan yang selama ini Nara harapkan kematiannya.

Plak!

Perempuan itu baru tiba sudah memberi Nara tamparan. Meski Nara tahu alasan dari tamparan tersebut. Namun, ia masih belum menenangkan diri setelah lelah beradu mulut dengan Regina tadi.

"Dari dulu. Dari dulu kamu memang selalu mencoba menghancurkan keluarga saya! Hingga sekarang anak kamu membuat anak saya lumpuh!" Mata Nara menyalang bak sebilah pisau yang baru diasah. Tangan memegang pipi yang baru kena tamparan segera ia kepalkan.

"Bu. Tolong jangan membuat keributan di sini. Dokter Nara butuh istirahat. Lebih baik anda keluar." Tia, teman Nara menarik Helda untuk keluar yang jelas Helda menolak sebelum puas mengeluarkan isi hatinya pada Nara.

"Ada salah apa saya sama kamu, Nara? Kenapa kamu tega pada saya, hah? Enggak pernah saya mengusik kehidupan kamu! Tapi sekarang? Anakmu membuat anak saya lumpuh! Menghancurkan masa depan anak saya!" Nara tetap bergeming di tempat, enggan menjawab satu patah kata pun untuk membela dirinya.

"Playing victim apalagi yang anda lakukan?" Semua orang di ruangan Nara serentak menoleh ke arah ambang pintu.

Mata Nara segera menghadirkan tetesan air mata yang kembali basahi pipi begitu sosok yang ia harapkan kehadirannya guna beri ia kekuatan untuk menghadapi terjangan musibah yang baru ia dapatkan.

"Bocah ini!" Regina mendesis disertai mata menyalang marah pada kehadiran laki-laki itu. "Apalagi yang akan kamu lakukan untuk membela ibumu, heh? Sudah jelas ibumu yang salah!"

Laki-laki tersebut menggerakkan badan hingga tubuh tegapnya mengarah pada Regina. "Oh, hai. Nenek?" Sebutan yang ia sematkan diberi nada mengejek.

"Kok belom mati?" Pundaknya bergetar tatkala tawa mengudara melalui mulutnya.

***

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang