40. Just a Dream

315 42 14
                                    

Tolong dikoreksi kalau ada salah

***

Hanya mimpi.

Awalnya Gempa berpikir demikian kala iris hijaunya disuguhkan langsung keindahan dari sorot lemah sang dara kala pusatkan netra padanya.

Tidak mudah baginya memahami situasi ini. Di lain sisi ia menaruh harapan besar sekali bahwa penglihatannya adalah nyata, bukan hanya ilusi belaka, tapi ia juga tidak mau harapannya sakiti dirinya sendiri.

Kini, hal yang ia takuti enyah saat tangan lemah itu genggam tangannya setelah melepas dengan santai ventilator sambil berujar, "Kenapa lo juga ada di surga?" Intonasi yang biasanya menyentak itu mengalun melebihi kelembutan sutra dengan sorot tanya di mata lemahnya.

"Gempa ... jangan diem aja. Gue pengen minum air surga." Masih terdiam guna kumpulkan kesadaran di tengah serangan terkejut. Dengan tubuh telah dikuasai getaran, Gempa mendekati dispenser.

"Ternyata gue udah di surga." Gadis itu tersenyum lembut penuh keikhlasan. "Gak nyangka. Padahal gue pendosa, kok bisa Tuhan bawa gue ke surga?"

Mimpi ....

Ini beneran Gempi udah bangun?

I'm not dreaming, right?

Terlalu dalam menyelami keterkejutan, Gempa sampai tidak sadar bahwa air telah penuhi gelas sampai tumpah ruah. Dia beneran udah bangun? Gempa pusatkan pandang pada gadis yang masih menggumamkan keheranannya sebab Tuhan membawanya ke surga alih-alih neraka.

"Apa ini rumah sakit surga?" Masih dengan suara lemah Gempi bertanya demikian sebelum tatapannya turun pada gelas yang Gempa isi. "Air surganya tumpah."

"Oh." Segera Gempa hentikan aliran air itu, lantas ia berikan segelas air putih pada Gempi yang masih belum ia percayai kesadarannya.

"Air surga enak juga," ujar Gempi setelah meminum setengah gelas.

Gempa raih kembali gelas itu, pikirannya masih melanglang buana. Padahal ia harus memanggil dokter, Nara, Varo serta aki-aki rese itu. Bahkan ia sama sekali tidak ingat mereka karena masih tidak percaya akan jiwa Gempi yang hadir kembali.

"Ge-Gempi." Sebelum lanjutkan ucapan, Gempa singkirkan desiran asing di benak dengan membasuh bibir. "Ka-kamu ...." Dua tangannya bingkai setiap sisi wajah Gempi, matanya merekam secara HD sosok yang lama tidak membuka matanya. "Kamu— kamu—"

"Gem—"

"GEMPI!!" Varo, dia baru saja hendak memanggil Gempa untuk makan siang, tentu dia langsung dihantam terkejut kala sosok adiknya telah duduk dengan ventilator yang telah terlepas sambil menatap Gempa. "Gempi lo bangun juga akhirnya!!"

Tidak bisa lagi Varo tahan tangisnya kala tubuh lemah Gempi telah tenggelam oleh tubuhnya. Air mata telah menganak sungai di pipi, bercucur enggan berhenti melihat kembali raga dengan sukma yang lama melanglang buana.

"Akhirnya ... akhirnya ... lo bangun." Suara Varo teredam oleh isak tangis yang lama ia sembunyikan.

Terdiam.

Pun kini kesadaran telah menyambangi Gempa.

Kelereng hijau selayaknya zamrud miliknya mematri kosong pada sepasang insan saling menghantarkan rindu. Udah bangun ... Gempi udah bangun. Dia gak tidur lagi. Satu butir air mata lewati pipi rapuhnya. Kini bukan lagi air mata dengan kandungan racun yang setiap kali siksanya, melainkan air mata berupa obat yang sembuhkan gelisah.

Tapi tidak bisa sembuhkan penyesalan.

Dia masih ada.

Dan mungkin akan selalu ada.

Kendati Gempa tidak akan pernah berkata jujur pada Gempi, ia tetap tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Merasa kalau ia tidak bisa menahan serangan penyesalan, Gempa memilih pergi ke tempat yang lebih sepi, tinggalkan Varo dan Gempi, beruntung lah ia sebab tidak berpapasan dengan Nara.

Akhirnya Gempa memilih koridor dekat kamar mayat sebagai tempatnya renungi penyesalan.

"Stupid! Idiot!" Dinding koridor gelap nan sepi ia jadikan samsak kepalanya sendiri, berharap kebodohan yang dipelihara di sana segera enyah. "How stupid you are! You don't deserve to live! Fucking human!" Sepuluh jarinya tidak ia biarkan. Menyusup pada setiap helai rambut sebelum ia cengkraman sampai rasa sakit ia terima.

"She's awake. What are you going to do next?" Tidak sanggup menahan beban bernama penyesalan di pundak, tubuhnya meluruh dengan air mata telah banjiri pipi. "Your actions won't make her yours, fuck!" hardiknya.

"Lo bego! Kenapa gegabah banget!" Isi kepala perlahan mulai bertambah.

Bisikan bahwa cinta tidak ia miliki untuk Gempi, melainkan obsesi, berhasil hantui dia yang sedang digandrungi sesal.

Kamu tidak mencintainya.

Perbuatanmu sudah jelas, bahwa kamu terobsesi padanya.

Pilihan mati lebih baik daripada melihat dia bersama laki-laki lain menjadi tanda kalau kamu memang terobsesi padanya.

Bisikan sialan itu terus terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya semakin muak dan ingin teriak, "No ... I love her, I'm fucking love her. I'm not obsess with her, I love her." Sayangnya kalimat itu tidak bisa ia teriaki, hanya mampu merendamnya sampai ia tenang. Namun juga ia bersumpah.

Bahwa perasaan yang tersemat di hatinya bukan obsesi seperti yang kepalanya katakan.

Cinta lah yang ia rasakan.

Tindakan yang ia lakukan atas dasar cinta.

Dia ingin memiliki Gempi seutuhnya, selamanya.

Dan tidak mau Gempi dimiliki laki-laki lain.

Itu wajar.

Sebagai laki-laki yang cinta terhadap perempuannya itu sangat wajar.

Ego seseorang memang akan selalu menang.

Kesampingkan suara hati yang menyalahkan perbuatannya.

***

"Kenapa kalian semua ada di surga?" Mata Gempi mematri polos pada semua orang di ruangan, itu juga sebagai kalimat penyambung Gempa.

Perlahan Gempi menunjuk Othello. "Apa dia malaikat maut? Mukanya serem banget."

Dokter telah memeriksa kondisi Gempi serta sudah memberi obat tidur agar nanti amnesia pasca trauma yang ia alami menghilang, tapi Gempi belum beri tanda ia akan tidur.

"Wah, Gempa. Lo dari mana aja?" Dia baru menyadari keberadaan Gempa, membuat semua orang di sana menoleh serentak padanya. "Lihat." Dia menunjuk Othello lagi. "Ada malaikat maut di sini. Apa itu artinya bakalan ada penghuni baru?"

Ujung mata Gempa melirik kakeknya yang sudah memasang raut datar sedatar-datarnya. "Jangan mengejekku," ujar Othello seakan tahu isi kepala Gempa.

"Iya. Dia malaikat maut yang akan mencabut nyawa seseorang dan membawanya ke sini." Sahutan Gempa membuat Othello lebarkan matanya.

"Terus. Abraham kemana? Dia juga udah meninggal, kan? Sama kayak kita?" Tanpa sadar emosi Gempa tersulut mendengar nama orang itu.

"Iya, tapi dia masuk neraka," sahut Varo. Kekesalannya tidak akan pernah pudar pada keluarga itu.

Mata Gempi semakin sayu, sepertinya pengaruh obat. "Kenapa? Dia, kan, baik."

"Dia udah bikin lo kecelakaan. Coba aja kalo waktu itu dia gak mau bawa lo kabur, pasti lo gak bakalan kayak gini." Varo segera mendapat teguran dari Nara.

Dan ucapan Varo juga buat Gempi larikan secara lamban netranya pada Gempa sebelum ia mengulas apologetic smile dan pejamkan mata secara lamban.

"Maaf." Gempa menangkap kata itu dari bibir pucat Gempi.

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang