Dua belah alis Nara terus menukik tanda heran sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan sebelum sarapan pun ia terheran akan tindak-tanduk si bungsu yang terkesan menjauhi sepupunya. Kalau dilihat dari Gempa tak ada yang aneh, lelaki itu bahkan tak canggung memberi perhatian kecil berupa menyelipkan helaian rambut yang belum disisir yang menghalangi Gempi makan.
“Rambutnya jepit dulu.” Masih Nara pantau bagaimana Gempa menjepit untaian rambut berantakan pada si bungsu. Herannya Gempa mengantongi jepit rambut di kantong seragam.
Gempi mendengkus sebelum menjawab, “Apa, sih!”
Seketika selera makan Nara enyah melihat mood buruk anaknya. Pun ia taruh alat makan di atas piring yang masih tersedia makanan. “Kamu lagi PMS?”
“Gempi udahan.” Alih-alih menjawab, si bungsu berlalu begitu saja tanpa berniat menjawab pertanyaan sang ibu, buat Nara hela napas.
“Susul, gih. Dia suka kayak gitu kalo mau red day.” Walau Gempa tak terlalu mengerti akan ucapan Nara, dia tetap menjalankan perintahnya, bahkan tanpa Nara suruh pun dia akan tetap menyusul Gempi.
Rupanya Gempi tak main-main akan ucapannya semalam. Gempa salut atas hal itu. Dari dia keluar kamar sampai tiba di tempat yang sama, Gempi terus mengabaikannya, hal tersebut mengundang tanya pada Nara sebab Gempi menunjukannya terlalu jelas, tak seperti dia yang berekspresi seolah-olah tak ada apapun. Untung saja Nara mengerti akan keanehan sang anak.
Kalau begini ceritanya, satu hal yang perlu Gempa lakukan agar ia bisa meraih atensi Gempi tanpa membuat gadis itu risi, parahnya memendam rasa benci padanya. Gempa memang menginginkan Gempi, tapi bukan hanya raganya, melainkan hatinya juga, jadi dia harus berhati-hati.
“Punya kamu?” Dia menunjukkan makalah usai memasuki kendaraan beroda empat dan duduk di samping Gempi. Sempat ia lihat makalah ini tergelatak di meja ruang tamu yang ia lewati tadi. Netra coklat dari softlens melirik rambut Gempi. Tak ada lagi jepit rambut yang ia selipkan di sana, dari sana Gempa yakin kalau Gempi membuangnya.
Tak apa. Dia masih sabar.
Merasa itu makalah benar miliknya, Gempi raih tanpa ucapan terima kasih. Wajahnya dipalingkan ke arah jalanan yang mulai terlewati tiap meternya. Ia rasa dugaan mamanya benar, bahwa sekarang adalah masa-masa premenstrual syndrome sekaligus membeludaknya perasaan kecewanya pada Gempa.
“Marah aja sepuasnya, tapi kamu gak akan bisa hindarin aku.” Suara Gempa masih sangat jelas ia dengar walau bernadakan lirih.
Setelahnya suasana hening, biarkan bisingan klakson di luar mengisi keheningan. Gempi kira Gempa akan banyak bicara, kendati mereka tiba di sekolah, lelaki itu tetap bungkam dan terus mengekorinya.
“Asem amat tuh muka.” Keyyara bertanya ketika mereka bertemu di depan gerbang universitas. Sekilas Gempa lihat ujung mata gadis itu meliriknya.
“Kemaren lo kemana aje? Kita nyari-nyari. Katanya mau maen.” Perempuan yang Gempa ketahui sahabat sepupunya itu menggandeng lengan Gempi .“Ada,” jawab Gempi tak minat. Asli! Hari ini dia sedang enggan berbicara, apalagi sosok tinggi pencuri mahkotanya masih berdiri tegap di samping kanannya, buat dia risi.
“Kalo gitu kenapa gak ngabarin? Padahal kita udah telpon lo, ada seribu kali. Udah dispam juga.” Kalimat tanya bersirat jengkel Keyyara keluarkan.
Bukan main khawatirnya begitu Gempi hilang kabar setelah mengabari kalau dia akan segera on the way ke tempat tujuan, setelah itu seharian penuh Gempi menghilang. Sontak dia dan yang lain segera menghubungi Nara, itu pula alasan Nara pulang ke rumah untuk mengecek keadaan si bungsu.
“Kita ke rumah lo, kata Bi Tatu lo masih tidur,” katanya seraya bersungut-sungut. “Dari pagi ampe sore lo tidur. Anjir kata gue. Lo lagi simulasi mati? Gak biasanya tidur selama itu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...