27. Stop

711 49 9
                                    

Tetes demi tetes derai hujan basahi bumi, berikan suhu dingin juga tenangkan seorang dengan segala kerumitan di kepala. Iris coklat gelap miliknya memandang jauh pada tanaman di depan kamar yang kini tengah diberi asupan oleh hujan. Kepalanya enggan berhenti berpikir mengenai cara agar bisa terlepas dari kungkungan laki-laki yang kini tengah menyiapkan coklat panas.

"Minum dulu. Makan malemnya belum siap." Gempa meletakkan mug berisikan coklat panas dengan asap yang mengudara menandakan suhu panas masih menyertai minuman tersebut.

Lantas laki-laki yang Gempi pertanyakan sikapnya yang seperti bunglon itu duduk di sampingnya. "Mikirin apa, hmm?" Jemari Gempa bergerak lembut pada beberapa helai surai yang halangi wajah Gempi dan menyelipkannya di daun telinga Gempi.

Selimut tebal yang Gempa berikan guna hadirkan kehangatan di tengah suhu dingin itu Gempi eratkan. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan, dan ia enggan menjawab Gempa.

Kendati Gempa telah menyelamatkannya dari marabahaya beberapa hari lalu, tidak membuat Gempi berpikir untuk terus bersikap lunak.

Bukankah di balik marabahaya yang ia alami, penyebabnya adalah orang yang sama? Gempa telah menyebabkan terdampar di tengah bahaya yang mengancam nyawanya, di sisi lain Gempa juga menyelamatkannya.

Kalau boleh jujur, Gempi menyesali tindakannya yang menangis bahkan berperilaku sebagaimana perempuan lemah.

Sialan.

Itu makanya kini ia tengah merencanakan untuk pergi dari rumah ini.

Persetan dengan Nara.

Mamanya tidak akan peduli sekalipun ia mati.

"Tugas kamu udah aku selesaiin. Besok tinggal bawa." Gempi tetap terdiam, biarkan Gempa bersuara sendiri. "Aku gak bakal bikin kamu kayak kemarin lagi." Kecuali kalau kamu berbuat nakal lagi. Mungkin aku akan melakukan hal lebih dari membuat kamu terjebak di tengah hutan sendirian.

"Jangan banyak berpikir. Nanti pusing." Sontak ucapan Gempa buat Gempi menoleh.

Sejelas itu kah? Kening gambarkan lekukan teratur disertai alis saling bersatu. Mendapat pernyataan demikian dari Gempa jelas hadirkan pertanyaan bagi Gempi dengan radar nyalakan lampu merah. Apabila Gempa peka ada banyak hal ia pikirkan, maka Gempa juga bisa berpikir hal-hal tersebut adalah upaya agar ia bisa kabur.

"Gue cuma mikir ... Mama masih marah gak ya sama gue." Adalah alibi guna mengalihkan praduga Gempa.

Jauh pada kenyataannya Gempi tidak peduli sekalipun Nara mengabaikannya sampai ia mati sekalipun. Toh, ia memang selalu diabaikan Nara. Buktinya Nara sangat jarang ada di rumah, itu sudah jelas membuktikan bahwa pasien-pasien Nara lebih penting darinya.

Gimana ya kalo misal gue kecelakaan terus koma? Apa Mama masih peduli? Apa Bang Varo rela pulang dan nunda pendidikannya? Kayaknya gak mungkin deh. Berkali-kali Gempi mencoba menepis perasaan sedih tatkala kepedulian dua keluarganya kurang ia dapatkan, hadirkan harapan respons mereka ketika ia pergi ke pangkuan Tuhan.

Terdengar seperti remaja puber baru merasakan diabaikan orang tua. Tapi Gempi benar-benar penasaran.

Setelah ayahnya meninggal, Nara memang masih perhatian padanya. Memenuhi segala kebutuhan Gempi, baik kasih sayang maupun uang, bahkan sampai Gempa hadir, Gempi masih merasakan kepedulian Nara. Namun, sejak malam itu, Gempi merasa bahwa kepedulian Nara selama ini hanyalah bentuk tanggung jawab Nara untuk ayahnya. Tidak dilakukan secara tulus seperti yang ada di kepala Gempi selama ini.

Bahkan Gempi tidak menyangka kalau Nara turut serta menyalahkannya atas kematian ayahnya.

"Aunt Nara gak marah. Kemarin dia kebawa emosi aja. Nanti juga dia baik lagi sama kamu." Gempa menipiskan jarak antara mereka. Kemudian lengannya bergerak menaruh kepala Gempi di pundaknya.

"Terus kenapa Mama gak pulang-pulang?"

Terdapat dua hal yang Gempi rasakan berada di dekat Gempa.

Adalah hal pertama ia rasakan adanya perasaan aman, nyaman, hangat, dan disayangi sangat tulus.

Di balik perasaan positif itu juga, tidak ayal Gempi rasakan berbagai hal negatif: was-was, takut, cemas, panik. Hal tersebut hadir karena sesekali kepala Gempi menayangkan tindakan obsesif Gempa padanya.

"Kamu gak liat berita?" Suara Gempa mengalun lembut diiringi suara hujan di luar.

"Enggak suka berita." Ucapan Gempi disahuti tawa kecil yang Gempi sendiri tidak mengerti akan respons hatinya yang heboh hanya karena tawa kecil itu.

"Ada kecelakaan beruntun semalem. Aunt Nara ditugaskan untuk selamatkan nyawa mereka." Gempi hanya bisa mengangguk.

"Kamu kangen Aunt Nara?" Gempi mengangguk lagi. Namun, kini ia lakukan secara tidak sadar akibat dari melamun. "Minggu depan dia pulang. Itupun kalau tidak ada pasien."

Acapkali Gempi melayangkan tanya pada dirinya sendiri.

Mengapa bisa ia merasa nyaman sekaligus aman dalam dekapan laki-laki berbahaya ini? Padahal ia sudah diberi berbagai kejutan yang buatnya nyaris mati bahkan trauma.

Dan jujur, Gempi sendiri ingin mengakui perasaan tersebut. Namun, logikanya menolak mentah-mentah. Ia masih sadar betul bagaimana Gempa memerk*sanya yang sialnya ia nikmati, lalu mengikatnya, menyebabkan terjebak di dalam hutan.

Kendati demikian, Gempi sendiri merasa heran terhadap dirinya yang akan bersikap lunak begitu disuguhkan sikap manis nan lembut Gempa hingga lupa segala perilaku negatif Gempa berakhir ia menerima semua hal-hal positif Gempa.

***

Mendapat usapan lembut di kepala dengan suhu dingin yang diminimalisir oleh hangatnya balutan selimut tebal juga dekapan Gempa, buat kesadaran Gempi perlahan menyusut dan bawa ia ke surga mimpi.

Pun Gempa gendong sang dara menuju pembaringan lembut nan empuk. Begitu sosok yang selalu buatnya emosi sekaligus ia cinta berbaring sempurna usai ia selimuti agar kehangatan senantiasa membersamai, iris hijau gelap Gempa mematri dengan makna ganda.

"I hope you don't do things I hate again." (Aku harap kamu tidak melakukan hal yang aku benci lagi) Tangan besar disertai tonjolan urat miliknya meraih tangan rapuh milik Gempi, di sana ia berikan elusan lembut sebagai tanda betapa besarnya perasaan bernama cinta pada sosok yang asyik bermain bersama mimpinya.

"All the bad things you got from me. That drives me crazy too, Gempi." (Semua hal buruk yang kamu dapatkan dariku, itu juga membuatku gila, Gempi) Tangan rapuh yang sering memberikan berontakan itu Gempa bawa menuju bibirnya yang lantas ia hadirkan kecupan hangat di sana. "You're frustrated by my craziness, but I'm more than that." (Kamu frustrasi akan kegilaanku, tapi aku lebih dari itu)

"First time I saw you. I already have the intention to make you mine, no matter if you refuse. As long as you are mine, and stay away from those who also want you." (Pertama kali aku melihatmu. Aku sudah memiliki niat untuk menjadikanmu milikku, tidak peduli kalau kamu menolak. Asalkan kamu menjadi milikku, dan menjauh dari mereka yang juga menginginkan kamu.) Tangan hangat Gempi kini Gempa tempelkan pada pipinya.

"If only I could choose. I'd rather see you dead than be happy with another man."

***

Angka pada jam digital sudah menampilkan jam 01.56 dan Gempi sengaja bangun di jam tersebut.

Seakan gerakannya bisa didengar Gempa sebab kamar mereka sebelahan, Gempi turun dari ranjang sangat pelan, kemudian mencari keberadaan ponselnya semasa SMP di rak penyimpanan barang-barang yang jarang ia pakai.

"Untung udah gue charger." Gempi tersenyum senang melihat persentase baterai di ponsel lamanya. "Semoga aja kabur gue lancar. Muak banget gue hidup sama Gempa."

Jemarinya bergerak cepat di atas screen ponsel; mencari-cari kontak seseorang yang akan membantunya pergi. Begitu yang ia cari ditemukan, seringai senang tersemat; bayangkan betapa senangnya dia bisa terlepas dari jeratan Gempa.

"Gempi?"

"Iya ini gue. Jangan banyak tanya, gue minta tolong sama lo." Gempi menjeda sebentar. "Jemput gue di depan gerbang komplek. Gue mau kabur. Capek banget dsiksa Gempa terus tiap hari."

***

Siapa yang kalian benci?

Gempa?
Gempi?

Tbc

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang