"Lo bawa gue kemana?" Kendati panik dan was-was selimuti diri, Gempi berusaha menjaga intonasi suara agar tetap terdengar tenang. "Jalan ke kampus bukan ke sini."
Seberusaha apapun mengeluarkan suara seolah ia tenang di kondisi tak memungkinkan, nyatanya Gempi tak bisa menyembunyikan kepanikan melalui respons tubuh. Terlihat buliran keringat dingin bermunculan saat kendaraan beroda empat yang Gempa kemudikan mengarah pada hutan.
"Sehari aja gak ngelakuin hal gila. Lo gak bisa?"
Apalagi yang ada di benak Gempi kalau Gempa akan melakukan hal di luar nalarnya? Gempi sangat yakin kalau Gempa bukanlah manusia normal, laki-laki ini setengah setan dengan persentase paling banyak ketimbang jiwa manusia yang dimiliki.
"Gue mau turun." Tak peduli ada borgol membatasi pergerakan, Gempi memaksa pintu untuk terbuka. Bodoh memang, padahal tahu sendiri pintu terkunci. "Turunin gue di sini. Gue gak mau ke sana!"
"Gempa!" Dia berseru. Melihat Gempa tetap tenang di tempat tanpa merespons segala keinginannya berhasil bangkitkan amarah. "Bener-bener gak ada telinga lo."
"Turunin gue! Gue bilang!" Amarah yang sempat mengendap setelah Gempa memborgolnya, kini hadir kembali. Ekspresi tenang Gempa adalah hal paling Gempi benci.
Hidung Gempi bergerak kembang-kempis. Dia benar-benar dibuat kesal pagi ini. Pun dia bergerak cepat meraih lengan Gempa yang lantas menancapkan giginya ke sana.
"Akh! What are you doing?" Refleks Gempa berteriak dan menginjak pedal rem mendadak. Perih di lengan terasa akibat gigi Gempi menancap penuh tenaga. Begitu Gempi melepas gigitannya, terlihat di antara tonjolan urat di lengan ada bekas gigitan serta setitik darah hadir; buatnya merasakan sakit.
"Ukh, naught girl. " Alih-alih marah, Gempa mengulas senyum jenaka seraya mencubit pipi Gempi yang lekas Gempi tepis.
"Mau gigit lagi?" Geraham Gempi saling menggertak. Laki-laki ini sulit sekali ia pancing amarahnya; buat kesempatan Gempi untuk diusir dari mobil ini semakin sempit. "Nanti, Bunny. Kalo kita udah sampai." Gempa menjalankan kembali mobilnya; terus mengikuti jalan sempit menuju pedalaman hutan.
Sorot dari matahari menipis akibat timbunan dedauan dari pohon-pohon tinggi menjulang. Semakin mobil ini masuk lebih dalam, suasananya bertambah mengerikan dengan pencahayaan minim.
"Lo— lo mau jadiin gue santapan anjing liar di sini?" Gempi melayangkan tanya bersarat panik.
Otak sialannya sudah menampilkan tayangan hukuman yang ia dapatkan setelah membuat lengan Gempa terluka; menjadikannya makanan hewan liar di sini.Gempa meliriknya sebentar, lantas berujar, "Good idea. Thanks udah ngasih tau." Dia melayangkan kedipan di mata kanan, sebelum kembali fokus pada jalan di depan.
Gempi terlonjak seketika. "Lo kapan warasnya sih, hah? Gue mau ke kampus! Ngapain lo bawa-bawa gue ke hutan!?"
"Aku cuma mau main-main."
Main-main mengartikan bahwa dua pihak merasakan kesenangan yang setara. Sementara Gempi sangat mengetahui maksud main-main dari Gempa. Main-main itu tak Gempi rasakan efek kebahagiaannya dan hanya Gempa seorang yang merasakannya. Alih-alih bahagia, Gempi lebih sering tertekan.
"Pala lo main-main! Gue mau ke kampus!"
"No. Nanti di sana kamu ketemu cowok itu," ucap Gempa. "Aku belum memerintah orang untuk membunuh laki-laki itu. Jadi kam—"
"Dia berhak hidup! Yang harusnya mati itu lo! Lo! Manusia bangsat!" Borgol di pergelangan tangan tak membuat Gempi gentar untuk menyerang Gempa. Justru ia gunakan borgol itu sebaik mungkin; menjadikannya alat agar memberi rasa sakit di bahu laki-laki gila itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...