Sinar mentari menelusup ke setiap sela-sela daun dan batang pohon, menyorot sekitar sungai belakang sekolah, sementara air sungai terdiam ciptakan ketenangan serta gambarkan keindahan di sekitar sungai sebagaimana cermin. Oksigen segar manjakan indera penciuman, terhantarkan ke otak yang menyimpan kekusutan perihal kehidupan.
"Gue kira kita gak boleh ke sini." Perempuan dengan celana panjang berwarna abu-abu tua mengeluarkan suaranya begitu mereka tiba di area sungai belakang kampus.
Sungai ini bukanlah sungai alami dengan bentuk terbuat di bawah kuasa Tuhan, melainkan sungai buatan yang sengaja dibuat pihak kampus, bertujuan agar para penghuni sekolah bisa membuang beban pikirannya dengan menikmati oksigen segar berasal dari pepohonan di sekitar. Banyak pula jenis burung berterbangan dengan kicauan saling bersahutan bak musik orkestra.
"Banyak juga orang ke sini. Kenapa lo gak tau?" Sedangkan lelaki yang membawanya ke area ini merebahkan diri seraya menikmati pancaran cahaya mentari.
"Gak ada yang ngasih tau." Dirinya menempatkan diri tepat di samping sosok lelaki tersebut.
Pejamkan mata— resapi setiap ketenangan, berharap keruwetan di kepala segera enyah karena hadirnya tenang menyapa jiwa. Terlalu lama memejam, bukan lagi tenang ia dapat, kantuk pun turut serta. Tak rela rasanya pergi ke kelas apabila kantuk mendera seperti ini.
Abraham mendengkus. Namun, tak jua buatnya buka mata. "Kebanyakan berbaur sama lapangan sih lo."
"Dari awal masuk gue pernah denger ada sungai buatan di belakang kampus. Cuma gak tertarik aja." Gempi mengelak. Ia luruskan kaki berbalut celana panjang, sebelum itu ia buka sepatu berikut kaos kakinya.
"Kalo gitu kenapa bilang tempat ini gak boleh didatengin?"
"Jarang denger lagi ada orang mau ke sini."
"Orang-orang kebanyakan ngabisin waktu di kantin, sama taman yang baru dibuat."
"Mungkin karena ke sungai lebih jauh ketimbang ke taman."
"Bisa jadi," tukas Abraham.
Mereka hentikan perbincangan, biarkan kicauan burung dominasi area sungai juga gemerisik dedaunan saling bergesekan disebabkan embusan angin siang ini. Terasa hangat sekaligus mengundang kantuk. Pun Gempi mengikuti Abraham di sisi kanan lelaki itu, berbaring menjadikan dua lengannya bantal, tapi ia memilih tempat yang sekiranya tidak terlalu disorot matahari.
Indera pendengaran Abraham menangkap suara lain dari kicauan burung, mata sipitnya terbuka guna melihat penyebab suara tersebut. Lantas dua netranya mematri sesosok yang masih menduduki tahta tertinggi di hatinya. Pahatan indah di setiap wajah Gempi terlihat lembut tatkala matanya terpejam, berikut sorotan sinar mentari kian menambah pesona gadis tomboi ini.
"Lo inget gak, Pi?" Abraham alunkan suara lembut seiring angin bersemilir.
"Gak," jawab Gempi secara singkat, Abraham terkekeh dibuatnya.
Posisi terbaring ia miringkan, guna matanya bisa leluasa memandang view yang jauh lebih indah dari sungai ataupun pepohonan hijau di sekitar.
"Kalo gitu gue ingetin lagi." Abraham terdiam beberapa sekon, otaknya merangkai setiap kata yang sekiranya tidak menimbulkan kecanggungan, "Di sini gue pernah bilang suka sama lo. Gue juga pernah minta lo jadi pacar gue."
Abraham tidak berharap Gempi akan menjawab, maka dari itu dia hanya melihat bagaimana ekspresi Gempi seusai ia membuka kembali lembaran masa lalu. Di wajah yang terpapar sinar mentari itu, tak ada sedikit pun reaksi.
"Kalo gue ngulang ucapan itu lagi. Apa jawaban lo masih sama?"
Jika tadi Abraham tidak mengharapkan reaksi apapun dari Gempi, kali ini beda lagi ceritanya. Di dalam rongga dada, menyimpan dentuman hebat dari jantungnya, Abraham merasa disetrum sekian banyaknya volt listrik tatkala netra sipit miliknya mendapati gerakan dari kulit mata Gempi, tanda gadis itu akan merespons kalimat yang ia utarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...