"Grizelle menikam dada Caden. Tanpa peduli iris hijau zamrud Caden telah mengucurkan bukti kecewanya. Aku membencimu yang mengkhianatiku, tapi aku lebih benci diriku yang melabuhkan perasaan pada orang yang memiliki dendam padaku. Di ambang kematian, Caden berucap demikian." Gempa tidak melanjutkan bacaannya pada novel dengan tajuk Luminary tersebut. "Endingnya sesat. Aku gak bisa lanjutin."
"Rekomendasi Varo memang buruk. Harusnya dia merekomendasikan dongeng aja." Netra hijau Gempa menatap malas pada buku tebal dengan sampul burgundy tersebut. "Mana nama tokoh perempuannya sama dengan Aunty Grizelle." Dia bergumam.
Oksigen di paru-paru Gempa keluarkan secara kasar. Dua bulan sudah terlewati. Waktu terasa bergulir sangat lama apabila ditunggu. Dan sampai detik ini Gempi masih betah bermain di taman mimpi.
"Segitu indahnya mimpi kamu? Sampai tidak mengajakku untuk menikmatinya?" Jemari Gempa bermain-main pada untaian rambut lepek Gempi. "Bangun nanti ceritakan semua yang kamu alami di alam sana."
"Aku ingin tahu, manusia beruntung mana yang kamu temui. Apakah dia ayahmu?" Tidak peduli rambut Gempi tidak dicuci selama dua bulan ini, Gempa tetap menghidunya. "Lalu kita mandi bareng."
"Hei. Aku lupa kalau kita harus sering-sering bermain karena milikmu selalu menjepit." Dia berkelakar menghibur diri dari keterpurukan. "How stupid I am. Bahkan kamu gak mau bangun. Itu juga pasti karena kamu gak mau melihat aku, apalagi kalau kita bermain."
"Mungkin bukan diludahin lagi, tapi ditendang sama kamu." Jakun Gempa bergerak diiringi tawa kecil sebagai pelipur lara. "Kangen denger teriakan kamu juga, ya?"
"Bangun, dong. Aku mau ngekang kamu, nih, agar kamu berteriak terus meludahiku." Berharap dengan tawa kecil bisa tutupi penyesalan berikut pilu yang menghantam. Namun, kehadiran bendungan air mata tidak bisa membohongi. "Aku kangen kamu." Pun akhirnya sang Tuan meluruhkan air mata yang sedari tadi ia samarkan dengan tawa.
"Kapan kamu bangun? Aku tersiksa Gempi ... harusnya aku tidak gegabah malam itu, berakhir kamu terbaring sakit di sini." Kondisi Gempa tidak lagi sebagus beberapa bulan lalu.
Bulu halus sudah tutupi area rahang, rambut mulai memanjang dengan mata selalu menyorot sayu. Dia benar-benar ingin menunjukkan keterpurukannya.
"Gempa?" Suara Nara masuk ke indera pendengarannya. Segera Gempa menyeka air matanya.
"Oh, Aunty?"
Satu minggu setelah kasus Abi terselesaikan, Nara memutuskan resign dari kerjanya dan fokus mengurus Gempi. Nara juga sudah meminta Gempa pulang saja ke Italia dan keluar dari kampus di Indonesia. Namun, laki-laki ini menolak dengan alasan ingin menemani Gempi sampai Gempi membuka mata.
"Kamu baca buku itu?" Gempa mengikuti arah pandang Nara. "Jangan turuti rekomendasi Varo. Seleranya selalu jelek."
"Orang jelek selalu memiliki selera jelek," sahut Gempa, mengundang tawa Nara.
"Makan, yuk. Tante tadi beli tomyam. Kamu pasti laper." Pun Gempa beranjak dan berjalan menuju sofa di sana, biarkan Nara menempati tempat duduk semulanya.
"Aunty ke sini sama siapa?" Gempa bertanya sembari membuka bungkus tomyam yang akan ia nikmati. Lebih tepatnya, makan. Sebab selama dua bulan ini Gempa tidak bisa menikmati makannya, itu juga alasan berat badannya menyusut.
"Varo. Sekarang dia lagi di bawah."
Suara mesin EKG menyertai perbincangan sederhana mereka. Nara menyorotkan kepiluan pada sosok yang tengah berjuang antara hidup dan mati. Dia ingin sebenarnya membahas perihal Gempi. Namun, melihat betapa merahnya mata Gempa buatnya urung.
Aku tidak menyangka Gempa akan sesedih itu. Sebenarnya sudah sedekat apa mereka? Sampai Gempa sangat menyayangi Gempi? Nara perbaiki selimut yang membungkus Gempi.
"Hoi! Manusia purba mau makan juga akhirnya." Kedatangan Varo tanpa permisi kejutkan dua orang.
Bahkan Gempa sampai terbatuk yang segera Nara beri pertolongan pertama. "Kamu ini! Mau dateng ya ketuk pintu, atau gimana. Main nyelonong aja."
Alih-alih meminta maaf, Varo beri mamanya cengiran. "Aku kaget liat manusia purba mau makan. Biasanya ntar-ntar mulu."
Sematan manusia purba untuk Gempa disematkan oleh Varo. Melihat Gempa yang enggan beranjak barang sedetik pun dari ruangan Gempi ketika ia mengajaknya mencari udara segar di luar, serta wajah Gempa yang kusut berikut rambut yang mulai memanjang alasan yang mendasarinya.
"Dia gak mau makan, kamu omong. Dia mau makan juga kamu omong. Serba salah emang." Nara mewakili Gempa.
Kasih sayang Nara kepadanya kini telah teralihkan pada Gempa. Pertama kali melihat betapa Nara menyayangi Gempa hadirkan pertanyaan untuk Varo. Namun, kini ia mulai terbiasa meski masih belum mendapat jawabannya.
"'Tar malem keluar, yuk," ujar Varo sebelum mengimbuhkan, "Gak bisa. Aku harus menjaga Gempi." Dia menirukan jawaban Gempa setiap kali ia mengajak Gempa keluar.
"Iya, Gempa. Kamu butuh udara segar. Lihat nih kondisi kamu."
Gempa menggeleng. Tomyam di mulutnya terasa hambar, membuat ia hanya menyuap lima sendok. "Males."
"Always," sahut Varo jengah.
"Lagian kamu ini. Gempa kayak gitu karena terpuruk Gempi belum bangun. Lah, kamu Kakaknya malah santai-santai aja. Gak pernah Mama lihat kamu sedih." Tangan Nara menggenggam lembut tangan dingin Gempi yang lantas ia beri usapan di sana.
"Aku percaya Gempi kuat. Besok dia pasti bangun."
"Besok pasti dia bangun." Nara mengulang ucapan Varo. "Selalu itu yang kamu ucapkan. Buktinya?" Wajah Nara palingkan, tidak mau menunjukkan timbulnya air mata di pelupuk mata.
"Kapan pun itu, Gempi pasti bangun." Varo menyahut santai. "Udah, ah. Rumah sakit bikin aku bosen. Aku keluar dulu."
"Manusia purba. Yakin gak mau ikut? Kita cari cewek di sini. Banyak yang bening, tahu?" Alis tebalnya dimainkan guna menggoda Gempa.
Gempa jawab godaan Varo dengan gelengan lesu yang sontak Varo repons dengan helaan napas jengkel.
***
Ada orang bilang, Hidup tergantung pada perspektif masing-masing. Jika kamu ingin hidupmu terus digandrungi hal-hal positif, maka teruslah berpspektif hal-hal positif pula dan buang jauh-jauh hal negatif dari kepalamu, dia hanya akan menjadi beban untukmu, begitupun sebaliknya. Itu alasan yang mendasari Varo selalu berucap, besok Gempi akan bangun.
Dari ucapan itu Varo sematkan harapan serta doa kalau Gempi benar-benar akan bangun.
"Lima tahun Abang pergi dari masalah, biarin kamu bertahan di tengah kejahatan manusia. Bahkan bertindak acuh ketika tahu kamu diawasi oleh keluarga gila jabatan itu." Pipi Varo tidak lagi tarikan senyuman. Kini pipi dengan tone kuning langsat itu telah dibasahi oleh cucuran air mata.
Kepalanya di sandarkan pada kepala kursi taman. "Bangun Gempi. Ada banyak hal yang ingin Abang sampaikan."
"Jangan ikut Ayah. Abang pengen banget ngabisin waktu sama kamu." Dia membiarkan pelupuk mata luncurkan pelampiasan emosinya. "Ayah ... tolong biarin Gempi kembali. Jangan tahan dia." Suaranya menyengau, pertanda emosi masygul telah melingkupi benak.
"Varo juga capek pura-pura baik-baik aja di depan mereka." Berkali-kali jakunnya bergerak, menegak gumpalan penyesalan di tenggorokan. "Varo ingin peluk Gempi, Varo ingin becanda lagi sama dia."
"Varo mau bayar waktu bersama Gempi yang udah Varo sia-siakan. Tolong bawa dia kembali, Ayah."
***
Lengah dikit, readers hilang.
Terima kasih yang sudah stay❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...