32. The Fact

823 59 19
                                    

Ruangan Nara semula dilingkupi hening dan hanya tangisan Nara yang mengisi, kini telah ramai. Bahkan rekan-rekan Nara sudah meminta Helda serta Regina untuk keluar tidak diperbolehkan oleh Varo.

Ada yang mau dia ungkapkan pada mereka.

"Lihat ini." Laki-laki itu, entah darimana ia mendapatkan laptop berikut flashdisk.

Orang-orang di sana juga kebingungan akan pertunjukan yang akan Varo lakukan di ruangan mamanya.

"Here we go." Bibir merah mudanya mengulas senyum jenaka. "Saya yakin kalian akan jantungan setelah mendengar rekaman dan riwayat chat ini."

"Jangan mengalihkan pembahasan. Saya tau kamu akan berperilaku seperti korban. Lebih baik kamu keluar. Bocah tidak tahu apa-apa masalah orang dewasa." Helda berujar sewot.

Alih-alih marah, hasrat Varo untuk menunjukkan keburukan manusia bernama Helda itu kian terpantik. Tercetak di wajahnya raut puas kendati pertunjukkan belum ia lakukan.

"Uuh, takut deh sama orang dewasa." Dia melayangkan tawa di akhir ucapan.

"Jaga kelakuan kamu sama orang dewasa, Varo! Jangan mentang-mentang peran ayah hanya sementara kamu da-"

"Ou-ou-ou, gitu, ya? Apa hubungannya peran ayah sama kelakuan saya?" Ujung mata Varo melirik sinis neneknya. "Takut banget sama nenek lampir, ih." Dia berlagak bergidik yang membuat Nara segera berikannya cubitan.

"Benar-benar! Didikan kamu tidak ada yang benar!"

"Iya-in aja, Ma. Nenek lampir begitu emang. Pengennya menang terus." Melihat wajah-wajah memerah sebab amarah itu Varo cukup terhibur selama jemarinya bergerak di atas mouse guna mencari-cari file bukti atas kelakuan Helda dan suaminya.

"Memangnya apa yang kamu punya, heh? Bocah kayak kamu taunya apa kalau bukan menghabiskan uang orang tua?" Helda masih bertahan untuk merecokinya.

"Emang gue anak lo? Hobinya ngabisin duit orang tua," balas Varo. Dia tidak melihat adanya senyuman di wajah Nara.

"Bangga kamu punya anak durhaka?" Regina bertanya pada Nara yang dilihatnya senang saat sang anak membalas ucapan mereka.

Alis tipis nan terbentuk Nara menukik. "Gak boleh emang?"

Bibir keriput Regina mengerut; menahan kesal yang sudah menggerogot. "Rupanya benar," ujarnya. "Abi salah memilih istri."

"Enggak," sahut Nara secara lugas. "Justru Abi salah memilih rahim untuk melahirkannya."

"Sudah, Bu. Ngomong sama anak kriminal memang bikin sakit kepala." Helda berucap, pancing emosi Nara yang jelas tidak terima disebut demikian.

"Hohoho, gitu? Kita liat aja siapa kriminal sebenarnya." Telunjuk Varo segera menekan mouse hingga sebuah rekaman berputar.

"Anda bisa membayar saya berapa untuk membunuh Abigail Wiratama?"

"Berapapun yang anda mau, pasti saya beri. Asal laki-laki itu mati sekarang juga?"

Tawa sarkas terdengar dari rekaman itu. "Anda egois juga ternyata."

"Jangan berani menilai. Anda orang asing."

"Oke, oke. Cuma ya ... saya tidak menyangka saja kalau asisten yang dipercayai Girham akan membunuh anaknya demi jabatan."

"Jalani saja tugasmu! Saya sudah membayarmu! Jangan kau macam-macam kalau tidak mau hidupmu saya hancurkan!"

"Bukan begitu. Hanya saja ... bagaimana kalau nanti keluarganya akan mengulik kasus ini? Dan saya ikut terseret ke jeruji besi? Apakah anda akan melindungi saya?"

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang