Gempi mematikan sambungan telepon begitu saja. Baru saja ia mendengar suara Abraham masih segar, artinya Abraham belum tidur di jam seperti ini. Tidak ayal dia juga merasa bersalah karena mengganggu istirahat Abraham. Kalau seandainya kondisi saat ini tidak genting, Gempi tidak akan merepotkan Abraham.
"Janji gue gak akan repotin orang lain." Gempi bertekad yakin.
Dia sudah merencanakan semuanya secara matang. Dari berhenti kuliah, menjauh dari orang-orang yang ia kenal sekaligus para sahabatnya, juga menjauh dari keluarganya dan hidup tenang sendirian di rumah neneknya.
Dan untuk Abraham ia tidak akan menyembunyikan apapun pada Abraham, dia juga akan menceritakan semuanya pada laki-laki itu begitu mereka tiba nanti di rumah neneknya.
"Gempa ... gue gak bakal laporin lo ke kepolisian, asal lo gak ganggu hidup gue lagi." Gempi mengudarakan udara melalui mulut.
Kini Gempi akan berlapang dada, melupakan segala perbuatan negatif Gempa dan memaafkannya selama Gempa tidak lagi memporak-porandakan hidupnya.
Yang Gempi inginkan hanyalah satu: hidup tenang, tanpa berharap pada apapun dan menjalani hidup monoton.
Itu tidak masalah.
Ia juga tidak lagi mengharapkan kepulangan Varo serta kepedulian Nara.
Biarkan saja hidupnya berjalan; mengalir seperti air sungai.
Tidak ingin berlama-lama, Gempi segera menyiapkan pakaian-pakaiannya ke tas ransel dengan ukuran besar, alih-alih koper yang akan membuatnya kerepotan. Hanya beberapa pakaian yang sekiranya ia butuhkan saja, lalu pergi ke balkon guna melihat seberapa tinggi jarak antara balkon kamarnya dengan tanah di sana.
"Jir, tinggi banget." Mata Gempi memandang daratan dari balkon kamarnya di lantai dua.
Di sana terdapat pohon kecil yang entah apa namanya, tapi kalau Gempi nekat loncat kemungkinan ia terluka sangat besar. Tidak ingin menanggung risiko, pun Gempi kembali ke kamar; mencari sesuatu yang sekiranya bisa membantunya keluar.
"Perasaan tali yang Gempa pake buat iket gue masih ada, deh." Dia bermonolog sembari mencari-cari benda tersebut di sekitar kamar.
Melihat adanya sebuah tali dari bawah ranjang, Gempi merendahkan tubuh kemudian menarik tali tersebut. "Di sini ternyata." Seringai senang tersemat di wajahnya.
Flash di ponsel yang membantunya mencari tali karena apabila ia menghidupkan lampu utama Gempa akan curiga, dia matikan sebelum mengikat tali di pagar balkon. Tali tersebut tidak mencapai tanah, tapi Gempi rasa itu cukup meringankan usahanya.
Merasa tali telah erat diikat, Gempi turun sangat hati-hati. Beruntunglah lampu-lampu di sekitar tidak menyala, jadi Gempi merasa yakin tidak ada yang melihatnya, CCTV pun sudah lama rusak dan tidak diganti.
"Semoga aja Abraham udah sampe di sana." Kaki yang tidak dibalut apapun kini berhasil menapaki tanah.
Gempi jalankan dua kakinya secara perlahan dengan keyakinan penuh. Sementara udara dingin yang baru saja menyambutnya Gempi abaikan, toh ia sudah siap siaga dengan mengenakan hoodie tebal serta celana panjang.
"Kehidupan tenang tanpa gangguan, gue datang." Dia berbisik penuh kegirangan, tidak peduli betapa tajamnya udara dingin menghunus.
***
Kini kaki telanjang yang sengaja tidak Gempi pakaikan alas sebelumnya telah dilindungi oleh sepatu sekaligus kaus kaki. Berjalan cepat begitu mobil familier telah terparkir tepat di depan gerbang. Tiba di sana ia lekas membuka pintu mobil yang langsung disambut wajah segar Abraham.
"Sorry banget gue repotin lo." Gempi berujar penuh rasa bersalah.
"Gue marah sama lo." Sahutan Abraham tidak Gempi duga. "Berapa hari lo ngilang, tiba-tiba mau kabur. Apa gak shik shak shok gue?"
Gempi tidak sempat menoleh sebab sibuk melempar tas di kursi belakang, ia juga kerepotan memakai seatbelt "Nanti gue cerita. Kalo kita udah sampe."
"Mau pergi ke mana emang?" Adalah pertanyaan Abraham usai Gempi mengenakan seatbelt dan menaruh bawaannya di jok penumpang belakang.
"Bogor. Rumah nenek gue." Gempi menyahut, ada rasa bahagia meletup-letup dalam hatinya tatkala bayangan kehidupan menenangkan tanpa tegangan dari Gempa hadir.
"Bukannya udah lama gak diisi? Gak bakal horor?" Abraham mulai menjalankan mobil, meninggalkan area komplek.
Perasaannya yang selalu mengatakan bahwa Gempi tengah berada di radar marabahaya yang disebabkan Gempa rupanya benar. Lama tidak bertukar kabar sekaligus tidak melihat Gempi, sekalinya ia mendapat kabar Gempi akan kabur dengan alasan disiksa Gempa, alih-alih melaporkannya pada kepolisian. Itulah yang menjadi pertanyaan Abraham.
"Yang penting hidup gue tenang." Gempi menjawab seraya memejamkan mata dengan kepala mendongak.
"Kenapa gak lapor aja ke kepolisian?" Mata Abraham fokus melihat jalanan depan yang diterangi cahaya mobil serta lampu di sekitar.
Di lain sisi ia merasa senang karena Gempi mau keluar dari jeruji yang Gempa ciptakan dan mengandalkannya. Namun, ia menyayangkan apabila orang jahat seperti Gempa tidak di lempar ke jeruji besi. Kendati ia tidak mengetahui kejahatan macam apa yang Gempa lakukan pada Gempi.
"Gak tau hukum di negara kita aja." Gempi berujar dengan gumaman, rasanya dia mengantuk sekali setelah masuk ke mobil Abraham, mungkin karena aroma st*lla jeruk.
Disaat orang lain membenci aroma itu, justru dia sangat menyukainya.
"Lo tidur aja. Nanti gue bangunin kalo udah sampe."
"Jangan," sanggah Gempi cepat. "Lo juga pasti ngantuk. Kita gantian aja nanti."
Abraham tidak menjawab lagi. Meski ia terlihat fokus mengendarai mobil, kepalanya tidak menyangkal bahwa banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah Gempi dan Gempa.
Kalo Gempi sampe mau kabur gini, berarti kesalahan Gempa fatal banget.
***
Tertawa.
Adalah hal paling lucu melihat seorang yang susah payah ia lindungi kini telah melemparkan dirinya sendiri ke jurang marabahaya. Ingin gaungkan amarah sarat rasa kecewa telah dipermainkan oleh sikap manisnya beberapa jam lalu. Namun, tidak bisa ia realisasikan sebab sadar betul itu tidak akan membuat gadisnya datang.
Di layar laptop iris hijau gelapnya menangkap jelas biarpun kondisi cahaya tidak memadai. Bagaimana Gempi menyiapkan pakaiannya, mencari tali dan keluar menggunakan tali tersebut. Dia juga mendengar kepada siapa Gempi meminta tolong.
Abraham.
Lagi-lagi manusia itu yang bangkitkan amarah Gempa. Agaknya benar keputusannya untuk mengirim Abraham ke neraka, persetan ia menanggung risiko berupa nyawa Gempi.
Bodohnya Gempi tidak mengetahui kecerdasannya. Di sekitar kamar dan kamar Gempi sendiri telah Gempa pasang CCTV untuk mengawasi gerak-geriknya.
Sudah ia katakan.
Melihat Gempi mati jauh lebih baik daripada melihat Gempi bahagia bersama laki-laki lain.
Gempa sadar ia gila.
Dan perasaan yang Gempa sematkan pada Gempi adalah cinta berbalut obsesi.
"I have an assignment for you." Suaranya mengalun sedingin es di Antartika, siap membekukan segala benda di sekitar.
"Crashed into a white T*yota R*sh with plate S 456 ZTD. Make that guy over there die."
***
Udah bener nurut ke Gempa, malah kabur, mau dibuat mati beneran kan lo jadinya😏
Gimana part ini menurut kamu? Komen di sini👉
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...