42. Caught

394 48 16
                                    

"Gempa. Tolong jaga Gempi dulu, ya. Jam tujuh nanti kamu suapin dia." Adalah permintaan Nara sebelum ia berlalu keluar untuk pergi ke apartemen dengan alasan hendak membawa baju kotor Gempi ke loundry karena Gempi selalu rewel tentang pakaiannya.

Memilih menjawab menggunakan deheman, Gempa tempatkan sorotnya ke arah Gempi yang baru saja tidur setelah minum obat. Tepat Nara dan Varo keluar, tanpa ragu Gempa dekatkan wajahnya dengan Gempi.

Senyumnya terulas dengan embusan melalui hidung. "Aku tau kamu pura-pura tidur." Benar saja, kelopak indah dari Gempi terbuka.

Segera Gempa jauhkan wajah dilihat Gempi hendak duduk yang ia bantu karena Gempi kesulitan. "Mama udah keluar?" Dia melirik pintu yang sempat ia dengar menutup.

"Kenapa memangnya?" Gempi dapat melihat ketulusan yang dalamnya melebihi lautan dari iris hijau gelap Gempa.

Dia menggeleng dengan senyum yang tidak pernah Gempa dapatkan. "Gue udah lama nunggu waktu buat ngomong sama lo."

Tangan kanan Gempa terulur beri usapan lembut di ujung kepala sepupunya. "Mau ngomong apa? Hmm?" Surai yang menjuntai ia mainkan menggunakan telunjuk.

Gempa senang.

Dada rayakan gembira yang bertandang hanya karena binar tak biasa sang dara beri untuknya disertai gelitik menyenangkan di perut, buatnya ingin bergerak beri cumbuan untuk sang dara yang telah hadir raga beserta sukmanya.

"Gue ... gue bisa denger semasa koma." Binar cerah itu telah redup, getaran bingung menggantikan. "Gue juga gak tau kenapa." Dia kembali beri penjelasan. "Waktu koma, gue bisa rasain sakitnya disuntik, denger kalian ngomong. Gue juga pengen banget sebenarnya jawab kalian, tapi— tapi susah Gempa." Deretan bulu indah di atas mata itu menukik ke atas.

Gempa tetap diam, beri Gempi waktu untuk menjelaskan sampai tuntas. "Dan ... gue juga denger tentang keluarga Abraham, penyesalan lo ... semuanya gue denger."

Ribuan volt listrik setrum Gempa. Kira-kira seperti itulah perasaan Gempa kalau dideskripsikan.

Tak jarang dirinya mengumpati diri di hadapan Gempi karena penyesalannya berikut fakta atas kecelakaan Gempi.

"Ak—"

"Gue maafin lo." Susah payah Gempi teguk gumpalan saliva di tenggorokan. "Salah gue kar—"

"No." Segera Gempa larikan tubuhnya ke pelukan Gempi diiringi getaran suaranya yang menyangkal ucapan Gempi. "My bad, semuanya salahku. Kamu koma juga salahku. Aku bodoh. Aku gegabah. Aku bodoh, Gempi."

Tidak lagi segan ia keluarkan emosi berbalut penyesalan di hadapan Gempi, tanda bahwa ia benar-benar tulus dalam meminta maaf.

Gempi lukiskan senyum lembut yang tidak biasanya hadir, sementara tangan balas pelukan Gempa dengan tangan kanan mengusap lembut punggung yang bergetar di pelukan ini.

"I'm selfish, Gempi. Harusnya aku berpikir kalau kaburnya kamu pertanda kamu muak aku kekang terus. Bodohnya aku lebih memilih kamu mati daripada bahagia bersama laki-laki lain. Padahal kamu punya hak untuk hidup." Deraian air mata enggan berhenti basahi pipi Gempa.

Tentang Gempi, Gempa akui dirinya cengeng. Sebentar-sebentar menangis, karena penyesalan masih membelenggu. Tidak berhenti terbayang di benaknya rasa sakit yang Gempi terima karena kecerobohannya.

"Jadiin ini semua pelajaran." Gempi bersuara dengan lembut. "Lagipula ... karena adanya kecelakaan ini gue jadi tau masalah keluarga gue sama Abraham. Apalagi ... lo udah bantu keluarga gue. Justru harusnya gue berterimakasih sama lo."

Inginnya Gempa menjauhkan wajah dan tatap secara lamat pemilik hatinya ini. Namun, malu mencegah. Akhirnya ia hanya bisa hidu sedalam mungkin bau tubuh Gempi di leher.

"Ih, gue bau tau." Gadis itu menghindar, mengingat dirinya tidak pernah mandi sudah jelas bau tubuhnya tak sedap.

Alih-alih jauhkan wajah, Gempa justru kian rekatkan dekapan mereka sambil berucap, "Kamu selalu wangi."

Bibir Gempi mencebik jengah. "Pret! Mana ada orang sakit wangi. Orang gak pernah mandi."

Lap jejak air mata sialan di pundak Gempi, baru lah Gempa beranikan diri untuk tatap wajah gadisnya. "Melepas kamu dari laki-laki sialan itu udah kewajiban aku, Gempi." Kembali Gempa mainkan beberapa helai rambut Gempi. "Dari kecelakaan kamu, kamu punya pandangan positif, tapi sebagai penyebabnya, aku tidak bisa mengambil sisi positif. Tidak seperti kamu."

Tangan pucat Gempi bingkai wajah masygul Gempa. "Hei. Gue baik-baik aja. Gue gak amnesia, lumpuh, atau bahkan buta."

"Tapi kamu koma, ada banyak luka dan memar di tubuh kamu. Kamu tetap merasa sakit." Karena sorot sendu dari sang pria, Gempi beri ketenangan dengan usapan lembut pada pelipisnya.

"No, Gempa ... itu akan sembuh seiring berjalannya waktu. Gue bakalan kembali kayak dulu. Jadi ...." Menjeda ucapan, Gempi raih tangan Gempa untuk ia genggam. "Stop berlarut sama penyesalan, oke? Perbaiki aja yang sekarang."

Gempa bungkam, tidak ada kalimat yang ingin ia keluarkan.

"Dan ... sebenernya gue masih gak yakin sama ini." Pandangan Gempi dialihkan sembari bibir ia basahi dengan lidah. "Tapi ... lo beneran cinta sama gue?"

Bukan tidak yakin, lebih tepatnya Gempi merasa tabu mengingat mereka adalah saudara sepupu.

Sering pula ia dapati tatapan yang begitu dalam dari iris seindah zamrud itu, buatnya berkesimpulan bahwa benar Gempa mencintainya. Berkali-kali pun ia tepis kesimpulan itu, tidak bisa tutup kenyataan apabila si pemilik hati benar menaruh hati padanya.

"Masih belum jelas memangnya?" Genggaman tangan Gempi pada tangannya Gempa alihkan dengan tangan miliknya mendominasi.

"Enggak ... maksudnya, tuh. Kok bisa?" Dia memberi sorot penuh tanya.

"Bisa. Kenapa harus gak bisa?" Balasan Gempa belum cukup untuk Gempi.

"Ya ... aneh aja. Kok bisa lo suka gue. Emangnya apa—"

Tidak memberi Gempi kesempatan untuk menjawab, Gempa langsung memberi bukti atas perasaannya yang nyata dengan ciuman singkat di bibir Gempi. "Gak ada alasannya."

Gempi lupa.

Terakhir kali mereka ciuman itu kapan?

Jelas ciuman tiba-tiba dari Gempa seolah sedot semua akal sehatnya yang membuatnya hanya mampu berdiam diri dengan otak berusaha mencerna kejadian singkat tadi.

"Perasaan aku ke kamu ya mengalir gitu aja. Gak ada alesan yang mendasari," ucapnya.

Pandangan semula turun, kini naik ke atas dengan sorot penuh harap. "Kalo gitu ... tolong ajarin gue caranya mencintai."

Tertegun.

Selalu mendapat penolakan dari sang dara tidak pernah hadirkan harapan kalau perasaannya akan disambut, meski yang Gempi ucapkan lain adanya. Namun, bukankah itu berarti Gempi menyambut baik perasaannya?

Alih-alih menjawab dengan ucapan, Gempa langsung bergerak beri ciuman.

Dengan mata terpejam, bibirnya menyesap bibir pucat Gempi. Perlahan jemarinya menyusuri rahang si gadis dengan belaian lembut.

Tidak ada lagi ciuman paksaan yang kerap ia lakukan. Ciuman yang ia lakukan tulus untuk buktikan kebesaran cintanya untuk sang dara.

Setiap belaian lidahnya pada lidah Gempi, ia sempatkan gaungkan perasaannya yang semakin hari semakin bertambah, tidak peduli sukma gadisnya melanglang buana entah ke mana, perasaannya tersemat secara permanen.

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang