25. You Must Die

887 67 7
                                    

Lolongan anjing menggema di tengah rimbunan pepohonan yang halangi sorot mentari, setelah kehadiran lolongan anjing menyusul lah suara-suara hewan lain: kicauan burung saling berterbangan karena mungkin merasa terancam akan kehadiran predator, orang utan saling berpindah dari pohon ke pohon lainnya, seruan tapir samar-samar masuk ke dalam rungu seorang gadis yang terjebak di tengah kekacauan hutan akibat kehadirannya.

"U-ular?" Dia membeo begitu netranya menangkap kehadiran ulat tengah merayap dari atap mobil. Lidah kecil nan panjang itu terus bergerak seakan mengolok-olok kehadiran Gempi.

Oksigen di sekitar terasa sulit ia masukkan ke paru-paru hingga prosesnya cepat. Seluruh anggota tubuh hilang fungsi membuat otak yang seharusnya memutar mencari pemecah masalah dari kondisi ini. Gelombang negatif melingkupi dada hadirkan getaran pada seluruh tubuh disertai butiran keringat dingin penuhi punggung, wajah, leher dan sekitarnya.

"Mati." Dia melirih. "Gue bisa mati." Menutup wajah yang telah mengekspresikan kepasrahan, untaian rambut ia cengkeram sebagai pelampiasan. "Gue bisa mati di sini?" Kembali menggaungkan ketakutan yang kian menghantui, ujung mata melirik kembali keberadaan ular itu.

Di kondisi yang menyudutkannya ini, sama-sekali tidak membuat Gempi berkeinginan untuk berteriak meminta tolong.

Takut seakan menekan jiwanya, menghalau otak untuk bekerja mencari solusi.

"Gu-gue. Mati? Gue— gue mati sekarang?" Dia bermonolog, berusaha mencari solusi di tengah hiruk-pikuk masalah menimpanya. "Ru-rugi banget kalo gue mati sekarang." Berusaha tenang di sela serangan panik dengan memainkan telunjuk di stir kemudi.

"Orang-orang belom tau kejahatan Gempa. Gak adil kalo gue mati setelah dibikin sengsara sama dia, sementara dia bisa hidup bebas." Kendati takut masih menyertai, ia meyakinkan diri untuk melewati masalah yang tengah menghadangnya.

"Lo gak bisa masuk. Aman gue." Dia berujar pada ular yang meliuk-liuk bebas di kaca tepat di samping kursi penumpang. Dengan kehadiran kaca, ia bisa terlindungi, kendati mentalnya tak terselamatkan.

"Kali ini gue pasti bisa keluar." Di akhir kalimat ia udarakan tawa optimis. Tangan yang setia bergetar karena guncangan takut dan panik masih menyelimuti, mulai menghidupkan mobil.

"Kok gak idup?" Dia bertanya panik, entah siapa yang ia tanyakan. Pergerakannya ketika mengecek indikator bensin terlihat panik. "Bangke! Kenapa harus abis, sih!" Jarum di indikator menunjuk pada huruf E berhasil bangkitkan emosi jiwa sekaligus takut.

"Kenapa semuanya jadi berkontribusi buat bikin gue sengsara! Arghhhhh!!" Berteriak melampiaskan kesal terhadap kondisi tidak mendukung kepergiannya. "Bangsat! Bangsat! Bangsat! Semuanya gara-gara Gempa!" Stir mobil dipukul beberapa kali.

Wajah sudah melukiskan frustrasi yang kini gelayuti diri.

Semula ketenangan bertandang penuh optimis saat harapan menghibur, kini lenyap karena satu-satunya asa yang paling penting tidak mendukung. Menyapu seluruh area hutan, Gempi bergidik mendengar lolongan anjing yang masih mengalun seakan menghibur sepinya hutan, terlebih ada beberapa anjing mendekat buatnya gemetar atas kepasrahan bahwa kali ini dia benar-benar akan pergi ke pangkuan Tuhan.

Menjaga telinga dari seruan para hewan yang bisa saja membuat mentalnya tergoncang, lantas Gempi bergumam, "Gak pa-pa Gempi lo mati juga. Gak pa-pa. Lagian hidup juga percuma. Gak ada yang percaya sama lo. Mama juga pasti seneng kalo lo mati. Gak pa-pa, okay?"

Tangan yang menutupi telinga bergetar dilapisi keringat dingin. Sudah menjadi bukti bahwa dia benar-benar ketakutan sekarang.

Seiring kalimat penenang menghibur diri, terdapat air mata menyertai. Teringat kembali akan kalimat yang beberapa hari lalu goncangkan pilu dalam diri, Gempi sadar bahwa memang inilah garis hidupnya.

The Predator's ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang