Gambaran langit Jakarta berbanding jauh apabila disandingkan langit di pedesaan, polusi bertebaran di setiap sudut, kendati hari masih pagi. Pun mentari enggan singgah untuk sekadar memberi sinar agar orang-orang yang menempati tanah Ibu Kota terbangunkan. Lebih banyak dari mereka dibangunkan bunyi alarm berasal dari jam weker atau bahkan dari benda pintar.
Salah-satu di antara ribuan penghuni Ibu Kota yang memanfaatkan kehadiran ponsel untuk menyadarkannya dari mimpi indah adalah Gempi Loreana Rosellind. Perlahan dua kelopak mata terbuka tampilkan keindahan warna coklat mengelilingi pupil hitamnya.
"Dia beneran pakein gue baju?" Melihat sepasang pakaian membalut tubuhnya, Gempi udarakan gumaman lirih, keningnya lukiskan kerutan samar.
"Berarti dia-" Segera mata yang semula malas terbuka lebar kini membola saat imajinasi kotor menyelinap masuk ke kepalanya. "Anjir! Kurang ajar emang!"
Ucapan Gempa semalam tidak Gempi tanggapi secara serius sebab kantuk segera menyerang buatnya tidak sadar apa saja yang dilakukan lelaki itu terhadap tubuhnya. Namun, bukti kalau Gempa benar-benar memakaikannya pakaian sudah cukup gambarkan Gempa bahwa dia adalah laki-laki mesum yang memanfaatkan situasi.
"Gempa! Keluar lo!" Kepalan tangan Gempi menggedor-gedor pintu kamar Gempa sampai suara gedorannya terdengar penuhi isi rumah.
"Lo bilang semalem boleh marahin lo! Sini lo! Gue gampar muka lo!" Semburat merah penuhi wajah Gempi, amarah bergelayut buat suasana pagi yang seharusnya terasa indah menjadi buruk.
Pun akhirnya usaha yang ia kerahkan buahkan hasil. Si pemilik kamar hadir disertai muka bantal, sangat kontras dengan wajah penuh semangat milik Gempi.
Tanpa banyak bicara lagi, Gempi daratkan telapak tangan tepat di pipi Gempa, sedangkan kesadaran yang ditampar masih di awang-awang. Karena tamparan kerasnya bukan main darinya itulah Gempa tersentak. Pupil di area iris hijaunya melebar oleh sebab kesadaran yang masih tertinggal di pulau kapuk ditarik paksa.
"Semalem lo sengaja 'kan bujuk rayu gue biar bisa liat badan gue?" Setiap kata disusun penuh tekanan dari bibir cantik milik Gempi. "Ngaku lo!" Kini bukan lagi tamparan Gempi berikan pada sepupunya, tapi juga bogeman di dada Gempa, tidak peduli kalau nanti jantung Gempa jatuh hingga sebabkan stroke, justru Gempi akan tertawa menikmati derita Gempa.
Beneran ngehajar ternyata. Dalam diam Gempa terbitkan senyum. Mendapat tamparan plus pukulan tepat kala ia baru bangun tidur adalah penderitaan sesungguhnya. Namun, ia terima dua hal itu. Dia sendiri meminta Gempi agar melakukannya semalam tadi, harusnya ia terima perlakuan brutal perempuannya.
"Cuma tampar sama pukul doang? Gak mau tendang aku? Atau mau tampar lagi? Nih." Karena tinggi badan Gempa melebihi tinggi badan Gempi, lelaki jangkung itu rendahkan posisinya guna pipi tirus miliknya bisa leluasa Gempi berikan tamparan lagi.
"Oke. Nantangin ternyata." Alih-alih bersiap menampar; Gempi bersiap meninju pipi tirus itu agar warna keunguan hadir buat wajah yang sialnya bak visual aktris hollywood itu rusak.
Satu bogeman pun mendarat; berikan rasa sakit di pipi Gempa. Salah dia sendiri meminta Gempi menamparnya. Dengan senang hati Gempi berikan hal yang lebih dari tamparan.
Kaki Gempa bergerak mundur satu langkah. Lidahnya mencecap rasa asin yang ia ketahui bahwa itu darahnya akibat pipi bagian dalam terluka. Tinjuan Gempi bukan main rupanya. Harusnya ia merasa biasa saja sebab dari segi tampilan saja Gempi sudah mencerminkan kalau dia bukanlah perempuan feminim anti main tinju.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Predator's Obsession
Teen FictionYang Gempi tahu, Gempa itu baik, Gempa itu introvert, Gempa itu pendiam, Gempa itu lemah, Gempa itu cupu. Tapi dia tidak tahu. Siapa Gempa yang sebenarnya. Dia hanya tahu covernya saja. Tidak tahu bagaimana isi kepala Gempa ketika melihatnya. Start...