بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
Kali ini, Gus Fajri membeli banyak makanan untuk Zahra. Saat menunggu pesanan tiba, Ustadzah Shafa tiba-tiba saja datang.
"Assalamu'alaikum, Gus. Kita bertemu lagi," sapa Ustadzah Shafa. Suara perempuan itu membuat ekspresi dan tatapan Gus Fajri langsung berubah.
"Sampeyan, sendirian saja?" tanyanya basa-basi. Gus Fajri tidak menjawab, ia segera berdiri dari duduknya. Namun, tangannya langsung dicekal oleh Ustadah Shafa.
"Lepas, kita bukan mahram." ucap Gus Fajri dingin.
"Tapi tunggu dulu, jangan terburu-buru, Gus. Duduk dulu sebentar!"
Gus Fajri hanya bisa pasrah, dia melihat ke arah sekeliling. Caffe terlihat penuh sehingga tidak terlihat kursi kosong. Mau tidak mau, dia pun kembali duduk di tempatnya.
Ustadzah Shafa mengulum senyum, ia ikut duduk di hadapan Gus Fajri. Pria itu sama sekali tidak menatapnya, bahkan untuk melirik saja tidak.
"Saya hanya ingin menyuruh Gus, untuk memikirkan kembali perkataan, sampeyan." Ustadzah Shafa membuka pembicaraan setelah lama mereka saling diam.
"Perkataan yang mana?" kali ini Rafka beralih menatapnya membuat Ustadzah Shafa tersenyum kecil.
"Perkataan waktu itu, menikahi saya."
Gus Fajri tersenyum miring dan menggeleng keras. "Bagaimanapun, saya tidak akan berniat untuk menikahi, kamu."
"Kenapa, Gus? Bukankah poligami itu diperbolehkan?"
"Tapi menyakiti perasaan istri itu tidak diperbolehkan."
Tegas, singkat, dan padat. Kata-kata Gus Fajri terdengar begitu menembus ke hati Ustadzah Shafa. Namun, ia masih berusaha, tidak bisa menyerah begitu saja.
"Kalau Ustadzah mengajak saya duduk hanya untuk membahas tentang ini, lebih baik saya pergi."
Baru saja Gus Fajri berdiri dari duduknya, seseorang kembali memanggilnya membuatnya menoleh ke arah pemilik suara.
"Lo Gus Fajri, suami Zahra kan?" ucap Aziel saat sudah berdiri di hadapan Gus Fajri.
Gus Fajri hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Wah, saya nggak nyangka kalau kita bertemu di sini. Sudah kembali dari Yogyakarta?" tanya Aziel basa-basi dan menyuruh Gus Fajri untuk duduk. Pria itu masih tidak menyadari ada Ustadzah Shafa di samping mereka.
Kedua alis Gus Fajri terangkat. "Bagaimana kamu bisa tahu kalau saya dari Yogyakarta?"
"Zahra cerita sama saya. Kamu tahu, nggak? Jujur, sebenarnya saya disuruh Zahra untuk nggak cerita tentang ini, tapi gue nggak mau hatinya sakit."
"Istri saya cerita denganmu?"
Aziel mengangguk. "Saya tahu apa yang sudah kamu lakukan di Yogyakarta, kamu dan teman-teman Ustadz kamu yang lain pergi ke sana untuk ikut rapat, kan? Tapi saya nggak nyangka kalau kamy di sana peluk cewek lain," jelasnya membuat Gus Fajri langsung bungkam.
"Saat Zahra tahu kamu pelukan sama cewek lain, hatinya sakit banget, saya paham perasaan dia. Waktu itu dia cerita sama saya, bahkan menyuruh saya untuk datang ke rumah kalian. Dia menangis di hadapan saya. Maaf sebelumnya, saya terpaksa cerita, karena saya nggak mau lihat Zahra memendam perasaan sakitnya sendiri. Kamu pasti sudah tahu kan, saya dan Zahra memang sudah sedekat itu? Sehingga apapun masalahnya dia selalu cerita ke saya dan meluapkan keluh kesahnya kepada saya. Kalau kaku nggak percaya, saya punya buktinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Teen FictionSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...