بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
Ustadzah Shafa menatap pantulan dirinya di cermin. Kedua matanya terlihat bengkak karena terus menangis, kini ia merasa kesepian. Rumah yang dulunya penuh dengan canda tawa, kini sudah tidak terdengar lagi.
Tiba-tiba ia teringat saat Gus Fajri menolak untuk menikah dengannya. Ia kemudian mengepalkan kedua tangan dengan sorot mata penuh amarah.
"AARGHHH!" Ustadzah Shafa berteriak sambil menghamburkan benda-benda yang ada di meja rias. Mendengar teriakan Ustadzah Shafa, Claira langsung masuk ke dalam kamar.
"Kamu kenapa?"
"Gus Fajri harus jadi milik aku. Harus! Dia punyaku, dia milikku!"
Claira mengangguk dan mengusap kedua bahu Ustadzah Shafa. "Ya, Gus Fajri akan menjadi milikmu. Sampai kapanpun dia akan tetap milik kamu. Sekarang, kamu tenang dulu."
"Bagaimanapun caranya, aku harus tetap jadi istrinya. Jika aku tidak bisa menjadi yang kedua, maka aku harus menjadi satu-satunya!" tekan Ustadzah Shafa. Kemudian, ia menangis dengan histeris.
***
Tepat pukul dua siang, Gus Fajri sudah sampai di kota kelahirannya. Selama di perjalanan menuju rumah, Gus Fajri tidak henti-hentinya mengulas senyum. Rasanya ia benar-benar tidak sabar bertemu dengan Zahra.
Sesampainya di rumah, senyum Gus Fajri seketika mengembang saat melihat Zahra di balkon, gadis itu duduk santai di sebuah ayunan sambil mengusap-usap perutnya yang sudah besar.
"Assalamu'alaikum, Zahra," salam Gus Fajri sedikit mengeraskan suaranya. Zahra melihat ke bawah karena merasa sudah tidak asing dengan suara itu.
"A'a?" pekik Zahra merasa bahagia. Ia tersenyum lebar dan berlari ke lantai bawah untuk membukakan pintu.
Ceklek!
Saat pintu terbuka, hal yang pertama kali Zahra lihat adalah senyuman yang menghangatkan dari Gus Fajri. Namun, seketika Zahra teringat tentang foto itu membuatnya diam.
"Hei, kenapa terdiam?" tegur Gus Fajri menjentikkan jari membuat lamunannya buyar.
"A-ah, laa ba'sa, A'." balas Zahra tersenyum kaku. Kemudian mencium punggung tangan Gus fajri secara bolak-balik. Ah, ia benar-benar sangat rindu. Namun, lagi dan lagi bayang-bayang foto itu kembali melintas di pikirannya. Ingin sekali Zahra menangis dan menanyakan kebenaran tentang foto itu. Apakah benar suaminya itu telah memeluk perempuan lain?
"Kenapa nggak kabarin Zahra kalau A'a pulang hari ini?" tanya Zahra basa-basi. Entah kenapa ia merasa sedikit canggung setelah berhari-hari tidak bertemu dengan Gus Fajri.
"Sengaja, Ra. Mau kasih surprise buat kamu."
"Sini, biar Zahra bawa." Zahra hendak mengambil koper dari Gus Fajri, tapi pria itu menolak.
"Nggak perlu, Ra. A'a bisa sendiri, kamu nggak boleh bawa yang berat-berat."
Gus Fajri menggenggam tangan Zahra. Ia kemudian berjongkok, kemudian mencium perut Zahra lalu mengelusnya.
"Assalamu'alaikum, Anak Abbah. Abbah kangen sama kamu, sudah lama Abbah nggak jenguk kamu. Sabar, ya? Nanti Abbah pasti bakal jenguk. Kamu sehat-sehat di sana, sebentar lagi kita akan bertemu.
Tanpa disadari, kedua netra Zahra berembun. Ada perasaan terharu dan bahagia karena Gus Fajri sudah pulang, tapi di sisi lain hatinya merasakan sakit saat teringat Gus Fajri memeluk perempuan lain. Ingin sekali Zahra bercerita, menumpahkan tangisnya, dan memberi tahu yang sebenarnya, tapi lidahnya terasa begitu kelu.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Novela JuvenilSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...