56. Cinta Yang Lillahita'ala

38 7 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم




***

Hari demi hari berjalan begitu cepat, hingga tidak terasa sudah empat bulan usia kandungan Zahra. Setelah berbulan-bulan kehilangan selera makan, kini tubuh bumil itu kembali berisi.

"Ra, bagaimana kalau besok kita jalan-jalan ke pantai bareng suami kita? Mumpung suami kita lagi libur mengajar," ajak Keisha lewat panggilan telpon.

"Boleh. Nanti aku tanya sama Gus Fajri, dia pasti mau kayaknya. Tapi memangnya kamu nggak apa-apa? Kamu sudah hamil enam bulan, Kei. Aku takut terjadi apa-apa sama kamu."

Terdengar kekehan kecil di seberang sana. "Sudah, santai saja. Nggak apa-apa, kok. Tiba-tiba ngidam pengen liburan ke pantai, hihi."

"Ya, sudah. Nanti kalau Gus Fajri setuju, aku bakal ngasih tahu kamu. Besok, kan?"

"Iya, In Syaa Allah besok. Aku tunggu infonya, sehat-sehat selalu, Bumil!" ucap Keisha dengan semangat.

"Sehat-sehat juga, Bumil," balas Zahra diakhiri dengan salam. Lalu kemudian mengakhiri panggilan telpon.

Zahra men-scroll chatan panjangnya dengan Keisha. Gadis itu mengulas senyum tipis, mengingat ia dan sahabatnya itu akan sama-sama menjadi seorang ibu. Meskipun sudah menikah, komunikasi dan silaturahmi mereka tetap terjalin dengan sangat baik, walaupun tidak pinjam duit seratus.

"Assalamu'alaikum." di tengah keasyikannya chattingan dengan Keisha, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu rumahnya dan mengucapkan salam.

"Wa'alaikumussalam." Zahra beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu.

Ceklek!

Setelah pintu terbuka, ternyata Ustadzah Shafa yang datang. Gadis yang mengenakan jilbab segitiga itu tersenyum ramah dengan tangan yang membawa sebuah wadah kecil.

"Ustadzah Shafa? Ada apa, Ustadzah?" tanya Zahra.

"Ini, Ning, saya punya sedikit makanan untuk sampeyan dan Gus Fajri. Jangan lupa nanti dimakan. Semoga kalian suka." Ustadzah Shafa memberikan wadah itu dengan senyum yang lebar. Dengan senang hati, Zahra menerima pemberian dari gadis itu.

"Alhamdulilah. Terima kasih, Ustadzah. Jadi merepotkan."

"Tidak merepotkan sama sekali. Saya hanya ingin berbagi-bagi. Kita kan adalah tetangga, nggak enak kalau saya cuma makan itu sendirian tanpa berbagi dengan kalian," jelas Ustadzah Shafa.

Zahra tersenyum kecil dan mempersilakan Ustadzah Shafa untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia langsung mendudukkan bokongnya di atas sofa dan menatap ke setiap sudut-sudut rumah. Bangunannya terkesan lumayan mewah membuat Ustadzah Shafa berdecak kagum. Juga kebersihan rumah ini membuat terasa nyaman untuk dinikmati dan dipandang.

"Wah, rumah sampeyan bagus."

"Ustadzah Shafa ada-ada saja. Ngomong-ngomong, Njengan sudah makan siang?"

"Belum sebenarnya. Padahal sudah lapar, ini," jawab Ustadzah Shafa cengengesan.

"Ya, sudah, kalau begitu kita makan dulu. Saya baru selesai masak kari ayam."

"Nggak perlu. Saya baru saja selesai masak, Ning."

"Sudah, nggak apa-apa. Kan kata Ustadzah tadi, dengan tetangga kita itu harus saling memberi. Mari Ustazah."

Zahra menarik mempersilahkan Ustadzah Shafa. Entahlah, perasaannya seperti dibuat campur aduk. Dari belakang, ia menatap Zahra dengan intens.

"Setega itukah jika aku ingin menghancurkan hubungan Ning Zahra dan Gus Fajri?" batin Ustadzah Shafa.

HIJRAHKU [TAHAP REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang