بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
Setelah selesai melaksanakan shalat Maghrib, Gus Fajri melipat sajadahnya dan meletakkannya di tempat semula. Pria itu sedikit khawatir dengan keadaan Zahra. Sejak siang tadi, Zahra hanya memakan beberapa suap nasi.
Gus Fajri naik ke atas kasur secara perlahan, ia menghampiri Zahra yang sedang memejamkan mata sambil memegang perutnya.
"Masih sakit, hm?" tanya Gus Fajri lirih yang hanya dibalas dengan anggukan kepala oleh Zahra.
Beberapa saat Gus Fajri terdiam sambil memandang teduh wajah Zahra. Gus Fajri mengusap rambut wanita itu secara lembut sambil membacakan sholawat dengan lirih.
Gus Fajri teringat, saat Ning Miftah juga mengalami hal yang sama seperti Zahra saat menstruasi. Saat itu, memang tidak sedikit perempuan yang mengalami kram perut ringan, sakit kepala, dan keluhan psikologis, seperti perubahan mood, merasa cemas, gelisah, hingga mudah emosi.
"Kamu nggak mau makan?"
"Nggak." Zahra menjawab dengan lirih sambil terus memejamkan mata.
Gus Fajri menghela nafas pelan. Ia lalu merebahkan tubuhnya di samping Zahra dengan posisi menghadap wanita halalnya itu.
Peluk?
Ide itu seketika terlintas di benak Gus Fajri. Apa mungkin dengan cara memeluk bisa meredakan rasa nyeri pada perut Zahra?
"Ya Allah, hamba takut." batinnya dengan perasaan tidak karuan.
Dengan hati-hati seraya mengumpulkan keberanian, Gus Fajri memeluk Zahra dari belakang dan mengelus lembut perut wanita itu. Sontak Zahra membuka matanya saat merasakan kehangatan yang menjalar pada tubuhnya. Ia menatap tangan kekar yang sedang memberikan elusan di perutnya.
"Maaf, A'a tidak tahu obat apa yang bisa meredakan nyeri haid kamu, jadi A'a pakai cara ini saja. Nggak apa kan?" tanya Gus Fajri setengah hati-hati, karena takut Zahra akan marah.
Jantung keduanya berdebar dengan hebat. Zahra merasakan sebuah kehangatan saat tangan Gus Fajri itu mengelus perutnya. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, rasanya ia benar-benar merasa malu, tapi juga merasa nyaman.
"Boleh kan, A'a melakukannya? Kalau kamu nggak mau, ya, sudah, A'a nggak akan teruskan." baru saja Gus Fajri ingin menjauhkan tangannya, Zahra langsung menahannya.
"Ja-jangan. A'a coba saja, siapa tahu nyerinya berkurang," ucap Zahra terbata-bata.
Gus Fajri tersenyum manis. Ia mengangguk semangat dan semakin mempererat pelukannya, serta kembali mengelus perut Zahra.
"Sehat-sehat, Zaujati. Ana uhibbuki," bisik Gus Fajri di sela-sela kegiatannya. Diam-diam Zahra tersenyum di dalam hati. Walaupun dengan cara sederhana seperti itu. Namun, terasa nyaman.
***
"Sudah mendingan?" tanya Gus Fajri mengulas senyuman manis.
Zahra mengangguk kecil. Ia merasa malu mengingat kejadian kemarin malam. Padahal sekedar pelukan dan elusan biasa, kenapa salah tingkahnya bisa sampai selama ini?
"Alhamdulillah, sudah. Biasanya Zahra memang kayak gitu, A'. Nyeri haidnya cuma satu hari. Beberapa hari ke depannya kadang sakit, sih. Tapi nggak sesakit seperti hari pertama," jelas Zahra.
Gus Fajri kembali tersenyum, ia menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Zahra, mengelus pipi Zahra, dan menatap dengan intens.
"A'a nggak tega lihat kamu kesakitan seperti tadi malam," lirih Gus Fajri membuat Zahra tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
أدب المراهقينSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...