بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
"Ayok, A', cepat!" Zahra berkacak pinggang, menunggu Gus Fajri yang sedari tadi belum keluar dari kamar.
"Sabar, Ra. A'a baru saja selesai siap-siap." Gus Fajri keluar dari kamar sambil merapikan pecinya.
"A', kita cuma mau bagi-bagi saja. Kenapa A'a malah serapi ini?" Zahra menatap jengkel ke arah suaminya dari atas sampai bawah. Memang benar, pria itu kali ini terlihat rapi dengan mengenakan sarung serta baju merah berlengan pendek.
"Ya Allah, Ra. Kan A'a memang sering memakai pakaian yang seperti ini."
Zahra mengangguk sambil mengerucutkan bibir membuat Gus Fajri gemas melihatnya.
"Biar A'a yang bawa plastik ini. Kamu nggak boleh mengangkat yang berat-berat." Gus Fajri mengambil dan membawa plastik yang sudah diisi dengan beberapa bungkus makanan untuk dibagi-bagikan kepada tetangga mereka dan orang-orang yang membutuhkan.
"Bismillah, tawakkaltu'alallah. Baca do'a dulu. Perbaiki niat kita juga, agar saat berbagi seperti ini hati kita tidak merasa sombong dan riya. Karena ini semua adalah milik Allah, harta yang kita punya itu ada sedikit bagian untuk orang-orang fakir miskin," pesan Gus Fajri. Zahra mengangguk semangat dan tersenyum.
"Masya Allah, ternyata begini rasanya punya suami yang paham agama." batinnya.
Pasutri tersebut mulai membagikan makanan tersebut ke setiap rumah. Selain berbagi, Gus Fajri dan Zahra juga berniat untuk menyambung tali silaturahmi.
Di tengah-tengah kesibukan mereka, seorang wanita paruh baya yang tidak dikenal tiba-tiba saja memanggil Gus Fajri.
"Gus, kamu Gus Fajri kan?"
Zahra dan Gus Fajri saling tatap dengan perasaan bingung.
"Iya, saya sendiri. Maaf, saya tidak mengenali Ibu. Ibu siapa, ya?" tanya Gus Fajri sedikit canggung, karena wanita yang berdiri tepat di hadapannya saat ini menatapnya seolah-olah sudah sangat-sangat mengenalinya.
"Aduh, masa kamu tidak kenal dengan Ibu? Ibu ini, ibunya Shafa."
Gus Fajri semakin dibuat bingung, begitu pula dengan Zahra.
"Shafa?"
"Iya, Shafa. Kamu benar Gus Fajri kan? Anak pemilik pondok pesantren Darussalam itu? Wah, tidak apa-apa kalau kamu tidak mengenal Ibu. Perkenalkan, nama Ibu, Dera."
Wanita paruh baya yang diketahui bernama Dera itu tersenyum lebar.
"Ibu Dera ini, Ibunya Ustadzah Shafa?" seperkian detik kemudian, Gus Fajri pun akhirnya paham.
"Iya, betul sekali. Ibu senang sekali bisa bertemu denganmu, Gus. Shafa sering menceritakan tentang kamu kepada Ibu, dia bilang dia benar-benar mengagumi kamu dan cinta sama kamu. Ibu harap, kalian berdua bisa mengambil langkah yang serius lagi, Ibu benar-benar menanti hal itu, karena katanya kalian berdua sudah saling mencintai."
Degh!
Bagai disambar petir di siang bolong. Alis Zahra bertautan setelah mendengarnya, sekuat tenaga ia mencoba menahan air matanya agar tidak keluar. Ternyata selama ini, Ustadzah Shafa menyimpan perasaan kepada suaminya?
"Jangan pada bingung. Iya, beberapa hari yang lalu, saya pindah ke sini. Bosan sewa kos terus. Dan rumah kita persis bersebelahan, saya harap kita bisa bertetangga dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Novela JuvenilSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...