بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju ke majelis. Sensasi hangat begitu terasa di dada. Tanpa sengaja, Zahra melihat Gus Fajri yang sedang meliriknya diam-diam di kaca spion, ia tersenyum malu-malu di balik niqabnya. Zahra menggigit bibir bawah, menahan senyum yang sedari tadi ingin terbit.
Lagi dan lagi, netra Gus Fajri dan Zahra kembali bertemu secara bersamaan. Zahra langsung memalingkan wajah, rasanya ia tidak bisa menahan salah tingkahnya saat melihat senyum manis Gus Fajri.
"Kalau mau senyum, senyum saja. Nggak usah ditahan begitu," ucap Gus Fajri.
"Mana ada," elak Zahra.
"Masa, sih?" Gus Fajri tersenyum kecil.
***
"Maaf, kamu Zahra, ya?"
Seorang wanita tiba-tiba memegang bahu Zahra saat wanita itu sedang asyik mendengarkan lantunan sholawat. Zahra pun menoleh ke arah sumber suara, sepertinya ia mengenali wanita itu.
"Ustadzah Shafa?" tanya Zahra.
"Kamu, Zahra kan?"
Zahra hanya tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
"Wah, saya tidak menyangka kita bertemu di sini. Sendirian saja?" tanya Ustadzah Shafa basa-basi.
"Laa, Ustadzah. Zahra dengan suami."
Ustadzah Shafa terdiam sejenak, matanya menatap Zahra dengan tatapan sulit diartikan. Seolah-olah ada yang sedang dipikirkannya.
"Begitu, kirain sendiri. Ngomong-ngomong, kapan Gus Fajri kembali masuk mengajar?"
"In Syaa Allah besok, Ustadzah," jawab Zahra tersenyum simpul.
"A'a?" kaget Zahra saat melihat Gus Fajri tengah berdiri tegak menyapa para jama'ah sambil berdiri untuk menyampaikan tausyiah.
"Kamu nggak tahu, kalau suami kamu yang mengisi ceramah di sini?"
Zahra menanggapi pertanyaan Ustadzah Shafa hanya dengan tersenyum tipis dan menggeleng pelan. Kemudian, ia kembali menatap ke depan, meski ia tidak dapat melihat jelas wajah suaminya.
Gus Fajri itu membuka tausyiah dengan mengucap salam dan hamdalah, dilanjutkan dengan membaca sholawat. Hari ini Gus Fajri terlihat sangat tampan. Auranya terlihat begitu nyaman dan sejuk dipandang, membuat Zahra tiada henti-hentinya berdecak kagum dan memuji makhluk ciptaan Allah itu.
"Seorang sayyid yang bernama Sayyid Munazir Alaydrus, beliau pernah berkata, salah satu hal yang membuat kita lebih kuat setiap kali rapuh adalah mengetahui, bahwa kehidupan ini akan berlalu semestinya, apapun yang terjadi. Maka dari itu, bahagia bukan berarti kita tidak pernah menangis. Bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita bisa hidup bersama takdir-takdir baik atau buruk dalam keadaan memuji Allah, berterima kasih kepada-Nya, dan selalu tersenyum menerima qadarullah dari-Nya. Terkadang Allah hadirkan gelap dalam kehidupan kita, agar kita bisa melihat cahaya-Nya dengan jelas."
"Berusahalah untuk menjadi baik karena Allah. Kalau kita mengikuti standar manusia, sebaik apapun diri kita pasti akan ada yang mencela. Allah tidak pernah jahat kepada kita, Allah membiarkan kita terluka, agar kita tahu betapa sakitnya ketika kita berharap kepada selain-Nya dan tidak akan ada kecewa bagi siapapun yang menjadikan Allah sebagai cinta pertamanya dan prioritas-Nya. Ketahuilah, ketika kita berhenti mengejar apa yang bukan menjadi takdir kita. Maka in Syaa Allah, Allah akan mempertemukan dan memberikan apa yang terbaik untuk kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Fiksi RemajaSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...