بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
Zahra memeluk Umi Sarah saat mendengar cerita tentang kejadian tiga tahun lalu. "Maafin Zahra, Bu Nyai. Zahra nggak ada di samping Bu Nyai saat mengalami musibah. Padahal waktu Zahra merasa sendiri, Bu Nyai selalu ada untuk Zahra."
Umi Sarah tersenyum, tangannya mengelus kepala Zahra yang ada dipelukannya. "Nggak usah minta maaf Nduk, semuanya sudah berlalu. Kejadian masa lalu bukan untuk dikenang, tapi untuk di jadikan pelajaran. Sekarang kamu istirahat dikamar tamu, pasti kamu sangat lelahkan?"
Zahra melepaskan pelukannya, lalu menghapus air matanya.
"Fajri, antar Zahra ke kamar tamu." perintah Umi Sarah.
Gus Fajri tersadar dari lamunannya, saat mendengar namanya disebut Umi Sarah. Entah apa yang dia pikirkan sedari tadi, ia hanya menyimak dan tersenyum tidak jelas. "Mari, saya antar ke kamar tamu."
"Nggak usah Gus, cukup tunjukan saja, dimana kamar tamu nya."
Gus Fajri menghela nafas, lalu menunjukkan kamar tamu yang ada dirumahnya.
Umi Sarah yang melihat raut kecewa putranya, sontak terkekeh kecil.
"Bu Nyai, Zahra istirahat dulu ya?"
"Silahkan Nduk, istirahat sana, pasti kamu sangat lelah."
Zahra kemudian pamit undur diri dari hadapan Umi Sarah dan Gus Fajri.
"Umi." panggil Gus Fajri.
Umi Sarah yang ingin berdiri dari duduknya menatap putranya heran. "Ada apa, toh Le?"
"Hehehe, Zahra masih sendiri nggak ya?" ujar Gus Fajri.
"Mana Umi tahu, coba tanya sendiri." suruh Umi Sarah melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
"Bantuin dong."
"Bantuin apa?"
"Tanyakan, apa dia masih sendiri atau sudah punya suami ataukah sudah punya tunangan,"
"Zahra baru datang Le, biarkan dia istirahat dulu."
Setelah mengatakan itu, Umi Sarah berjalan ke arah dapur, sedangkan Gus Fajri mengikutinya dari belakang. "Umi, sudah tiga tahun loh, Fajri menunggu."
Umi Sarah meletakkan belanjaannya. "Bagaimana kalau Zahra sudah punya calon?"
"Iss, Umi coba dulu."
"Iya-iya nanti Umi tany—"
"Pada ngomongin apaan?" potong Ning Miftah yang tiba-tiba datang.
"Nah, bagaimana kalau Miftah saja yang bantuin kamu Le." usul Umi Sarah.
"Nggak, jangan Miftah, tiga tahun yang lalu Miftah gagal, Fajri tidak mau kalau sampai gagal lagi."
Umi Sarah terkekeh melihat putranya seperti anak kecil menghentak-hentakan kakinya kelantai.
"Bantuin apaan sih?" tanya Ning Miftah.
"Bantuin tuh, Abang kamu untuk dekat sama Zahra."
"Memang Abang masih cinta sama Kak Zahra?" tanya Ning Miftah.
"Mending Umi saja deh, Fajri nggak mau kalau Miftah yang bantuin. Miftah kan sibuk jagain Ayesha, jadi Umi aja yan—" perkataan Gus Fajri terpotong.
"Ternyata kalian pada ngumpul disini, sedari tadi Abi ngucapin salam tapi nggak ada yang jawab, tau-taunya pada disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Novela JuvenilSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...