بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
"Astaghfirullahal 'adzim, A'a. Sana jauh-jauh, Zahra udah wudhu."
Perlahan Zahra memundurkan langkahnya saat Gus Fajri berjalan mendekatinya. Tubuh wanita itu sudah mentok ke dinding, sedangkan suaminya saat ini sedang tertawa sambil terus mendekat.
"A'a, nyebelin banget, sih," gerutu Zahra. Sedangkan Gus Fajri terkekeh dan mengurung kekasih halalnya dengan kedua tangan, sehingga membuat Zahra tidak dapat kabur.
Keduanya saling bertatapan selama beberapa menit. Wajah mereka sangat dekat, sehingga Gus Fajri mampu mendengar suara detak jantung Zahra yang berdetak tidak beraturan.
"Ana uhibbuki fillah, Habibati," bisik Gus Fajri lembut tepat di telinga Zahra. Sontak Zahra mendorong Gus Fajri agar pria itu menjauh darinya.
"Baper, ya?" Gus Fajri terkekeh kecil.
"Apa, sih, A'? Mending kita shalat berjama'ah, sudah telat, loh, ini." ujar Zahra mengalihkan pembicaraan agar Gus Fajri tidak menggodanya lagi. Entahlah, rasanya kali ini ia benar-benar dibuat salting.
"Anti jamilatun jiddan." puji Gus Fajri saat melihat Zahra yang sudah mengenakan mukena.
"Gombal." balas Zahra dengan kekehan kecil. Andai saja ia tidak sudah berwudhu, sudah pasti ia akan mencubit Gus Fajri saat ini.
"Fakta, Sayang."
Zahra tertawa lirih sambil geleng-geleng kepala.
"Ya, sudah. Sekarang kita shalat."
***
"Kak, Zahra." panggil Ning Miftah yang datang bersama Keisha.
"Nggih, kenapa Ning?" tanya Zahra
"Masa panggil Ning sih? Kan sudah jadi ipar, panggil Miftah saja." protes Ning Miftah.
"Iya-iya, Miftah." pasrah Zahra.
Ning Miftah lalu mengajak Zahra untuk pergi ke halaman belakang Pesantren. Mereka berdua kemudian duduk di bangku kosong, yang berada di sana.
"Kak, Kakak tahu, kan, seorang istri memiliki kewajiban untuk menunaikan hak suaminya?" Zahra terdiam sejenak dan menoleh pada Ning Miftah. Ia mengangguk pelan dengan perasaan tidak menentu.
"Tahu kok, kenapa?"
"Maa Syaa Allah, anak shalihah. Berarti Kakak tahu kan apa yang harus Kakak lakukan sekarang sebagai seorang istri?"
Zahra tersenyum. "Tau, Miftah. Ta'at kepada suami dan membahagiakannya kan?"
"Selain itu?"
"Selain itu? Emangnya ada? Hem, mencintainya?"
Ning Miftah terkekeh sambil mencubit pipi Zahra. "Mencintai pasangan itu memang sudah menjadi kewajiban, Kak. Tapi, selain itu?"
Zahra terdiam sambil memikirkan sesuatu.
"Nafkah batin." sahut Ning Miftah saat Zahra tidak kunjung memberikan jawaban.
"Untuk masalah nafkah batin..." sejenak Zahra berpikir dan melirik Ning Miftah sekilas. Wanita beranak satu itu terlihat penasaran dengan ucapan Zahra yang menggantung.
"Untuk masalah itu, Zahra akan kasih kalau Gus Fajri minta," lanjutnya terdengar sedikit enteng. Tentu saja Ning Miftah dan Keisha kaget.
"Bukan begitu, Ra. Kamu tahu sendiri, kan, Gus Fajri itu orangnya pendiam? Dia tidak mungkin meminta hal itu jika bukan kamu yang lebih dulu bertanya padanya," jelas Keisha membuat Zahra melongo.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Ficção AdolescenteSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...