بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
"Ya Allah, pengantin baru. Kok, lama banget?" ujar Ning Miftah tiba-tiba masuk ke dalam kamar, tanpa mengetuk pintu.
Gus Fajri dan Zahra langsung merubah posisi. Ning Miftah, mulut wanita itu terperangah.
"Aduh, maaf. Nggak sengaja. Astaghfirullahal 'adzim, ya Allah. Mata Miftah ternodai," pekiknya. Kemudian, ia melirik mereka berdua sekilas. Lalu, tersenyum jahil.
"Cieee, aduh. Mendadak aku jadi baper begini." ucapnya sedikit konyol.
"Jadi inget masa-masa aku baru nikah dulu, di mana saat akhem, malam pertamanya masih malu-malu. Tapi saat malam kedua, ketiganya, dan seterusnya sudah nggak malu lagi. Dan sekarang, nggak kerasa aku sudah punya anak saja," lanjutnya berbicara sendiri.
"Miftah, lain kali kalau mau masuk, ketuk pintu dulu," tegur Gus Fajri.
"Hehe, Afwan, Bang. Tadi nggak sengaja langsung buka. Kirain kalian nggak ngapa-ngapain, eh, ternyata..." Ning Miftah langsung senyam-senyum sendiri.
"Oh iya, buruan gih. Dipanggil Abi sama Umi buat sarapan pagi," ajaknya. Ning Miftah keluar dari kamar. Zahra menghembuskan nafas perlahan dan menatap Gus Fajri.
"Kenapa liatin A'a, hm?" ujarnya.
"Ayo, keluar. Kasian mereka sudah pada nungguin kita," ajak Zahra. Gus Fajri mengangguk, lalu menggenggam tangan Zahra. Zahra menatapnya dan dia juga ikut menatap kembali.
Sejenak mereka berdua saling berpandangan, Zahra langsung memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Jantungnya sudah tidak bisa diajak kompromi sejak tadi. Keduanya turun ke bawah menuju meja makan dengan tangan yang saling berpegangan. Sebenarnya Zahra malu, tapi mau tidak mau, ya, harus mau.
Sesampainya di meja makan, semua orang saling melemparkan senyum. Begitu juga dengan Ning Miftah.
"Miftah, kuharap kau tidak bilang ke semua orang tentang kejadian barusan." batin Zahra.
"Masya Allah, pengantin baru, romantisnya. Ayok duduk, duduk." seru Ning Miftah menarik dua buah kursi untuk Zahra dan Gus Fajri duduki.
Zahra dan Gus Fajri saling mengangguk, lalu duduk di kursi yang masih kosong.
"Miftah, suami kamu di mana?" tanya Umi Sarah.
"Ah, itu dia orangnya." ucap Ning Miftah saat melihat Gus Ilham.
"Ngomong-ngomong, Fajri. Kalian berdua berencana mau punya anak berapa?" tanya Kyai Rahman, membuat Zahra tersedak air minum.
"Lima belas anak sepertinya cukup deh, Bi," jawab Gus Fajri sontak mata Zahra membulat dengan sempurna.
Semua orang yang ada di meja makan, tertawa mendengar jawaban dari Gus Fajri. Sementara Zahra, hanya tertunduk malu.
"Dasar, Fajri. Memang kamu pikir istrimu itu mesin pembuat anak? Tapi kalau Zahra sanggup, ya, nggak apa-apa." Kyai Rahman terkekeh.
"Tidak, Abi. Fajri hanya bercanda. Fajri tidak mau merepotkan Zahra, kasian nanti dia. Berapapun yang Allah kasih, in syaa Allah kami akan menerimanya, yang penting anak kami lahir dalam keadaan selamat dan menjadi anak yang shalih-shalihah."
"Ra, semua orang sudah pengen kita punya anak," bisik Gus Fajri pada Zahra.
"Terus? Masalahnya kenapa?" tanya Zahra polos.
"Kapan?"
"Apanya yang kapann?"
"Bikinnya," ucapnya sehingga membuat Zahra refleks mencubit pinggang Gus Fajri
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
أدب المراهقينSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...