بسم الله الرحمن الرحيم
•
•
•
•***
"Jangan menangis, Ra."
Gus Fajri menghapus butiran kecil yang jatuh dari kedua pelupuk mata Zahra. Saat ini, mereka sudah berada di bandara. Tepat pukul delapan pagi, pesawat yang akan ditumpangi Gus Fajri sebentar lagi akan lepas landas.
"Nanti kalau Zahra kangen sama A'a, bagaimana?" lirih Zahra dengan suara parau.
"Hei, kan kamu sendiri yang bilang tadi malam. Kita bisa video call, kalau kamu kangen bisa langsung telpon A'a. Sudah, jangan menangis lagi. Kalau tahu begini, A'a nggak jadi ikut." Gus Fajri membawa Zahra ke dalam dekapannya dan mengusap-usap kepalanya.
"Nggak apa-apa, A'a berangkat saja. Paling juga, sebentar lagi menangisnya reda," ucap Zahra.
"Baiklah, kalau begitu berhenti menangis. A'a kan jadi nggak tega ninggalin kamu."
Zahra hanya diam. Rasanya ia masih enggan untuk melepaskan pelukannya.
"Kami kalau menangisnya sudah berhenti, uang jajannya A'a tambah," gurau Gus Fajri.
Zahra terkekeh geli di pelukan suaminya. Setelah itu, ia mulai melonggarkan pelukannya. Kemudian, mengambil celak dari saku gamisnya lalu mengoleskannya ke mata Gus Fajri.
"Pakai celak itu, karena itu salah satu sunnah Rasulullah. Jadi, Zahra izin oleskan celak ini, ya? Semoga semua urusan A'a dimudahkan sama Allah," ujar Zahra dengan tulus.
"Ekhem, uang jajan Zahra jadi ditambah kan?" sambungnya cengengesan.
Gus Fajri mengangguk sambil tersenyum jahil. "Boleh, tapi kamu juga harus janji. Setelah A'a pulang dari Yogyakarta nanti, kita harus sering-sering bikin dede bayi."
"A'a!" pekik Zahra pelan memukul bahu Gus Fajri. Mereka saling tatap-tatapan sejenak, lalu tertawa renyah secara bersamaan.
"Kamu baik-baik sendiri. Kalau tidak ada keperluan, lebih baik jangan keluar rumah."
"Iya, A'. A'a juga hati-hati di sana. Jangan lupa jaga kesehatan, makanannya dijaga, terus matanya juga jangan sampai melirik cewek lain. Awas!" ancam Zahra membuat Gus Fajri terkekeh.
"In Syaa Allah, nggak akan, Ra."
Sesaat mereka saling pandang dan melemparkan senyum. Entah kenapa, Zahra merasa salah tingkah sendiri. Padahal Gus Fajri tidak jarang memandangnya dengan tatapan seperti itu.
Pesawat yang akan ditumpangi Gus Fajri akan segera melakukan penerbangan. Sebelum masuk ke dalam pesawat, pria itu mencium setiap inci wajah Zahra.
"Assalamu'alaikum, Zaujati. A'a pamit, ingat pesan A'a tadi."
Zahra mengangguk dan menggenggam tangan Gus Fajri. "Wa'alaikumussalam, A'. Semangat kerjanya. Jangan rindu!" ucapnya dengan kekehan kecil. Kian detik, langkah Gus Fajri semakin menjauh. Sesaat ia berhenti dan kembali membalikkan badannya menghadap Zahra sambil melambaikan tangan pada gadis itu.
"LDR, ya, Kak?" goda Keisha tiba-tiba dari belakang membuat Zahra sontak terkejut.
"Keisha? Kamu ada di sini?"
"Ya Allah, Ra. Memang kamu pikir, cuma suami kamu saja yang ke Yogyakarta? Suami aku juga ikut kali."
Zahra tertawa. "Cie, ditinggal juga? Kasihan. Tapi, kenapa tadi aku nggak lihat kamu?"
"Iya, soalnya tadi pas pamitan sama Mas Adnan, kami berdua nggak di sini."
Zahra manggut-manggut, mengerti. "Berat banget rasanya, LDR sama suami sendiri? Sudah halal padahal, tapi masih terhalang oleh jarak juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIJRAHKU [TAHAP REVISI]
Fiksi RemajaSepasang mata tidak akan melihat kekurangan jika sebuah hati menetap dengan cinta. Seburuk apapun mata memandang, jika kita memandang dengan cinta tidak akan ada kekurangan dari makhluk tersebut. Cinta karena Allah yakni mencintai hamba Allah karena...