47. Jika sudah saatnya keluar

539 97 33
                                    

"Jadi ... nguping orang itu gak bermoral loh ...," ujar Alura sebelum membalikan badannya dengan wajah datar dan tatapan tajam.

"Yasa Skalar."

Lelaki berparas mirip pangeran dari negeri dongeng itu jadi menyeringai sebelum mengetuk earphone yang dia pakai dan melepasnya, memasukan ke saku jaket denim yang dia pakai.

"Gue pake earphone."

"Tapi gue gak tahu kan, earphone lo awalnya nyala atau nggak?" Tanya Alura menyunggingkan senyum.

Membuat Yasa jadi menyeringai geli sebelum menyugar rambutnya ke belakang.

"Yah, setidaknya ... lo bukan cewek lemah yang naif dan maafin orang yang jahatin lo." Ujar Yasa sebelum memasukan kedua tangan ke saku jaket sambil mengedikan bahu. "Gue udah khawatir kalau Van bakalan pacaran sama cewek nyebelin yang lemah dan gak bisa lawan kalau ditindas. Setidaknya ... sekarang gue tenang setelah lihat sikap asli lo."

"Setelah denger nama panjang lo dari speaker gue jadi sadar. Alura Hawtor? Kayaknya gue pernah ketemu beberapa kali sama bokap lo." Ujar Yasa sambil mengernyit untuk mengingat.

"Oh," balas Alura enteng.

"Kenapa lo sembunyiin identitas asli lo?" Tanya Yasa membuat Alura mengerjap.

"Gue gak pernah sembunyiin identitas gue. Buktinya gue sekolah pake nama belakang yang asli. Gue gak nyembunyiin identintas, kalian aja yang gak tahu." Ujar Alura membuat Yasa tersentak.

Benar juga.

Dia tidak pernah berniat mencari tahu sendiri karena Alura bukan tipe orang yang mengumbar dan pamer. Dia tipe orang yang menjalani hidup sesuai keinginannya tanpa ingin disegani karena punya nama belakang Hawtor.

Artinya sekolah ini yang berada di dalam tempurung.

Siswa di sekolah ini yang tidak update sama sekali.

Tanpa sadar Yasa juga salah satunya.

"Gue ke kelas duluan," pamit Alura melambaikan tangannya membuat Yasa berdehem sambil menatap punggungnya yang menuruni tangga.

"Alura Hawtor," guman Yasa sebelum mendengus pelan.

"Dia lumayan bahaya. Apa Van bakalan gapapa?" Gumam Yasa jadi termenung, mengabaikan Ian yang melompat senang sambil merangkul lehernya.

"Gue udah ngumpulin tugas! Gas cabut! Kantin! Gue traktir! Kapan lagi sultan ditraktir rakyat jelata?" Ajak Ian dengan raut wajah senang sebelum melirik Yasa yang diam.

"Kenapa?"

"Dia itu bukan nyembunyiin sikap asli, tapi lebih ke bersikap gimana orang lain perlakuin dia. Dia bakal lembut dan baik sama orang yang baik sama dia. Tapi dia gak akan bersikap baik sama orang yang jahatin dia." Ujar Yasa mengambil kesimpulan pada sikap Alura setelah menguping tadi.

"Bagus, dong! Artinya dia gak nyebelin, kan?" Tanya Ian membuat Yasa jadi meliriknya.

"Menurut lo gimana kalau Van pacaran sama orang kayak gitu? Terlebih ... gue ngerasa kalau dia itu bahaya." Gumam Yasa, entah kenapa ... mungkin hanya firasat.

"Bagus, dong! Van itu kan fetis bahaya, bukannya si Van bakal tergila-gila sama itu orang?" Tanya Ian tertawa geli membuat Yasa tersentak.

"Lagian ... gue gak tahu 'bahaya' yang dimaksud elo itu dia dalam bahaya atau mungkin emang hidupnya penuh bahaya, cuman yang manapun Van pasti bisa ngatasinnya. Percaya aja sama ketua kita yang pms setiap hari itu." Sahut Ian sambil tertawa pelan membuat Yasa tertegun sambil menatapnya.

Jika Kamu Mati BesokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang