“Ibu, gimana rasanya ciuman pertama?”
Deandra sontak tersedak sebelum menyimpan gelasnya kembali ke atas meja, “duh, mentang-mentang besok mau masuk SMA, udah berani nanya gitu ya?”“Kenapa? Ibu malu ya, jawabnya?” tuding Alura sebelum memperbaiki kacamatanya, “Ayah juga aku tanyain pertanyaan yang sama kok.”
Deandra sontak membelalak, “dia jawab apa?”
“Katanya ciuman pertama Ayah itu Ibu, tapi Ayah gak jelasin rasanya gimana, dia keburu kabur, katanya tanyain ibu aja.”
Deandra mengulum senyum dengan netra menatap sendu, “ciuman pertama? Rasanya deg-degan, jantung ibu mau meledak waktu itu, ibu juga gak bisa lupa rasanya.”
Netra Alura menatap sendu pada rintik hujan yang mengguyur kaca Cafe di depannya. Kepalanya di letakan di atas meja, pipinya yang memerah menempel pada meja dengan kepalanya yang tidak berhenti mengulang adegan wajah Van yang mendekat dan bibir mereka yang bersentuhan.
Jantung Alura tidak dapat diam, berdegup kencang dengan wajah memanas sebelum telunjuknya menyentuh permukaan bibirnya sendiri.
Ciuman pertamanya.
Van mencurinya.
Van mencium Alura tepat di bibir.
Pikiran Alura terus terpaku pada kalimat itu, dia bahkan menyerukan wajahnya ke meja Cafe, membelakangi Van yang duduk di sebelahnya dalam sofa yang sama.
Setelah Van menciumnya, baru Alura terlihat mulai sadar akan keberadaan Van, berniat mengajaknya langsung pulang namun hujan malah turun begitu deras, maka dari itu mereka duduk di dalam Cafe, berteduh dari hujan sedangkan Alura sedang berteduh dari badai yang memporak-porandakan hatinya.
Siapa lagi jika bukan Van.
Van meneguk Americano dari gelasnya langsung sebelum melirik puncak kepala Alura di sampingnya. Sedari awal masuk Cafe, Alura sudah seperti itu. Van jadi khawatir bahwa Alura masih gusar dan ketakutan setelah melihat kilasan kematian di Festival tadi. Mungkin sekarang kilasan itu sedang terus diputar berulang dalam benak Alura.
Van jadi mendesah kasar sebelum menyangga keningnya dengan tangan, sikunya menempel pada meja, tubuhnya menghadap sembilan puluh derajat pada Alura.
Tangannya yang lain jadi bergerak, menyentuh ujung rambut panjang Alura yang terurai di meja sebelum memainkannya dengan wajah memerah dan netra menyendu. Apa Van egois saat ini? Saat Alura tengah ketakutan dengan kilasan kematian yang dia lihat, Van malah memikirkan rasa bibir Alura yang masih terasa di bibirnya.
Bagaimana ini? Sepertinya Van mulai gila.
Van jadi mendesah kasar, ciuman itu dia lakukan agar perhatian Alura teralihkan dari kematian yang menakutkan dan itu sangat berhasil sekarang, meskipun Van tidak mengetahuinya.
“Alura.” Panggil Van serak, jarinya tidak berhenti memainkan ujung rambut Alura.
“Hm?”
“Lo masih takut?” tanya Van namun Alura tidak menjawab.
Alura masih tidak dapat berkata-kata, terlebih dia malu sekali jika harus berhadapan muka dengan Van sekarang. Netra Alura membelalak sebelum wajahnya semakin memerah tatkala Van mengusap kepalanya dengan lembut.
“Jangan takut, Alura. Ada gue.”
Aaaaahhhrrgg!! Alura menjerit gemas dalam hati sebelum pingsan dibuat-buat. Serangan Van terlalu berbahaya bagi jantungnya yang sedari tadi ingin meledak. Apalagi Van terus membelai rambut panjang Alura dengan sayang, hati Alura menghangat dengan perlakuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Kamu Mati Besok
Genç KurguBagaimana jika kalian harus meminum jus katak? Atau mendengar suara tangisan semut semalaman? Atau keliling dunia untuk mencari permen rasa kebahagiaan dan kesedihan? Terdengar mustahil bukan? Namun semustahil apapun, Van dan Alura akan melakukannya...