66. (Maka) akan terlihat sebuah keajaiban (2)

198 35 8
                                    

Semua kata-kata yang dia pikirkan meleleh di tenggorokan ketika tempat yang berada di luar pintu itu memantul di netra hitam legamnya.

Ladang Aster setinggi betisnya bergoyang di jilat angin. Ladang itu tiada ujungnya, Van hanya menatap putih di bawah naungan langit biru.

"Nak Alura menyukai bunga apa?" tanya sang Nenek yang melangkah keluar diikuti Van.

"Bunga apa aja, asal saya yang kasih." Jawab Van mengacak rambut belakangnya dengan pipi memerah.

Padahal dia hanya tidak tahu saja jenis bunga kesukaan Alura apa.

Dan lagi, kenapa nenek tua itu bertanya tatkala hanya ada satu jenis bunga disini?

"Jika berjalan ke ujung bukit, kamu akan bisa menemukan bunga yang lain." Sahut Nenek seolah mengetahui yang Van pikirkan.

Laki-laki dengan bekas luka di mata kirinya jadi mengernyit, menatap meremehkan sebelum berjalan membelah ladang Aster itu sampai langkahnya terhenti tepat di ujung lereng bukit.

Lereng bukit itu tidak terlalu tinggi, rumput pendek yang ditumbuhi berbagai macam jenis bunga termasuk aster yang lebih pendek.

Ujung helai rambut Van tertiup angin bersamaan biji dandelion yang berterbangan di sapa angin sampai mencium langit sebiru lautan di atasnya.

Nenek itu mengerjap pelan menatap punggung tegap dengan kepala Van yang mendongkak menatap langit dengan tatapan sendu bersamaan dengan semilir angin yang menerbangkan rumput, bunga, ujung seragam dan helai rambut Van secara bersamaan.

Bibir Nenek itu bergetar dengan hati yang terada di remas sebelum memutuskan meninggalkan Van sendirian.

"Ternyata melupakan masa lalu itu sulit bukan, nak? Siapa sangka langit secantik itu menyimpan luka semengerikan itu." Gumam sang Nenek dengan bibir bergetar.

Netra Van mengerjap pelan sebelum berdecak pelan, mengusap sebelah netranya sendiri sebelum menunduk, seharusnya dia tidak banyak memikirkan hal jika melihat langit.

Dan lagi,

Van jadi mengacak rambutnya sendiri sambil menatap bunga di sekitarnya. Jujur sekujur tubuhnya merinding dikelilingi oleh banyak bunga seperti ini.

Van tidak terlalu suka!

Tapi lagi-lagi demi Alura, dia selalu melakukan hal yang tidak biasa dia lakukan.

Van jadi tersenyum miring sebelum memasukan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menuruni bukit itu.

*

Cahaya matahari menerobos masuk lewat celah-celah dedaunan pohon, menjilat kulit putihnya yang bersinar.

Pipinya dia simpan di lengan yang dilipat di atas kusen jendela, menatap tembok merah tinggi yang membenteng rumahnya dari luar dengan tatapan sendu.

"Ada tamu."

Alura menoleh mendapati Nenek Lani berdiri di luar pintunya yang terbuka membuat Alura berdecak, beranjak malas.

Dia sedang tidak ingin bertemu siapapun.

"Jangan mengobrol di rumah, ke teras rumah Nenek Sani saja." Titah Nenek Lani membuat kening Alura mengernyit.

"Suasananya akan ramai, dan ini waktu tidur siang. Nenek tidak mau ada suara bising di rumah."

Alura sontak menipiskan bibir saat sikap rewel dan menyebalkan Neneknya muncul.

Tidak banyak kata, Alura mengenakan kacamatanya, rambutnya kusut dan dia hanya memakai dress floral putih selutut.

"HAI, LUR!"

Jika Kamu Mati BesokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang