"Tengah malam kamu baru pulang? Kalau Ayah sama Kakak kamu gak ada, kamu pasti gak pulang, kan? Kamu lupa punya rumah?" Sapaan hangat nan penun kasih sayang itu dilontarkan Sadi yang tengah duduk di sofa single dengan kopi yang sudah habis setengah, dan tv menyala untuk menemaninya menunggu anak bungsunya pulang.
Tidak lupa anak sulungnya, Andre yang tadinya menemani mengobrol tentang pekerjaan malah ketiduran di sofa sambil memeluk toples camilan.
"Bukannya Ayah sama bang Andre emang jarang pulang?" Tanya Van malas sambil membuang arah pandangnya, masih berdiri di depan pintu depan karena kakinya jadi kaku untuk beranjak masuk lebih dalam.
"Kamu udah dewasa Van, kelas dua belas SMA. Mau sampai kapan kekanakan?" Tanya Sadi menatap tajam dengan gurat wajah lelah.
"Coba turutin jejak bang Andre, jangan neko-neko pas SMA. Ini sok-sok'an jadi ketuga geng segala macem. Ribet ya, anak jaman sekarang." Cibir perempuan berpiyama biru dengan rambut jambrik sebahunya khas bangun tidur, melewati ruang tengah untuk ke pantry.
"Lo pulang juga?"
"Kenapa? Gak suka?" Sewot Tamara membuat Van berdehem mengiyakan.
Berbeda dengan Andre yang dua puluh empat tahun masih jomblo dan kerja, Tamara dua puluh tiga tahun sudah menikah dan punya satu anak lelaki.
Van jadi berdecak pelan, kesal sendiri kenapa Ayah dan kedua kakanya berada di rumah, padahal biasanya mereka jarang pulang. Apalagi Tamara yang memang tidak tinggal di rumah besar ini lagi.
"Cepet mandi, makan terus tidur." Titah Tamara melihat Van masih bergeming di tempat.
"Gue nginep rumah Ian, deh." Ujar Van akhirnya.
"VAN! MAU SAMPAI KAPAN KERAS KEPALA?" Teriak Ayahnya melotot dengan urat-urat muncul di lehernya, tidak lupa wajahnya mengeras dengan napas memburu.
Sontak Andre langsung terbangun duduk saking kerasnya suara Sadi.
"Terus Ayah mau sampai kapan egois gak cari Ibu?" Tanya Van membuat Tamara dan Andre yang langsung sadar sontak menegur.
"Van! Jaga omongan lo sama Ayah!"
"Oy, sat! Bukannya gue udah dibilang gak usah dibahas?!"
Teriak Tamara dan Andre bersamaan dengan nada keras membuat Van mengepalkan tangannya dengan napas memburu dan wajah memerah sebelum berbalik pergi sambil membanting pintu.
Sadi berdecak sebelum mengurut keningnya pelan.
"Si anj---, woy! Kakak lo belum selesai ngomong!" Umpat Andre sudah bangun sepenuhnya.
"Ayah, mending Ayah istirahat aja. Paling Van ke rumah si Ian, nanti aku yang nanyain ke Ibunya Ian. Ayah pulang dinas luar kota harusnya istirahat, gak usah nunggu Van pulang. Dia bakalan tetep bersikap begitu, kalau Ayahnya tetep begitu juga." Ujar Tamar penuh maksud membuat Andre melirik Ayahnya sendu sebelum menghembuskan napas kasar.
**
"Loh? Avan!"
Van mengangguk sopan mendapat sapaan hangat dari Wina, perempuan paruh baya dengan senyum ramah dan banyak guratan halus di wajahnya yang sudah tidak muda.
"Maaf bertamu malem-malem, Tante. Udah bilang Ian, kok."
"Iya gapapa, udah sering ini. Ian! Ada Avan, nih!" Teriak Wina setelah mempersilakan Van masuk.
"BENTAR! SURUH LANGSUNG KAMAR AJA!" Teriak Ian dari arah pintu toilet.
"EH, JANGAN! SURUH MAKAN DULU, MAH! PAKSA! DIA BIASANYA NGEYEL KALAU DISURUH MAKAN!" Teriak Ian lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Kamu Mati Besok
Fiksi RemajaBagaimana jika kalian harus meminum jus katak? Atau mendengar suara tangisan semut semalaman? Atau keliling dunia untuk mencari permen rasa kebahagiaan dan kesedihan? Terdengar mustahil bukan? Namun semustahil apapun, Van dan Alura akan melakukannya...