37. Jika duduk di tribun

436 93 53
                                    

Van membuka bekal sebelum menyuapkan sesendok nasi goreng buatan Alura ke dalam mulutnya, netranya mengerjap dengan berbinar ketika lidahnya dimanjakan dengan masakan Alura.

Sudah hampir dua minggu, Alura tidak berhenti memberikannya sarapan maupun plester luka.

Dan Van menerimanya dengan senang hati.

Seperti pagi ini, dia sudah duduk manis di meja sebelum mencabut sticky note yang tidak pernah tertinggal tertempel di tutup maupun paper bagnya.

Van mensejajarkan kertas berbentuk hati warna merah itu dengan wajahnya  sebelum membaca dalam hati. Terbiasa sarapan, makan siang dan makan malam ditemani bacotan Alura dalam bentuk kertas.

Van, hari ini buah markisa yang di depan rumah gue udah mateng. Lucu warnanya merah. Apalagi liatnya pas malem, bagus banget kayak lampu tumblr.

Van hari ini gue kesel banget karena Ceu Ipeh lagi-lagi jelek-jelekin elo waktu di warung pas gak sengaja ketemu.

"Ceu Ipeh? Ah, ibu si bocah kematian, ya?" Gumam Van menjurus pada Putra—anak yang merusak body motornya saat di kampung Alura.

"Kenapa lo kesel padahal yang dijelek-jelekin gue?" Tanya Van retoris sebelum mencabut sticky note kedua.

Sarapannya habisin, ya...

Gue mau lihat katalog-katalog boneka bebek di toko online.

Ih, lucu banget tahu! Gue mau beli semuanya tapi nanti Nenek Lina ngomel.

'Udah gede masih borong boneka', gitu katanya.

Daripada borong narkoba, kan?

Van sontak tersedak sebelum membuka botol air dan meneguknya. Van jadi kembali membaca tulisan rapi Alura.

Tapi boneka bebeknya lucu banget!

Btw Van, lo punya kesukaan gak? Barang favorit? Kartun? Film?

Nanya aja sih meskipun emang gue bacot sendiri di kertas yang selalu lo buang setelah selesai makan masakan gue.

Sudah manis, sepah dibuang.

Emang sadgirl banget dah gue.

Bye!

—Alura ( yang lagi mikirin lo) tapi bohong.

Alura hanya tidak tahu saja, sejak dua hari lalu Van sudah berhenti membuang sticky note Alura sebelum beralih menyimpannya dalam tas.

**

Terik sang surya menyengat retina Alura bahkan meskipun ada kacamata sebagai penghalangnya. Sepatu putihnya dibawa melangkah, menaiki tribun satu persatu sebelum duduk dan menyimpan tupperwarenya di sana.

Alura memperbaiki kacamata sebelum membuka buku di tangan, agak menunduk untuk membaca.

Semilir angin menerbangkan setiap helai rambut, menyibak tupperware di sebelahnya dengan ujung helai rambutnya menyentuh rambut orang lain.

Alura tidak duduk sendirian.

Alura duduk sambil membaca buku di tribun tengah dengan Van yang berbaring dengan buku yang menutup wajahnya dan satu lutut di tekuk, tertidur di sana.

Keduanya berdampingan dengan tupperware sebagai batas mereka dan langit biru cerah sebagai latarnya.

Hampir lima belas menit, laki-laki dengan kalung perak itu jadi terusik, berdehem kasar sebelum tangannya perlahan membuka buku yang menghalangi wajahnya.

Jika Kamu Mati BesokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang