Lisa dan Angel jalan beriringan menuju parkiran.
"Kakak yakin gak ikut sama pacarku Tara naik mobil? Dia bawa mobil baru loh, warna biru lagi," tawar Angel.
"Gak deh, Ngel. Kalau aku ikut kamu, yang ada aku jadi obat nyamuk disana. Liat kalian mesra-mesra-an, sedangkan aku duduk manis diam merana. Menonton kalian siaran langsung di depan mataku sendiri. Terima kasih atas tawarannya," tolak Lisa cemberut.
Angel tertawa kecil. "Hé hé hé.... oke deh. Ya udah, kalau gitu aku duluan ya. Soalnya Tara sudah tunggu, bye," pamit Angel melambaikan tangan lalu ia berlari kecil menemui pacarnya.
Lisa terdiam melihat kepergian adik bungsunya. Dari kejauhan, Lisa bisa melihat segerombolan anak buah adiknya. Siapa lagi kalau bukan Hazel. Sepertinya mereka berjalan kearahnya. Ternyata tebakan Lisa benar, mereka memang berhenti tepat didepan Lisa.
"Ini kak!" Memberikan tas Hazel. "Tasnya bos. Bos bilang tasnya seperti biasa dititip sama kakak," ungkap Aron.
Mata Lisa berubah jadi dingin dan sudah muak dengan tingkah adiknya yang satu ini.
"Makasih," ucap Lisa datar.
Dengan hati terpaksa, ia mengambil tas milik adik laknatnya.
Setelah sudah selesai melaksanakan amanah dari bos mereka, baru mereka bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Lisa menghela napas panjang.
"Heran aku sama Hazel. Anak buahnya ganteng-ganteng, mana rata-rata bertubuh seksi lagi. Kenapa dia gak jadiin mereka selir aja sih?" gumam Lisa bingung.
Lisa memutuskan pulang naik angkot saja, ingin diantar sama pacarnya. Sekarang dikelas pacarnya sedang ada kelas tambahan matematika, terlebih lagi yang ngajarnya adalah guru jahanam itu alias "angry bird" julukan dari Lisa.
Lisa lagi malas berdebat dengan guru itu. Makanya, lebih baik ia pulang duluan dan terpaksa meninggalkan pacarnya. Lisa berjalan sambil menggandeng dua tas, tas satunya miliknya dan tas satunya lagi milik Hazel.
"Huh! Ingin aku buang aja ni tas Hazel ke dalam got karena saking malasnya tiap hari aku mulu yang bawa tasnya pulang. Sedangkan orangnya entah menghilang kemana," keluh Lisa ngedumel berdiri dipinggir jalan untuk menunggu angkot.
~~××××~~
Awan sudah berwarna jingga, matahari mulai terbenam dan akan digantikan dengan bulan. Mereka masih terjebak di dalam gudang. Suara Juan jadi serak karena sering berteriak minta tolong tadi, sampai-sampai suaranya hampir hilang.Juan akhirnya menyerah juga dan duduk lemas berhadapan dengan Hazel. Hazel juga turut duduk diam daritadi dengan tatapan melotot dan hidung berasap. Mereka terdiam beberapa menit, sehingga suara cicak pun terdengar ditelinga mereka.
"Ini semua gara-gara lo ya!" celetuk Hazel menatap tajam Juan.
Alis Juan terangkat karena bingung pada perkataan Hazel.
"Hah? Maksud kamu apa bicara seperti itu?" ucap Juan sontak menatapnya.
"Maksud gue , andai lo gak sita my handphone gue. Pasti kita sudah keluar daritadi, ini semua gara-gara lo tau enggak," geram Hazel.
"Gara-gara aku?" Menunjuk dirinya sendiri. "Hah! Aku gak salah dengar nih? Bukannya kamu yang buat kita terkunci didalam gudang ini, akibat ulah kamu yang bar-bar dan mudah ceroboh itu. Ini sama sekali enggak ada hubungannya sama ponsel kamu aku sita," sanggah Juan.
"Percuma kamu marah-marah dan nyalahin orang, Hazel. Itu sama sekali gak bikin berubah keadaan dan kita masih tetap terkunci. Daripada buang-buang waktu untuk saling menyalahkan dan siapa paling benar. Lebih baik kamu ikut berpikir, gimana caranya kita cepat-cepat keluar dari tempat ini," nasihat Juan sambil marah.
"Ya, itu! Cara satu-satunya kita bisa keluar, kalau aja ponsel gue gak lo sita. Paham!" gerutu Hazel.
Juan memijit dahinya sambil beristighfar beberapa kali.
"Cara lain, Hazel.... Cara lain...." Tersenyum paksa sambil menahan rasa geramnya pada gadis di hadapannya.
"Kalau cara lain, gue gak tau." Membuang muka dari Juan. ""Lo pikir aja sendiri," ketus Hazel.
Juan mengelus dadanya sambil geleng-geleng kepala. Ia menghela napas panjang.
Pada akhirnya, ia berpikir sendiri sedangkan Hazel bodo amat. Tak terasa azan magrib berkumandang, hanya bulan dan bintang-bintang saja sebagai penerang untuk dia menjalankan ibadahnya kepada Allah. Hazel merapatkan tubuhnya karena sedikit takut dan merinding, apalagi tidak ada cahaya yang ada hanya gelap gulita.
Setelah Juan selesai sholat dan duduk kembali dihadapannya, baru Hazel bisa bernapas lega. Meski dia preman, ia masih takut sama dedemit beneran.
Hazel merasa senang ketika menemukan ada jendela terbuka tak jauh dari posisi mereka duduk. Tapi sayangnya, jendela itu berada ditempat tinggi sekali. Sangat sulit Hazel menjangkaunya, jika ia berusaha naik hanya sebatas dengan tubuhnya saja tanpa bantuan harus menaiki kursi ataupun meja. Hazel menendang kaki Juan, hingga sang pemilik kaki sontak menoleh dengan mimik sangat marah dan jengkel sebab kakinya ditendang sangat kasar dan sakit juga.
"Apa!" ketus Juan.
"Tuh, lihat dibelakang lo! Ada jendela terbuka tuh, kita bisa keluar lewat situ aja," seru Hazel.
"Iya, kamu benar. Kita bisa keluar lewat jendela itu," ucap Juan ikut melihat jendela yang terbuka.
"Tapi.... jendelanya tinggi banget. Gimana kita bisa lewat jendela kita, kalau jendelanya susah kita jangkau," ucap Hazel berputus asa dengan raut wajah masam.
Juan memperhatikan sekelilingnya, ia akhirnya mendapatkan sebuah ide.
"Kita bisa lewat jendela itu dengan naik di meja-meja itu," usul Juan menunjuk meja yang mereka susun tadi.
"Wih! Pintar lo!" seru Hazel kegirangan.
Saat Hazel bangkit berdiri dan menatap sekelilingnya, ia baru sadar. Tidak ada lampu.
"Tapi ini gelap banget, Juan," keluh Hazel kembali masam.
Tek!
Mata Hazel tiba-tiba silau ketika mendapati cahaya kearahnya. Setelah pengelihatan Hazel kembali normal dan bisa melihat lebih jelas lagi, ternyata cahaya itu bersumber dari jam tangan Juan.
"Kenapa gak dinyalakan daritadi sih?" berang Hazel melototi Juan.
"Itu pasti jam tangan yang bisa video call kan?" tanya Hazel sambil mengomel.
"Maaf, bukan. Ini hanya jam tangan biasa, tetapi ada senternya doang buat keperluan seperti sekarang ini. Aku juga tidak bisa sering menyalanya, yang ada baterainya cepat habis. Jadi, kita harus berhemat menggunakannya kecuali mendesak dan penting," papar Juan.
Hazel tadinya bersemangat, kini layu lagi. Mereka pergi menuju meja lalu mereka angkat dan susun tepat dibawah jendela sebagai tangga mereka.
"Kamu naik aja, nanti aku pegang mejanya biar gak jatuh," suruh Juan.
Hazel mengangguk setuju. Hazel naik ke atas meja dengan hati-hati dan pelan-pelan sebab ketika dinaiki mejanya langsung bergoyang kek lagi ada dangdutan.
Hazel tersenyum bahagia akhirnya ia sudah berada dipuncak dengan selamat sentosa, tinggal mengeluarkan dirinya lewat jendela saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Bad Girl
Teen FictionKemerdekaan ketiga saudara berbuat nakal kini harus usai, setelah datangnya ketiga pria mengusik kehidupan mereka yang terlalu bebas. Berawal yang pahit berubah manis. Seperti itu juga nantinya kisah hidup tiga saudara yang tidak dapat diperkirakan...