11. fckng shit!

16.9K 866 8
                                    

"Sudah tidak ada?" Delmora bingung mendapati tubuh mengosong, tidak ada rasa ketat dari jeratan tangan kokoh seorang pria. "Hanya mimpi?" gumamnya, lega.

Delmora dengan kantuk yang tertinggal, bangkit seraya menggisik mata. Ia bergeser dan meraih mangkuk di nakas.

'Sup labu hijau lagi.'

Suasana sepi, sangat sepi, seakan ia berada di padang pasir. Tidak ada ketukan kaki, tidak ada suara samar yang terdengar. Tiba-tiba, wajah gadis itu mengernyit sakit, benaknya terlempar jauh terhadap bayangaan buatan sendiri mengenai proses pernikahan Serge dan Letitia. Hatinya begitu perih.

Ia menarik napas kencang dan membuang sekaligus. Melenyapkan rasa yang melilit dan meremas ulu hati. Mengapa harus terpuruk? Dia sudah terbiasa merasakan hal menyakitkan. 'Tapi, kenapa ini sangat sakit? Lebih menyakitkan saat pernikahanku.'

Sedikit gemetar, tangan menyinduk sup dan memakannya. Lidah mengecap rasa dingin dan hambar, ini sebatas makanan supaya tetap hidup. Delmora memang ingin mati, namun entah mengapa dia tidak pernah bertekad untuk mati. Bila terluka pun, ingin diobati.

Sup habis setengah, dimakan sedikit lahap oleh Delmora. Rasa? Itu urusan paling belakang, yang penting dirinya terlihat memiliki energi dan tidak lemah. Delmora berbaring beristirahat lagi, berpikir-pikir seraya memejamkan mata.

Matahari dari gorden menerik. Tak lama suara bising terdengar menaiki tangga, disusul akan kunci dibuka. Itu terdengar sangat jelas apabila indra penglihat Delmora ditutup. Langkah sedikit tergesa mendekatinya, kemudian suara seseorang berbisik di telinga.

"Sekarang Serge milikku, Delmora," bisik Letitia, berusaha meruntuhkan pertahanan adiknya yang sudah lama tak terlihat menangis, semenjak terjatuh dari pohon. Ia rindu melihat adiknya itu terisak-isak.

"Serge, suamiku," lanjutnya dengan menekan kuat, diakhiri terkekeh pelan sebagai bentuk ejekan. Cukup membuat telinga Delmora panas. "Segeralah pulang dengan suamimu dan terima hukuman darinya."

Sebal melihat adiknya tetap tidur, ia menarik telinganya dan membentak dengan suara tertahan, "Kau mendengarku, Delmora?!"

"Jangan tidur, Bodoh!" Tarikkannya makin kencang hingga Mora nampak terganggu. "Kau harus mendengarku!"

Delmora berdecak, menepis tangan sang kakak seraya menutup telinga yang perih dan panas. Sejujurnya, masih ada kecanggungan melakukan ini, namun bukankah ia bukan adik yang perlu patuh lagi terhadap kakak? Dirinya sudah bersuami sekarang.

Sementara itu, Letitia merasa ditindas dan direndahkan. Ia tidak terima! Berani sekali adiknya bersikap lancang?!

"Kau baru beberapa hari menjadi Duchess, berani sekali menyingkirkan tanganku!" celanya, memukul kuat tulang rusuk yang berada di atas pinggang Delmora. Sehingga tubuh gadis yang terbaring itu nampak terlonjak.

Tak tahan, dia bangun dan lekas menampar pipi kakaknya yang masih berpenampilan pengantin. Sekelebat saja, kakaknya begitu cantik seperti lotus. "Aku mendengar, berhentilah mengemis pendengaran! Silahkan berumah tangga tanpa mendapat cinta, kakakku yang terhormat!"

"Anak sialan!" hardik Letitia seraya menghentak kaki. Ia pergi dan terdengar memanggil Ibu. Sesaat, ibu dan ayahnya tiba menggandeng Letitia yang berurai air mata.

'Mengadu lagi, seakan aku yang melempar batu terlebih dahulu.' Perkataan batinnya melambat ketika melihat pria berambut hitam tiba. Pada saat yang sama, Zerlina mengambil tongkat Esmond, tergesa-gesa menghampiri Delmora. Rahang wanita itu mengerat dengan tatapan yang nampak mengerikan.

Delmora menjerit sembari berusaha menghalang kepala, namun tekanan kayu begitu kuat membuat punggung tangannya terbentur keras pada wajah. Ia tidak tahu, kenapa dirinya selemah ini.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang