32. kill me, now!

8.7K 563 88
                                    

"Delmora!"

"Bunuh aku!

Gadis itu berbalik dan menimpali bentakan suaminya secara spontan, sedangkan bangku masih ia pegang. Fallboard pecah, keyboard pun rusak akibat ulahnya. Dari ambang pintu, Dylan berjalan cepat menghampiri, matanya berkeliaran ke arah piano di belakang Delmora, sarat akan amarah serta sayang. Lantas beralih lagi menatap Delmora dengan mata mengencang. Rahangnya terlihat menguat, seolah sigap mengabisi saat itu juga.

"Bunuh aku, sekarang! Aku muak pada dirim—!"

Bangku piano jatuh keras pada lantai. Seruan Delmora berhenti seketika lantaran tiba-tiba lehernya dicekik. Kepala perempuan itu menengadah, melotot penuh kebencian dan rasa sedih pada suaminya, tubuh melengkung ke belakang sebab Dylan terus menghimpit.

"Kenapa kau ingin sekali mati di tanganku?" Dylan bertanya, terus membuat perempuan tersebut melengkung ke belakang hingga pinggang sampai belikatnya terbaring di atas fallboard yang pecah berkepingan.

Belikat sakit, namun beruntung ini bukan kali pertama Delmora memelengkungkan punggung. Mendengar pertanyaan itu, ia pun bingung apa yang mesti dijawab.

Terlalu banyak alasan mengapa selalu meminta dibunuh pada Dylan.

Rahang Dylan terlihat bergerak-gerak, bukti bahwa pria tersebut mengancingkan gigi geraham. Mata itu memerah. Sepertinya jika perempuan, dia akan marah-marah kencang sembari menangis.

"Kau bisa hancurkan apa pun kecuali pianoku, Delmora!"

"A-ah." Gadis itu mengaduh lantaran lengan atasnya dikepal dan diremat keras oleh tangan kiri Dylan. Serasa remuk. Sementara ibu jari besar yang bertengger di lehernya, memberi tekanan seolah sigap membunuhnya.

"Kewarasanku hilang hanya karena makhluk kecil sepertimu." Dia menghardik jengkel. Entah mengapa suaranya tidak pernah meninggi meski dalam mode membentak, padahal urat-urat lehernya sekarang menonjol jelas.

"Ya-a, bu-nuh saj-ah ak-hah!" Delmora berkata terputus-putus kesulitan, hampir takdapat dimengerti.

Perih hidupnya. Ia benar-benar merasakan berdiri sendiri, hidup sendiri, dan mungkin akan mati sendiri meskipun terlahir berdua. Perginya Serge, memperjelas keadaannya bahwa dia sendirian. Mereka akan pergi lagi, lagi, dan lagi bersama kehidupan pribadi mereka.

Ia menjadi tidak percaya pada perkataan 'aku selalu ada untukmu', karena semua pasti pergi saat waktunya tiba. Mungkin juga pergi di kala sedang dibutuhkan, seperti peristiwa siang barusan.

"Jika benar-benar ingin mati, kau bisa bunuh diri. Piano itu," Mata tajam Dylan bergetar, melirik sekilas pada piano saat menyebutkan nama alat musik tersebut, " ... peninggalan ayahku! Terlalu banyak kenangan ayahku yang kau hancurkan dari piano itu hari ini!"

Leher yang dicekik, makin tercekat mendengar pengakuan itu. Delmora tentu tahu bagaimana rasanya saat boneka ia dibuang. Itu menyakitkan, sakit hati, dan menoreh kedukaan.

"Ki-ta, im-pas!"

"Impas? Impas katamu?!" Sekali lagi, Dylan mengeratkan cekikan, hingga gadis itu mengerang, mengeluarkan suara seakan hendak mati. Lantas, sudut bibir pria itu tertarik sambil tertawa palsu yang terdengar menyakitkan. "Haruskah kubongkar otakmu dan merapihkan semua benang kusut di dalam sana agar kau bisa berpikir secara luas?!" bentaknya, yang membuat sekujur tubuh Delmora meremang.

Tak pernah Dylan membentak, tak pernah Dylan menatap seperti itu, sorot mata yang sarat kesedihan dan amarah. Namun tidak tahu mengapa, secara perlahan cekikan serasa mengendur di kala pipi Delmora memerah. Gadis tersebut lekas terbatuk-batuk, dan merunduk ke samping.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang