50. live, love, last

8.4K 518 82
                                    

Ia benar-benar merasa gagal, lututnya lemas sekarang. Terima kasih untuk Dylan yang telah membuat hidupnya membaik, mengorbankan ini-itu tanpa peduli sakit sehingga kini dia dapat sehat di sini. Namun, hatinya sakit.

Dylan tidak bicara tentang kondisi pribadi, ini pun belakangan baru tahu pria itu sering jatuh sakit, hal yang pas untuk menjawab keterlambatan kunjungan ke sini, dan dia tidak dapat merawatnya?

Sial, ia merasa sialan.

Ia gagal. Sia-sia, dan beban.

Yang ia tahu hanya menulis di kertas jika merindukan Dylan, tahu selalu diawasi, supaya dibaca lalu kemari. Bisa-bisanya keinginan itu dituruti, walau pernah sekali pria itu mengeluh tidak nyaman berada di sini.

Delmora sungguh ingin marah, memukul dada bidang pria itu sembari menangis dan bertanya 'mengapa?!' Pria yang kini berada di dalam kamar sedang menimang seakan baik-baik saja.

Dasar pria, dia ingin menendangnya karena emosi sekarang. Bukan sebab benci, tetapi kesal terlampau khawatir. Terlebih, pria itu berkata hendak ke negeri tetangga esok hari, tanpa memikirkan organnya yang mungkin diremat-remat lagi.

Tidak ingin menuruti nafsu untuk lari dan menghajar Dylan di sana, Delmora yang duduk di teras lantai dua itu segera memalingkan wajah. Duduk hanya beralas permadani tebal, terdapat tangga L untuk turun ke tanah. Tangga yang sama sekali tidak pernah dipijaknya walau tinggal di ruangan ini. Dia tidak pernah meninggalkan bangunan megah ini, sejengkal pun tidak pernah atas larangan Dylan.

Napas ia tahan, berharap mati hanya sebatas kelamaan tak bernapas, seraya tangan memutar-mutar lambat sebutir anggur dari tangkai. Titik fokus matanya yang tampak marah akibat kesedihan, berlabuh pada laut. Anggur ditarik, sekaligus napas dibuang berat.

Amarah ombak yang menabrak karang terlalu besar, ombak tampak hancur seperti serpihan kaca dengan buih putih tertinggal di batu karang. Seiring itu, sebutir anggur masuk ke dalam mulut dan dikunyah.

Tempat ini memuaskan. Entah harus sebanyak apa berterima kasih pada Dylan, harus sebanjir apa dia mencintai Dylan, serta harus semalu apa mengenai kesalahannya terhadap pria yang telah memberi banyak hal itu.

Dia suka alam, rangkaian bukit tersaji di luar, menjadi tebing untuk laut yang berada di dataran rendah, dan memberi visual domba-domba merumput. Di tengah bentangan rumput, satu pohon apel menjadi tempat berteduh pengembala. Lebih jauh di ujung sana terlihat sungai sebening kristal mengalir dari sela hutan pinus, berasal dari air terjun pegunungan lalu bermuara di laut.

Laut Manya yang bearti mati. Laut yang beberapa bulan lalu sering Dylan lewati agar sampai di pulau pertanian milik keluarga Stark.

"Sayang?"

Segera ia menoleh kala mendengar panggilan yang memicu debaran jantung, melihat wajah datar Dylan sembari menggendong bayi yang terlihat kecil di dua tangan besar itu.

"Memikirkan apa?" celanya sambil menghampiri dengan tatapan yang menajam.

"Dirimu." Delmora terkekeh di akhir.

"Aku di sini, bukan di luar," kata pria itu lagi, menegur tidak suka bak cemburu. Kakinya melintasi jendela terbuka sebelum mendarat di lantai yang sama dengan Delmora. Berdiri di sisi, kakinya sengaja ditempelkan pada sang istri.

"Kemari, biar aku saja yang gendong." Tangan terhulur ke atas, meminta Debora agar Dylan istirahat menimang.

"Kau sudah mengandung sembilan bulan, dan melahirkan, sekarang giliranku yang menggendong," tolaknya, membuat alis Delmora bertaut tak paham karena menganggap itu wajar. "Jangan serakah. Sekarang giliranku, orang tuanya bukan hanya dirimu."

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang