19. the doll

10.7K 676 10
                                    

"Boneka—"

"Boneka—"

"Tuhan ..., di mana bonekaku?"

Lemari-lemari besar menjulang di ruang ganti lumayan berantakkan, deretan gaun tidak serapih beberapa jam lalu. Bahkan semua pintu lemari terbuka. Nada suara dari gadis yang sibuk menggerakkan tangannya membuka pintu lemari bergaya barok juga menyingkirkan kain-kain menggantung, terdengar sedikit gemetar cemas. Ia sudah beberapa jam mencari boneka buruknya untuk menemani tidur malam ini.

Delmora menyeret kursi empuk dari depan lemari sebelah, ke depan lemari yang kini tengah ia obrak-abrik. Tanpa pelan-pelan, tangan gadis itu memegang tepi punggung kursi, disusul kakinya yang berlabuh pada bagian tempat duduk. Sebelah tangan dialihkan ke lemari untuk bertumpu, sedangkan satunya menyingkirkan tiga peti perhiasan bulak-balik dari kiri ke kanan dan sebaliknya.

Di belakang lemari pun benda berbulu kasar, ukuran sepanjang ujung jemari sampai siku itu, tidak ada. Berawal usil mencari, kini berubah kepanikan, dadanya berdebar sambil sesekali mencoba ditenangkan dengan berpikir positif bahwa beruang masih di kamar Gilbert.

"Tidak dibawa kemari?" Ia mengusap cepat buliran keringat di dahi yang membuat beberapa helai rambut pirangnya menempel.

"Tidak mungkin. Jelas-jelas kemarin pun tidak kulihat di kasur!" sanggahnya pada diri sendiri bahwa kamar Gilbert bersih dari bendanya. "Di mana aku menyimpannya?"

Ia merunduk merenung. Perlahan, lututnya tertekuk hingga membuat dirinya berjongkok.

Delmora bersikeras mengingat-ingat, mencari celah dari bayangan sebelum boneka ditinggalkan, pantang menyerah walau kaki mulai keram.

'Aku membawanya.'

'Di malam kedua berada di sini, aku tidur memeluknya ....'

'Iya, aku ingat.'

'Tapi, diletakkan ke mana selepas itu?'

Menit ke menit berlalu dengan melamun, tulang punggungnya menegang, alis semakin lama makin mengkerut dalam, memeras ingatan. Barulah ketika pening menyerang yang seolah semut menggerayangi otak, Delmora tersadar dan menurunkan kaki ke lantai. Bergetar, sulit bertumpu. Punggungnya menjelekit, sontak membuat dirinya mengerang.

Pelan, tangan memijat kaki sendiri agar lekas baikkan, dari betis sampai jari. Saat sakit mereda dan kakinya memiliki rasa, ia berdiri, berjalan pincang mendekati dipan berkasur dengan alis bertaut antara ingin menangis dan kebingungan. Ia takut benda kesayangannya hilang. Cepat-cepat mengangkat bantal putih, berharap bonekanya tertimpa. Sayang, lagi-lagi tidak ada. Dadanya makin sesak, ia hampir terduduk dan menangis jika saja seseorang tidak lekas datang.

"Nyonya Duchess, saya mencari Anda sampai kamar mandi."

Teguran dari ambang pintu terdengar gelisah, ia menolehkan kepala dihadirkan Lidya di sana. Wanita itu mungkin pelayan sekaligus pengasuh untuknya, sampai-sampai setiap keperluan selalu dia yang memberikan. Tidak pandang waktu walaupun lewat tengah malam.

"Hey, melihat boneka beruang?" tanyanya sambil menegakkan tubuh, menatap penuh tanya. Kedua tangannya saling bertaut di depan perut mencoba menahan gemetar kecemasan.

Lidya bergeming, kemudian menggeleng. "Terakhir kali, saya membereskannya diletakkan di tengah antar bantal," jawabnya.

"Lalu setelah itu?"

"Tidak ada yang berubah, bersih rapih seperti biasanya. Hanya pernah terlihat puntung cerutu di meja," tutur pelayan itu, berjalan ke arah Delmora yang mematung. Kedua tangannya memegang baki hitam berisi botol kaca seukuran empat jari Delmora.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang