12. will be broken

15.3K 815 8
                                    

"Lehermu indah, Delmora." Dia masih berbicara tenang saat tubuh gadis itu gemetar. Kedua tangan kekarnya menjebak punggung rapuh tersebut supaya tidak keluar dari jangkauan.

"Kau lemah, terlihat dari tubuh ini. Sekarang saja berhenti bergerak dan justru menahan tangis." Tanpa empati, ia menyelipkan penghinaan dalam suara tenang. Namun tidak menenangkan, justru menyentil perasaan.

Menangis, bukankah simbol sudah tak tahan?

Gadis itu akan hancur dengan sendirinya akibat pola pikir dan tindakannya yang tidak tenang, dihantui luka batin yang coba ia pendam. Perlahan, mungkin ia akan mati karena ulah sendiri. Sekarang saja, dia sudah ingin mati.

Tidak menangis bukan berarti dia kuat, malah tanpa sadar menumpuknya dalam otak. Di kala kesepian maupun keterpurukkan datang, semua itu jelas akan muncul ke permukaan ingatan. Alam bawah sadarnya dipastikan tergali.

Dylan tentu tahu bagaimana rasanya memendam. Satu kunci yang ia pegang, 'tidak peduli'.

Separah apa pun dibenci, disisihkan, dihina, dianggap buruk, Dylan selalu tidak peduli, bodoh amat, peduli setan. Saat di meja makan ia sempat terkejut tatkala Delmora menyindir menggunakan kalimat menyentil. Namun setelah berpikir sejenak, Dylan menulikan telinga.

Kunci itu tidak dimiliki Delmora. Dia akan patah, berawal dari otak dan menjalar ke hati.

Bila gadis itu sudah patah, dengan mudah Dylan akan dapat merengkuhnya. Laksana burung yang patah sayap lantas jatuh sendiri di hadapannya. Atau belalang yang tidak akan bisa meloncat lagi manakala kakinya hilang, tidak dapat terbang lagi apabila sayapnya patah. Diam, merayap alakadar dan selalu berada dijangkauan.

Akhirnya, dia akan mudah disentuhnya, digenggamnya, dan diletakkan di mana pun Dylan inginkan tanpa takut kabur jauh.

Di saat tangan Dylan mengusap leher indah itu, si Empunya segera melemparkan diri ke samping, lantas pindah pada kursi seberang yang tentunya tidak sejajar lagi dengan Dylan. Manik sejuknya yang kelelahan memandang kosong pada jalanan.

Dia menumpu pelipis pada gerbong, sangat menyedihkan, sesuai yang Dylan inginkan. Lantas, gadis itu bergumam samar, "Kapan ini sampai?"

"Kau lelah?" sahutnya. Bukan bentuk kasihan, namun ia menganggap gadis yang terlihat kumal itu benar-benar lucu sekarang.

Delmora mendengkus pelan. "Lebih melelahkan lagi melewati perjalanan bersamamu, Yang Mulia. Kenapa pula tidak melewati ibukota, setidaknya mengurangi perjalanan sebanyak—"

"Delmora Gretl De Stark." Duke memotong gumaman istrinya sembari menumpu siku pada jendela. Ia menjatuhkan padangan pada tangan sang istri yang bertaut di pangkuan. "Kau akan jatuh," ujarnya, rendah.

Tersadar, Delmora meluruskan pandangan ke depan, tubuhnya menegang. Otak berputar mencerna, mengerti bahwa perkataan itu bukanlah nada suara perhatian, namun isyarat peringatan bahaya.

"Bagaimana caraku jatuh?" tanyanya, pura-pura fokus melihat rumah gaya ghotic yang berjejer di pinggir jalan.

Dylan tersenyum culas. "Karena ulahmu sendiri. Mari kita saksikan bagaimana dirimu mematahkan kakimu sendiri."

Dalam mimik cemberut yang menyedihkan, dada Delmora berdebar. Memikirkan maksud perkataan yang aneh. Ia tidak dapat menerjemahkan kalimat-kalimat Dylan barusan.

'Apakah benar aku bodoh?' batinnya.

'Tidak, dia hanya menakut-nakutiku saja! Dia tidak tahu seberapa kuatnya aku!'

Bunyi memalukan yang keluar dari perut Delmora, membuat Dylan mengarahkan pandangan pada wajah itu kembali. Nampak normal, seolah sedang tidak lapar. 'Tidak wajar, semenjak berangkat belum mengisi perutnya.'

"Yang Mulia, apa kau ingin membunuhku dengan kelaparan?" tanyanya ketus. Mengukir dua kata dalam benak Dylan, lucu dan menggemaskan.

Dylan membenarkan. "Sayangnya sekarang belum saatnya kau mati."

"Kalau begitu, tidakkah kau ingin berhenti?" Ia bertanya lagi, alisnya mengernyit ke bawah pertanda marah.

"Kau yakin akan ada yang menerima Stark?"

"Sialan, kau memiliki uang. Apa yang tidak bisa kau beli dengan kekayaan, huh? Sumpal saja mulut mereka dengan berlian." Dia sedikit jengkel, ingin menyentak, namun tenaganya seakan ditelan ke dalam tubuh lagi. "Kau juga pembantai, mestinya mereka takut bukan menentang."

Dylan tertawa singkat. "Ide bagus." Kemudian, pria itu menepuk jendela diiringi wajah Delmora yang berubah pongah. Hanya sejenak, seusai itu, ia memerengutkan air muka kembali.

Bila terdapat batu di sini, bisa saja Delmora sudah melemparkan pada suaminya. Belum usai ia merehatkan emosi berkat kesendirian, begitu cepatnya Dylan kembali dengan pedang yang berlumur darah. Jantungnya tersentak ketakutan seraya makin memojokkan tubuh pada gerbong. Sebelumnya Dylan tidak membawa pedang, Delmora ingat sekali. Tetapi kali ini? Dia sudah terlihat menyeramkan dengan pedang berdarah.

"Apa yang telah kau lakukan?!" hardik Delmora dengan serak.

"Hanya peringatan." Kedua tangan pria itu bertumpu pada tepi atap gerbong. "Mereka berkata tidak ada kamar lagi yang tersisa."

"Jangan bilang kau?"

"Keluar, Duchess. Atau perjalanan akan dilanjutkan," titahnya. Kemudian berbalik berjalan lebih dahulu. Sementara itu, kusir membukakan jendela sang nyonya.

Wajah sumringah, kusir itu tunjukkan. Seakan ia hendak bersujud di kaki Duchess yang masih belia tersebut. Namun, pria itu sekedar membungkuk dalam dan membuat Delmora yang masih duduk kebingungan.

"Terima kasih, Nyonya. Saya akhirnya bisa beristirahat!" kata kusir nyaris bersorak riang. Delmora pun tersenyum untuk pertama kalinya setelah beberapa hari ini.

Kusir yang sudah mengangkat tubuh pun tertegun dengan wajah melongo.

"Silahkan beristirahat," titah Delmora dengan suara yang ... lemah. Ia menoleh ke timur, Dylan sudah hampir mendekati gerbang penginapan.

Ia pun beringsut, akan keluar dari jendela di seberang. Menumpu pegangan pada pintu gerbong, satu per satu kakinya yang gemetar mencoba diturunkan. Itu terasa ngilu. Ngilu untuk berjalan sehingga ia terkilir.

"Kaki patah? Inikah yang dimaksud dia?" Ia menekan-nekan lutut yang ditutupi gaun. Sementara itu, Dylan di ambang gerbang nampak memperhatikan tanpa terbesit keinginan membantu.

Persetan dengan bantuan, Delmora bangkit dengan kaki berjalan pelan serta pincang. "Menyedihkan. Persis anjing jalanan yang patah kakinya," gerutunya samar.

"Kita sekamar."

Delmora mengangkat wajah guna melihat pria yang sekarang sudah berbalik, alhasil ia hanya dapat melihat punggung tegapnya. Kata-kata dan perlakuan Dylan terhadap dirinya, membuat muak.

"Menyebalkan! Kenapa kau tidak mati saja? Kenapa kau tidak membunuhku?" serangnya, mengundang penjaga gerbang saling tatap dan menunjuk-nunjuknya menggunakan dagu. "Pedang itu, kau membunuh pengisi kamar?"

"Sebaiknya kau berjalan saja, Duchess."

Delmora berdecak. Menjatuhkan mata ke jalan beton untuk mencari kerikil, tapi tempat itu begitu bersih! Baiklah, ia lampiaskan saja ketika telah tiba.

****
Published : Sab Apr 13, 2024

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang