27. gimme more poison

8K 592 70
                                    

Mati.

Delmora dengan wajah datarnya menatap lekat lukisan yang terpajang di dinding kamar, sembari menunggu kabar bahwa pria itu mati.

Sangat mirip, begitu persis. Tatkala Delmora menyentuh lukisan dan membandingkan warna kulitnya, itu benar-benar sama. Hanya yang membuat ia kesal setengah mati, tanda merah kehitaman di leher dengan tidak sopannya ikut terlukis. 'Memalukan, memalukan, sialaan! Ke mana pelukis itu pergi?!'

Asap-asap emosi seakan membumbung tinggi dari ubun-ubunnya, memikirkan masa depan yang pasti tanda itu akan terabadikan.

"Dylan sialan! Pelukis yang disewa pun sama-sama sialan!" Gadis itu berteriak, berbalik dengan wajah memerah kesal serta malu seraya berjalan cepat, kemudian, melemparkan tubuh ke ranjang dengan kasar.

Ia pikir, rambut diurai sudah cukup menyembunyikan tanda yang telah menggelap. Namun, hanya karena kedua sisi rambutnya sedikit dijepit, leher dapat terekspos jika ia terlalu abai.

Kesal, dia tidak tahu siapa yang salah di sini. Entah Lidya yang tidak menutupinya, atau dirinya yang kurang waspada. Sungguh, Delmora hampir lupa apa yang Dylan lakukan terhadap lehernya pagi kemarin, sebab ia terlalu fokus pada tujuan meracuni.

Gadis kurang waras yang telah meracuni suaminya itu, memukul-mukul kasur hingga tangannya terus memantul-mantul. Lantas, ia menyeret tubuh di atas ranjang seperti bayi marangkak, mendekati nakas dan menarik laci kedua.

Kotak kecil berisi surat Serge, dirinya buka. Sembari berhayal apabila Dylan mati, ia dapat mengejar Serge lagi. Dulu, boleh saja laki-laki itu yang mengejarnya, namun kali ini, Delmora ingin diri sendiri yang balik mengejar.

'Manis,' batin Delmora seolah kasmaran, membeberkan kertas di atas dengan posisi tubuh yang kini telentang.

****

"Hmm, Delmora,"

Delmora melirih, merasakan usapan di rambut serta panggilan berat nan rendah dari seseorang.

"Kau sangat bodoh, barangku."

Terlonjak, sangat cepat mata Delmora terbuka dan spontan bangkit duduk memojokan diri ke kepala ranjang.

"Ka-kau?!"

Dada Delmora berpacu hebat antara terkejut, panik, dan takut. Mengejutkan, Dylan datang lagi ke kamarnya bersama tatapan intens, sangat intens, seolah predator yang siap menyerang. Tubuh ia meremang, mendapat belaian tangan kekar di akar rambut. Lekas-lekas, ia pun menepis ketakutan.

"Apa yang kau bicarakan tadi siang, hm?" Kembali, Dylan mencengkram pipi Delmora, makin mendekatkan diri pada gadis yang ketakutan itu. Dada yang naik turun, kelopak mata yang melebar di keremangan malam, serta kulitnya yang terasa dingin. Seolah, setiap huruf rendah menekan yang keluar dari bibir Dylan, mencekik lehernya.

Panik, gadis itu kembali menepis tangan kekar sang pria, namun gagal. Tentu saja, selama ini dapat menepis pun karena Dylan sengaja menuruti tepisan tersebut, dan sekarang Dylan ada dalam kuasanya, tanpa menuruti keinginan Delmora.

"Mengatakan seolah kaulah yang memberi racun padaku." Jempol pria itu mengelus kuat sampai daging pipi si Gadis tertarik kenyal, serta napas si Gadis tercekat. "Ingin diketahui orang bahwa dirimu sendiri yang meracuni suamimu?"

Benar, jika Dylan mati, Delmora ingin orang-orang tahu bahwa ia yang telah meracuni. Bukan untuk menyombongkan diri, namun demi kepuasan sendiri.

Dylan terkekeh kecil, seolah penampilan terguncangnya merupakan komedi. Berpikir, mustahil pria itu sembuh begitu cepat dari racun-racun yang jelas sangat mematikan. Terlebih, tidak mungkin didetoksifikasi. Delmora ingin menjerit frustrasi secara keras, pria di hadapannya menakutkan. Sungguh menakutkan meski tanpa melakukan kekerasan berlebih.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang