35. insane doll

10K 676 155
                                    

Istrinya gila, tapi dia tetap setia.

Istrinya tidak waras, tapi dia terus merawat.

Betapa banyak ketercelaan sang Duchess dari mulai berselingkuh, sampai gila kini. Namun Duke Stark tetap menerima dan bersikap sebagai suami yang baik.

Benar. Begitulah di mata orang-orang, begitulah rumor menyebar.

Kata mereka, walaupun Duke itu seorang pembantai bajingan, durhaka, jahat, apatis, pecandu alkohol, dan segala macam sikap buruk lainnya, namun dialah suami yang baik, setia.

Mereka jelas tidak tahu apa yang ada di otak pria itu. Otaknya tidak pernah kosong walau tidak ada apa pun yang diperbuat.

Laki-laki, dia bisa berotak semengerikan ini terhadap wanita, terlebih anak gadis, menjadikan mereka seperti boneka mainan. Menjatuhkannya, mematahkannya, lalu dia sendiri yang menyembuhkan, mendampingi agar dianggap penyelamat. Atau justru mencari gadis patah guna ia sembuhkan, guna ia lindungi.

Hasilnya begitu mengerikan. Si Gadis bisa jadi ketergantungan, atau jadi mainan.

Pria ini tidak memiliki perasaan, tidak berhati. Yang ia lakukan memutar balik otak guna memenuhi keinginan untuk menguasai, mengendalikan, sampai mendominasi Delmora.

Dylan, dia tahu, gadis rusak yang ia terima itu masih memiliki tekat ingin hidup dengan cara sendiri, masih waras dan sulit dikendalikan, tak mungkin bisa dirinya jadikan boneka, maka dia mesti lebih mematahkannya lagi hingga beginilah yang terjadi.

Malang. Gadis yang malang.

Di kamar itu, Lidya menyentuh-nyentuh nyonya yang gila, sabar membujuk mandi walau tentu kewalahan. "Anda sudah beberapa hari belum mandi, Nyonya. Tidak apa-apa, sebentar—"

"Tidak! Tidak! TIDAAAAaaak! Aku tidak mau membuka mata, aku tidak mau. Di mana-mana ada SETAN! Tuhan, Tuhan, tolong aku!"

Melantur dia berbicara seraya menolak. Terus menutup mata yang padahal tetap saja si Setan masuk ke dalam ilusi kepalanya.

"Kalau begitu, buka piyamanya, ya?" Lidya membujuk lagi dengan alis bertaut bingung dan cemas, tentu lagi-lagi Delmora menolak.

"DYLAN! DYLAN! Aku mau DYLAAAAaaan! Tolong panggil Dylaan! Aku takut! Takut! DYLAaaaan, aku takutt!" Suaranya hilang timbul, serak, sekaligus melengking sewaktu-waktu. Merembes-rembes air matanya meninggalkan jejak kekacauan di wajah.

Seiring itu, sosok pria berpakaian serba hitam memasuki pintu, sontak membuat ketiga pelayan yang tiasa memandikan Delmora menoleh, lantas merunduk serentak.

"Selamat malam, Tuan."

"Biar aku saja," kata Dylan langsung ke inti. Tentu Lidya, Hilma, Katie di dekat Delmora terkejut.

"Maaf, Tuan, ini telah menjadi urusan kami." Lidya menimpal sopan takut-takut, tak berani.

"Bi.ar aku sa.ja."

Mereka agak begidik mendengar kalimat diulang secara ditekan, segera merunduk gugup tak lupa mengatakan kalimat izin undur diri sebelum angkat kaki. Toh, bak mandi telah diisi air panas, tinggal menunggu hangat yang awalnya sembari membujuk sang nyonya.

Berembus pelan napas pria tersebut di dekat telinga si Gadis yang masih memojokkan diri, menjerit meracau memanggili ibu dan ayahnya. Tangan kekar berbalut lengan kemeja hitam melepaskan rantai menggunakan kunci yang ia bawa sendiri. Selepasnya, cepat-cepat Dylan merengkuh si Gadis ke dalam dekapan bagai memeluk boneka kesayangan.

Rambut pirangnya lengket, dahinya berkeringat seperti kegerahan walau sekarang telah musim gugur.

"Mandi?" tanya Dylan, merapihkan rambut pirang itu lagi, segera ia kecup singkat dahinya.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang