46. satan food

8.9K 582 136
                                    

"Santai, Sayang."

Teguran Dylan keluar ketika tangan Delmora menarik-narik lalu meremas kemejanya, gelisah. Keringat merintis di dahi, seolah kegiatan serta tempat sekarang merupakan tempat terkutuk yang perlu disiram air suci.

"Dylan, kumohon, bisakah kau berhenti?"

Menyesatkan, membawa istrinya ke hadapan setan—setidaknya begitulah dalam artian kasar. Sang pengabul permintaan, batu loncatan, manakala telah menyerah dari Tuhan. Suara gemetar cemas perempuannya pun cukup terabaikan.

Bau besi karat tercium di indra penghirup mereka berdua, berasal dari couldron yang pria itu aduk dengan canting aluminium. Ditambah, adanya aroma sepat di couldron yang tengah bergolak-golak di atas perapian kecil di belakang.

Cemas, gelisah, takut, namun juga ingin tahu, tangan gadis itu makin erat memegangi kemeja hitam. Bertaut alis dengan napas pendek melihat suaminya mengaduk-aduk darah milik tahanan yang baru dia penggal sepulang dari ibukota.

"Tenang, kau tidak akan apa-apa, Sayang." Dylan berulang menenangkan, bahwa Delmora tetap akan waras.

"Ingin tahu kegiatanku, bukan?" tanyanya retoris tetap fokus pada simbol-simbol setan di depan. Pentagram, patung kepala kerbau, dua lilin, terpampang di meja dan tembok.

Sedikit ilmu gelap yang pernah ayahnya ajarkan, cukup menjadikan ia lebih unggul dari manusia normal. Memantau istrinya bagai penguntit, ataupun memiliki budak hasil pembantaian.

Darah disiramkan pada simbol pentagram di depan, pun pada patung kecil berkepala kerbau.

"Sudah berapa kali kau siramkan?" Delmora bertanya pelan, kala ada indikasi Dylan selesai dari kegiatan memberi makan.

Pria itu begumam, melihat pucuk kepala istrinya sebelum beralih pada sepasang kerangka putih di meja belakang. Tanpa nada kehangatan menjawab, "Dua pekan sekali. Setidaknya tidak semerugikan kelakuan ayah dan ibuku."

Delmora menundukkan kepala, memejam upaya menyesuaikan diri agar berani melihat kerangka mertua. "Dylan, berhenti bersekutu, kumohon."

"Tidak seenteng itu, Sayang," gerutu Dylan, mencampurkan air ramuan yang bergolak barusan ke air dingin, mencelupkan handuk kecil untuk bersiap mengusapi tulang-belulang yang masih tersusun. "Sekali masuk, mereka akan mencengkram. Aku telah dijerat, sesat, dan diikat," sambungnya bernada berat.

Berdosa dan sesat sekalipun, tidak ada paparan penyesalan di wajah pria itu. Ia bersenang-senang dalam kegiatan yang dirinya 'benci'. Hal tersebut membuktikan bahwa Dylan yang tenang itu rusak, pola pikirnya berantakkan. Tidak waras, dia sudah gila akibat keputusan sendiri.

Mata itu tajam, namun hampa seperti mati. Sangat jelas rasa kesepiannya saat pertama kali Delmora lihat di pernikahan.

Delmora dapat menilai semua kesepian efek pembantaian, menilai suaminya merupakan anak baik walau berbeda dari kebanyakan orang. Dia mencintai orang tuanya, dia menyayangi orang tuanya walaupun tingkah si orang tua sangat buruk dan dibencinya.

Terbukti, sekarang saja pria itu telaten membersihkan tulang-tulang, dari kepala, melapai ke tulang rusuk, tulang punggung, dan kaki, seolah ia tengah memandikan manusia hidup yang lumpuh total. Sentuhan ibu jarinya saat mengusap tulang pipi ketika selesai mengelap, diliputi kasih sayang dan tatapan kehilangan di balik mata tegasnya.

Sisi kesedihan tersebut membuat embun yang menggenang di mata Delmora jatuh, jatuh ketika ia berkedip perih.

"Mereka tidak bisa hidup lagi ...." Suara gemetar Delmora serak, memancing suaminya yang hendak mengelap satu tengkorak menoleh.

"Masih, Sayang," balasnya terdengar lembut di balik suara beratnya. "Untuk apa aku siap membunuh jika mereka tidak bisa hidup lagi? Aku sudah bercerita padamu, bukan?"

Delmora mengangguk, meraih lagi kemeja Dylan bagian belakang. Meremasnya. Tak lama, ia menghulur tangan sehingga memeluk dari belakang, mengubur wajah di punggung tegap.

****

Winter - New Year, 705.

Walaupun kumpulan surat di peti masih disimpan bahkan tanpa sepengetahuannya telah Dylan baca, hubungan dia dan Serge berakhir tanpa kata. Delmora sebatas mengajak untuk menjalani hidup sesuai yang ada di depan mata, fokus pada kehidupan sendiri.

Benang-benang kusut yang sembunyi di dalam kepala perlahan memudar, menjadi garis lurus yang dapat Delmora pindai. Mungkin ini di balik takdir mengapa terus bertahan untuk tidak sembrono bunuh diri walau ingin mati, sekarang tekanan di hidupnya seolah hanyut di derasnya sungai dengan tuntunan Dylan.

Telah lepas dari ikatan tali kekang yang mencekik leher. Namun sayang, ketika benar-benar meminta maaf, Delmora kesulitan mendapat maaf. Sampai-sampai ia mengalah akan syarat Dylan, sehari semalam di kamar tanpa pakaian.

Dylan berkata tidak mudah memaafkannya yang semena-mena abaikan suami, malah lebih peduli pria lain sampai kabur dan berciuman. Sungguh, Delmora merasa salah. Terlebih begitu melihat luka putih di atas pelipis bekas pukulan vodka, dan pria itu tidak mengungkit rasa sakitnya.

Tentu dalam sudut pandang Delmora begitu, walaupun sebenarnya Dylan hanya memanfaatkan situasi untuk menikmati keindahan sang istri. Maka sambil mengurus tugas, dia ditemani istri yang seolah siap mengobati dari kepeningan.

Sekarang, di tahun baru, musim dingin setelah setengah tahun menikah, wajah pucat Delmora memiliki raut terkejut dengan mata berbinar. Lantas, ia lekas keluar kamar meninggalkan dokter wanita juga Lidya.

Berjalan dan terus berjalan senang, mengabaikan seruan Lidya di belakang yang mencoba mengejar agar hati-hati. Tujuan sekarang menemui suami di ruang kaca, sudut utara manor, mesti menuruni dua tangga dari posisi kamar Dylan.

"Dylan."

Dylan yang tengah menikmati cerutu dan memandangi salju turun itu menoleh, sementara Lidya berhenti satu meter di belakang tanpa niat memanggil lagi.

"Aku hamil!" seru Delmora dengan binar bahagia, memegang perut, tersenyum lebar memantau reaksi Dylan.

Embusan asap cerutu mensantai, terhitung berhenti total, ada kabut gelap menutupi sorot mata Dylan. Bukan senang, justru keterdiaman. Sontak senyum lebar Delmora pun mensurut, makin mendekati posisi suami yang berada di dekat kaca.

"Kau tidak suka?" tanyanya bernada halus melihat Dylan yang tidak antusias sama sekali.

Tidak ada respons, justru pria yang telah membuatnya hamil itu berbalik, kembali menyaksikan salju turun menutupi ciprus di hutan menuju pegunungan.

"Tidak apa," ujar Delmora lagi, mengulas senyum tenang. "Aku akan merawat seorang diri jika kau tidak suka."

Dylan kembali menyesap cerutu, lambat sebelum akhirnya diembuskan.

Delmora pikir, mungkin ini kenapa Dylan tidak pernah membicarakan soal kehamilan. Karena dia tidak berharap akan anak, bukan? Bahkan tidak bertanya berapa usia kandungan.

Piano di samping Dylan tekan tutsnya, sekali, masih dalam pantauan Delmora. Lantas pria itu duduk di sofa menghadap taburan serbuk putih yang menutupi pepohonan.

"Duduk kemari," perintah dia menepuk pangkuan sendiri. Kemudian menyambut bokong Delmora yang sudah duduk untuk ditekan padanya.

"Mungkin menikmati cerutu akan sangat pas sambil menikmati dirimu." Bersuara rendah serak dia bicara begitu. Namun bukan nafsu yang terlihat, melainkan sudut kesedihan di antara tatapan lekat. Seakan ia dalam keadaan tidak senang, dan menikmatinya—bercinta sekaligus menyesap cerutu merupakan jalan menumpahkan frustrasi.

****

Saya ga punya kesempatan ngejelasin, sebenarnya jantung mereka di kubur di gunung.

Malam banget baru selesai, jangan lupa tinggalkan komentar ...

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang