16. I'll pray

12.3K 727 12
                                    

Dua hari selepas hari itu, Delmora sudah nampak rapih mengenakan gaun perpaduan hijau kekuningan dan hijau pucat dengan rok tile bertumpuk, serta berenda, terpasang pita di depan pusar. Tak lepas akan bandu kain yang menutupi ubun-ubunnya. Sekilas—tidak, bukan hanya sekilas, dari sudut mana pun gadis itu bak putri kerajaan. Ia nampak berbenah-benah memasukkan kertas putih ke dalam tas kainnya yang pula berlapis tile.

Lidya dan Hilma nampak keheranan kala ditawari pakaian ... sang nyonya meminta gaun tersebut. Sekarang pun terhantam tambah heran melihat beliau meraih tas dan memasukkan sesuatu seperti harta benda. Delmora selama ini belumlah memegang otoritasnya sebagai Duchess karena suatu alasan. Baru bangkit dari sakit, dirinya mengambil uang bulanan yang diberi Duke, serta memasukkannya pula ke dalam tas.

Hendak apa? Kabur lagi kah? Tak tahu malu jika dia kabur menggunakan uang suaminya. Delmora tidak berkata apa-apa, hanya meminta hiasi dia layaknya gadis muda, atau anggap saja sebagai anak seorang Duke Stark. Beginilah jadinya, tampilan terkesan belia seperti dua tahun lebih muda.

Dia meraih payung kecil yang senada dengan pakaian, seakan bersiap berpanas-panasan dengan menawan.

Hilma dan Lidya saling lirik, dan menghela pelan. Memberi perintah siapa yang harus bertanya, sampai akhirnya Lidya menyerah dan mengangkat suara.

"Anda akan pergi?" tanya Lidya ragu-ragu. Menaruh curiga bahwa Delmora akan kabur. Sang nyonya pun mengangguk dan mengiyakan. "Ke mana?"

"Aku hendak berdoa," jawabnya, mengambil tas di kasur.

Kedua pelayan di depan sama-sama terkejut, mengerut alis dan saling lirik kembali.

"Apakah ada masalah? Kenapa kalian seperti ini?"

"Anu, Nyonya. Anda sungguh akan berdoa?"

"Tentu saja." Delmora menjawab pasti dan nampak ceria dari biasanya, menunda waktu keluar dengan dua tangan penuh memegang tas serta payung masih kuncup. "Aku akan pergi sebagai Duchess Stark, dan meminta maaf atas dosa-dosa suamiku. Dia terlihat angkuh, seperti tak memiliki salah apa pun di antara dosanya yang taktermaafkan. Kemarin menumpahkan darah lagi dalam urusan remeh, aku malu sebagai perempuan yang bersanding dengannya," tuturnya, lugas.

Uang yang Delmora masukkan serta selembar kertas, adalah sumbangan. Jika uang yang diberi belum cukup, gunakan dokumen tersebut untuk memintanya langsung pada pusat keuangan. Meski dia bukanlah bangsawan yang religius, tidak menutup kemungkinan untuk sesekali berdoa. Tahu apa yang dilakukan selama akan berkunjung, mewajibkan diri membawa sumbangan untuk amal! Terlebih menyandang gelar seperti ini, ia mesti lebih memperhatikan jumlah. Delmora sudah ingin keluar, namun tidak ada pergerakkan apa pun dari dua pelayan.

"Begini, Nyonya, tidak ada tempat beribadah di sini. Di Stark. Jadi alangkah baiknya Anda batalkan saja," pinta Lidya terkesan lancang. Namun itu tak berarti bagi Delmora.

Dibanding permintaan Lidya yang terkesan lancang, Delmora lebih terkejut akan seluruh ucapannya. Rasanya dia tengah terjebak di dalam jurang, ingin menyelamatkan diri, tapi orang di sekitar berkata jangan memanjat tebing, dan galilah makam sendiri. Delmora tak bisa mengukir senyum seinci pun dari bibirnya. Matanya melebar dengan kening berkerut, serta mulut sedikit terbuka.

"Yang benar saja?! Bagaimana kalian beribadah selama ini? Pemimpin seperti apa dia sampai-sampai rumah ibadah pun tak ada? Tak ada, sungguh? Di tanah megah seluas dan semakmur ini?!" cecar Delmora mengomentari, sembari merentangkan sebelah tangan seakan tengah mengukur tanah. "Makhluk laknat!"

Lidya serta Hilma meringis mendengar ucapan Delmora yang tidak disaring, asal memaki Duke yang mungkin bisa saja mendengar di balik dinding-dinding.

"Jawab aku, bagaimana bisa Duke mengosongkan wilayah ini dari keagamaan? Cara kalian beribadah? Tak memiliki Tuhan? Atau masih menganut kepercayaan nenek moyang?"

Mereka malu-malu dan meringis untuk menimpal.

"Du-Duke, anu," Lidya dan Hilma menghela napas, wajahnya membiru. Seolah Duke ada di antara mereka dan bersedekap dada menantang. "Tidak pernah beribadah, Nyonya," lanjut Lidya samar.

Sejenak, tubuh pelayan itu nampak begidik seperti disengat ubur-ubur.

"Jika Anda tetap ingin beribadah, hanya ke ibukota keputusannya," sambung Hilma.

Delmora menghentak kaki, pergi sembari berkata, "Aku harus menemui pria keparat itu!"

****

"Kau ingin berdoa untuk dosaku? Dan kenapa tidak ada tempat beribadah?" Duke membuka selembar dokumen menggunakan tangan kanannya, tanpa melihat Delmora yang memasang wajah keruh selepas berkomentar panjang lebar. Dia menyesap cerutu untuk terakhir kali sebelum mematikannya dalam asbak yang bercorak-corak keemasan. "Seluruh tempat ibadah di sini telah dihancurkan, penduduk Stark, satu, dua manusia akan ke ibukota setahun sekali jika akan berdoa."

"Benar-benar tidak ada?" tanyanya.

"Hm?" Dia mengangkat wajah, senyum pun terbit dari bibirnya tatkala menangkap rupa Delmora. "Jika kau mau, di dekat air terjun terdapat bekas kuil tua yang diubah menjadi gereja, meski sudah lama tidak digunakan."

"Apa pun itu, aku akan tetap pergi." Dia membalikkan badan hendak keluar, namun tehenti lantaran Dylan menyela.

"Sendiri?"

Delmora bergeming. Ia belum pernah dan tak tahu arah menuju sana. Padahal, dia ingin cepat-cepat bersorak riang jika saja sudah keluar dari sini. Itu, tempat yang ingin dikunjunginya belakangan ini. Tanpa gentar, dengan percaya diri Delmora menimpal, "Siapa pun akan kuseret untuk mendampingiku mewakili Stark."

'Baguslah.'

Dylan Vince, hidupnya terlalu monoton. Tidak pernah beribadah, ataupun jarang berbaur ria. Dia terlalu membosankan dan ... aneh. Pernikahan dengan Delmora adalah pertamakalinya pria tersebut menginjakkan kaki di tempat ibadah. Walaupun tentu dia belum dibaptis.

"Ganti pakaianmu sebelum diseret ranting-ranting," perintah dia sebelum Delmora keluar menutup pintu kantor.

"Persetan dengan itu! Merepotkan!"

Bibir pria tersebut sedikit tertarik mendengar teriakan istrinya yang tidak sopan, lantas berdiri sembari membawa kertas ke dekat jendela. Menunggu Delmora melewat. Ia berpikir, mudah saja mematahkan gadis itu, hanya jika dengan cara pemaksaan sendiri, maka si Gadis tidak akan berubah mencintainya.

Justru, makin membencinya.

Cara gadis itu menghindar dan menatap, menjelaskan bahwa sulit menerima dirinya yang kendatinya memang manusia buruk. Biarkan saja sikapnya menjadi penentang. Delmora harus tetap menentang agar rusak sendiri, dalam peristiwa yang sudah Dylan prediksi.

'Tapi bila sikapnya melenceng dan tak menentangku lagi, dia akan lolos dari rencanaku.'

Setelah itu, Dylan tak tahu. Apakah Delmora akan mencintainya, atau justru kabur. Jika kabur, haruskah ia menangkap dan mematahkannya? Namun, Delmora tidak akan mencintainya jika diperlakukan seperti itu. Lucu, dan naif, itu sangat rendahan apabila jatuh cinta selepas dipaksa akan tunduk. Ia memegang kata bahwa Delmora bukan budak, namun boneka yang pas untuk didekap serta ditatap, dimainkan dengan kasih sayang.

Meski Dylan sendiri tak memiliki rasa cinta, sebatas, dia menggemaskan, akan cocok menjadi pengganti boneka peneman tidur.

Dylan, dia membutuhkan raga serta seluruh jiwa gadis itu. Membutuhkan aromanya untuk pengantar tidur, maupun nyawanya.

****

Chapter ini udah masuk ke bagian pembukaan diri Dylan. Delmora yang akan menggali kelak.

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang