18. i'll die

9K 527 2
                                    

Delmora ingat, sosok itu hitam besar seperti beruang, berbulu lebih lebat dan liar. Darahnya kini terciprat sampai pipinya, menyebarkan bau amis yang lebih memualkan ketimbang darah manusia. Makhluk aneh tersebut tidak mati, sekedar diumpuhkan.

Kuda Sir Fergus hampir terbanting ke pohon di sisi, secara cepat tali kendali ditarik, dibelokkan agak ke tengah hutan. Fergus mengendalikan kuda lagi, kembali ke jalanan kecil. Keluar dari hutan utara menuju Hutan Elvaretta. Hutan paling dekat pedesaan Stark. Fergus berhenti, menggidikkan kepala seolah ia pening. Buru-buru Delmora meminta turun lantaran sadar akan darah Fergus di gaunnya.

"Harus diobati, baru lanjutkan. Kurasa, itu berbahaya walaupun dirimu kuat, Sir," usul Delmora, meminta bersinggah di bawah ek. Puluhan meter dari sini, terintip pondok Serge.

"Tunggu di sini, jangan tinggalkan aku," pesannya.

Di antara tanaman liar di tanah, Delmora cari tanaman herbal yang dapat digunakan, lantas sejumput tanaman kecil berbatang lentur serta berdaun lembek dipetiknya. Cukup hapal akan tata letak selama tinggal di sini, terlebih dekat danau.

Napas terhembus lega begitu kembali, Fergus masih setia duduk di sana. Diambilnya air kendi kecil yang tergantung di plana, Delmora teteskan sedikit sambil meremas dedaunan hingga lumat.

"Apa yang Anda lakukan? Tidak pantas untuk seorang Duchess."

"Asal kau tahu, aku tetaplah manusia. Buang anggapanmu bahwa diriku Duchess yang manja. Aku anak hutan," jawabnya yang membuat wajah serius Fergus mengendur, bahkan bibirnya sedikit berkedut.

"Apa tadi? Makhluk hayalan katamu?"

Fergus mengucur air ke tangan, diusap pada sember darah keluar, pula sampai pipi, belum sadar akan kotornya pakaian sang nyonya.

"Bagaimana Sir bisa mendapat luka ini?" tanya Delmora lagi. Perlahan menepis tangan itu agar ia bisa membalurkan herbal. "Sir Fergus, ceritakan padaku."

Sembari menerima tekanan halus tangan kecil di kening, pria itu perlahan berkata, "Itu halusinasi, ilusi, hayalan, jika seseorang sudah berada di sana selama hampir setengah jam."

Delmora mengalihkan mata pada wajah seram Fergus, menagih penjelasan.

"Jangan pernah melihat gunung saat mulai tampak bergerak, atau gunung itu benar-benar melindas Anda. Saya tidak tahu kenyataannya, namun ini benar terjadi. Tulang yang Anda pijak salah satunya."

"Hey, tulang?" Mata Delmora membelalak, menarik tangan dari kepala Fergus. "Tulang manusia maksudmu?"

Fegus berdehem dengan wajah yang tetap serius. "Perlu Anda ingat, itu halusinasi. Halusinasi yang dapat membunuh."

"Tapi aku tidak takut mati," timpal Delmora datar seakan melawan peringatan Fergus.

Fergus terdiam, mendaratkan mata pada gaun Delmora yang tertetes darah, tak lupa serta pipi yang terkena darah makhluk hitam. Postur tubuhnya mengingatkan dia pada putrinya yang dijual.

Tidak ada maaf meluncur dari mulut, tidak ada kelenturan ekspresi, pria itu justru mengajak pulang setelah deheman.

****

"Sir Fergus mengatakan kalau itu makhluk hayalan. Bukankah bisa musnah jika kita abaikan? Tapi kenapa darahnya nyata?," tanya Delmora bercerita. Kedua tangan ditumpuk di atas pagar balkon, rambut tergerainya disisiri Lidya. Pandangan mendarat pada taman yang diterangi beberapa lentera kekuningan, sesekali menoleh ke kebun anggur yang dirindui. Tak lepas, sekeranjang anggur ungu-hijau pun menemani Delmora di sisi, malam ini.

"Semua itu muncul dari dalam kepala sendiri. Namun bukan sebaras halusinasi yang dapat hilang oleh kesadaran, tapi ini seperti ... makhluk itu tercipta dari kepala kita sendiri."

Your Grace, Kill Me NowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang